BAB 53
“Loh, Fey ... mau pergi ke mana?” Vian menatapku bingung karena pagi ini aku sudah bertengger manis duduk di dalam mobil.
“Ikut ..., ikut,” pintaku membuat Vian terkejut lalu sesaat kemudian tersenyum dan mengusap perutku.
“Duh ini dekbaynya memang pengen mommy-mu nempel ama daddy terus, ya?” celetuknya sambil masuk ke dalam mobil.
“Eh ..., eh ..., wait for me! “ Suara Rasya yang tengah berlari tergopoh-gopoh dan langsung masuk ke dalam mobil membuat Vian menoleh ke arah jok belakang.
“Lu ngapain ikut? Katanya hari ini libur tak ada mata kuliah?”
Rasya kulihat menyeringai ke arah Vian,” Mau jagain Mami, kasian kan ya kalau nanti ditinggal kak Vian ngajar, nah Mami kesepian deh, ya udah Rasya temenin.”
“Dih modus lu dasar, udah kayak ekor kucing nih ke mana aja ngikutin lu.” Vian menggeleng-gelengkan kepalanya sembari melajukan mobil. Rasya hanya menjulurkan lidahnya saja dari jok belakang.
“Nanti Fey lelah loh nungguin akunya?” Vian mulai menoleh ke arahku. Kekhawatiran penuh di wajahnya.
“Bosen di rumah, bosen di café, lagipula entah kenapa dari kemarin bau adonan cake kok langsung bikin mual ya, Bee?”
Kuusap-usap perut, entahlah ngidam apa lagi ini tapi sejak kemarin aku memang memutuskan tak berkutat di pantry. Karena hanya bau masakan atau cake yang matang saja sudah membuatku ingin muntah.
Usapan lembut terasa di kepalaku.
”Sabar Sayang, mungkin dekbaynya lagi ga mau diajak buat kue, ya udah istirahat aja, Fey. Ada Radit ini lagian kan, ya? Fey itu kan emang tak boleh kecapean. Ingat vertigonya, nanti bingung kalau kambuh kan tak boleh minum obat kalau lagi hamil gini,” cerocosnya panjang lebar.
“Diihh, kak Vian tua sebelum umurnya ..., udah kayak bapak-bapak aja ya ngomelnya,” celetukan Rasya terang aja membuat Vian menoleh ke belakang sebentar lalu fokus lagi ke jalanan.
“Fey, itu berondong cilikmu itu dikasih makan apa sih tadi pagi? Kok mulutnya kayak burung yang habis dikasih makan kroto,” ucapan Vian terang aja membuat tawaku berderai.
“Yaiiikkk, kak Vian, tega kau, tega ... punya adik ganteng kayak bule gini kok disamain burung. Hadewh! Gini-gini yang ngejar-ngejar Rasya banyak kali, Kak.” Rasya mulai bersungut-sungut di belakangku.
“Kalau banyak itu mbok ya cepetan cari cewek, jangan cuma godain tante-tante terus!”
Kucubit perut Vian dengan keras, enak aja ngatain aku tante-tante.
“Owh jadi malu punya istri tante-tante, ya?” ucapku ke arah Vian yang langsung diangguki oleh Vian. Kudengar kekehan dari mulut Rasya.
“Eh, tapi maksud aku bukan Fey, yang kumaksud itu tante Anita itu loh, ah, Fey ini ... kalau Fey kan, honey bunny sweetie... bukan tante-tante” elaknya.
“Bodo!“ Aku mengalihkan pandangan ke arah jalanan. Sambil mengamati keramaian, aku ber-huh dalam hati. Memang kenyataannya kan aku udah tante-tante ya, duh kenapa jadi sensitif begini, ya.
*****
Kuaduk-aduk jus strawberry di depanku. Rasya yang tengah memakan baksonya, berhenti dan mengamatiku.
Kami memang sedang berada di kantin kampus. Vian sudah mengajar 3 jam yang lalu. Janjinya sih tak sampai 5 jam dia sudah selesai. Tadi Rasya mengajakku berkeliling kampus, tapi aku bosan sendiri dan Rasya mengajakku makan di sini. Tapi aku kembali jenuh. Suasana kampus, melihat mahasiswa-mahasiswinya. Kenapa aku jadi merasa tak pantas berada di sini.
