Tak tampak beza dari wajahnya, senyumnya, kulitnya, halus dan manis. Tampak dari sini, dari seberang tempatku duduk, terpisah meja kayu, sebagai alas dua cangkir kopi dan beragam makanan menyusul. Kecuali untuk satu hal, kini bibirnya telah berani diberi warna, kemerah-merahan. Begitu merekah, tapi tak mencolok. Daya tarik bagiku, kerana aku telah mengenalnya sedari lalu, ia Mariam , Mariam binti Sudar. Wanita cantik, untuk ukuran warga kampung, ia amat cantik, bak permata ditumpukan benih emas, setidaknya. Setiap tahun, aku selalu kemari, bersilaturahmi sebagai bagian tradisi, dan untuk tujuan lain. Meledakkan rindu, tapi kian lama waktu, kian tak berucap.
Hari ini, setidaknya aku bukan pengecut, dan menurutku aku memang bukan pengecut, aku selalu berusaha untuk datang ke mari, ke rumahmu. Duduk bersama Abah dan Ibumu. Wajah permatamu tak pernah bersua, hanya sesekali memerah senyum manismu, dari gurauan atas diriku. Dan kau