“Mamiiiii, itu jus jadi kayak bubur kan, ya dari tadi cuma diubek- ubek terus kayak gitu. Nanti dimarahin kak Vian loh kalo Mami ga mau makan apa-apa,” celetuknya.
Kuhela napasku, ”Sya, lu ga malu nih duduk di sini sama Mbak?”
Rasya menatapku bingung. Tapi kemudian menggelengkan kepalanya.
“Ngapain coba malu? Orang yang nemenin aja cantik and bohay gini, Miii. malah mereka-mereka yang mupeng liat aku duduk dengan Mami di sini.”
Kutatap suasana sekeliling, ”Ehm masa? Nanti digosipin lagi, berondong lagi kencan sama tante hamil.” Rasya terkekeh geli mendengar ucapanku.
“Oalah masih mikirin omongannya kak Vian, toh? Aduh Mami ini lucu, siapa yang bilang Mami ini tante? Lah masih pantas kok jadi kekasihnya Rasya, masiiihhh banget.”
Ini anak sama aja semprulnya, diajakin ngomongin serius adanya cuma bercanda terus. Heran kayak gitu kok otaknya encer ini anak, sama kayak Vian.
“Syaaaa, wooiii” Tiba-tiba di depan kami muncul seorang pria dengan cewek manis di sisinya.
“Apaan sih, Nick? teriak-teriak kayak di hutan, udah sono hust hust menyingkir dari hadapan gue. Lagi tak ingin diganggu, nih,” ucapnya. Tapi temannya yang dipanggil Nick itu langsung duduk di sebelah Rasya dan diikuti cewek di sampingnya.
“Emang lagi kencan, ya?” tanya Nick sambil menatapku dan Rasya bergantian.
“Iya.”
“Bukan.”
Jawabanku dan Rasya berbeda. Kupelototi Rasya, langsung membuat Rasya terkekeh lagi.
“Eh, cantik juga gebetan lu, ya,” senggol temannya itu lalu menatapku. Duh bocah sableng satu lagi bertambah.
“Eh tak boleh, she is mine,” celetuk Rasya membuat temannya tergelak.
Cewek di sebelahnya menyenggol-nyenggol lengan Nick memberi isyarat.
“owh, iya lupa, Sya ... ini Natasha katanya pengen bicara empat mata denganmu.”
Rasya menatap cewek itu yang tiba-tiba menunduk malu. Wah sepertinya Rasya ada penggemar lagi, nih. Bakalan seru.
“Kemarin kan udah jelas, Nat, kalau aku sama kamu cuma teman.”
Eh itu celetukan Rasya, duh kenapa to the point kayak gitu.Kutendang kaki Rasya di bawah meja, dia menoleh ke arahku dan mengisyaratkan dengan matanya kalau dia tak mau diganggu.
Seketika juga cewek itu langsung berdiri dan berlari meninggalkan meja kami.
Tuh kan, itu pasti cewek patah hati deh ama Rasya.
“Wah kejam lu, dia dari kemarin nyariin lo terus loh, Sya. Wah wah, Natasha itu cantik, pintar, kurang apa coba?” celetuk temennya Rasya itu.
“Gue tak tertarik, dibilang dari kemarin masih aja ngeyel,” ucap Rasya enteng.
“Sya, jangan gitu ah. Itu namanya melukai perasaannya.” Aku ikut nimbrung obrolan mereka.
“Tuh mbak cantiknya aja bilang gitu kok, Sya.” Si Nick itu ikut membenarkan ucapanku tapi kemudian dia mengerlingkan matanya ke arahku. Dih genit, ini ibu hamil loh, duh.
“Buat lu aja sono, dibilang ga tertarik juga.” Rasyamengambil tisu dan tiba-tiba mengusapkan tisu ke mulutku.
Eh ini anak kenapa sih?
“Ada jus strawberry, tuh,” ucapnya membuat temannya itu menatapku dan Rasya bergantian.
“Jadi beneran ini pacar lu?” tunjuk Nick ke arahku.
Cup!
Eh siapa lagi ini, sebuah kecupan basah mendarat di pipiku. Dan ketika melihat siapa yang melakukannya hatiku seperti disiram-siram air es, adem.
“Sayang, maaf menunggu lama, ya, gimana udah capek?” Vian mengusap rambutku dengan sayang. Sementara di seberang, Nick sedang menyenggol-nyenggol tangan Rasya.
“Jadi ini mbaknya pacar siapa?” ucapnya yang langsung membuat Vian menoleh ke arahnya.
“Dia istriku. Memangnya kenapa?” tanya Vian galak ke arah Nick.
“Haaaaaahhh, istri pak dosen toh. Lah tadi kok Rasya bilang ...” Sebuah bungkaman mendarat di mulut Nick. Siapa lagi kalau bukan0 Rasya yang melakukannya.
Aku terkekeh ketika melihat Rasya menarik Nick itu pergi dari hadapan kami.
“Ehm puas, seneng digodain dua berondong?” Kali ini Vian menatapku serius.
Eh jangan dibilang Vian sedang cemburu.
“Puaaaassssss. Ternyata walau tante hamil begini masih ada yang bilang cantik, ya?” godaku membuat Vian membelalak lalu beranjak dari duduknya.
“Eh mau ke mana?” Kutarik tangannya.
“Cariin cowok tadi yang ama Rasya, enak aja godain istri orang.”
Eh dia marah beneran, ya? Duh lucu deh.
“Bee, ih bercanda. Udah sini-sini, duduk lagi,“ rajukku dan menariknya untuk duduk. Dia akhirnya menurut meski wajahnya masih cemberut. Hihihi lucu kalau liat dia begitu, wajahnya jadi makin imut.
“Besok tak boleh ikut ke kampus lagi.”
“Dih, emang kenapa?”
“Takut nanti Fey direbut cowok-cowok di sini.”
“Yeee, emang bola apa ya buat rebutan,” candaku lagi ke arahnya.
Tapi dia langsung menggenggam erat jemariku.
“Pokoknya, Fey ini milikku hanya milikku,” ucapnya posesif membuatku tersenyum. Suami berondongku ini benar- benar manis kan, ya.
“Haiiiii!”
Siapa lagi ini? Kuangkat wajah dan melihat Vani sudah berdiri di depan kami.
“Eh teteh ikut juga? Takut Vian berpaling apa, kok sampai diikutin mpe sini,” celetuknya sambil duduk di sebelah Vian.
Itu mulut cewek perlu dicabein deh. Nyebelin, moodku langsung berubah drastis, nih.
“Ngapain ke sini?” Vian memasang tampang dinginnya ke arah Vani.
Vani tersenyum dengan manis dan memberikan sebuah bungkusan ke arah Vian.
“Nih aku buatin nasi ayam hainan, sebagai ucapan terima kasihku kemarin karena udah nolongin aku.”
Heehhh ada yang merayu ini sepertinya. Vian mengernyit tapi kemudian mengeratkan genggamannya di jariku.
“Cuma kebetulan kok dan reflek bukan sesuatu yang penting,“ jawabnya.
“Tapi kan tak apa, ya, ehmm dimakan sama teteh juga boleh kok ... ya, Teh, cobain buat dekbaynya juga masakanku enak loh,” ucapnya ke arahku tak lama kemudian dia berdiri.
“Ya udah tak akan ganggu deh, nanti bumilnya marah, ya. Sampai besok, ya, Vi. Sekali lagi, makasih kemarin itu sangat berarti buatku.” Vani melangkah pergi meninggalkan kami.
Aku tak suka dengannya. Sangat tak suka. Dia itu menyindirku secara halus. Sabar - sabar.
“Fey, maaf, ya.” Vian menatapku tak enak.
“Tak apa, cuma pengganggu kecil kan, ya?” ucapku berusaha menenangkan diri sendiri.
Vian berpindah langsung merengkuhku ke dalam pelukannya. Mengecupi rambutku dengan sayang.
“Percaya Fey, sama aku, aku ini milikmu seutuhnya begitu juga Fey, milikku seutuhnya. Ini hidup kita, hidup kita bersama,” bisiknya membuatku langsung merasakan ketenangan. Benar ini hidup kami berdua apapun rintangannya memang harus dijalani berdua.
Share this novel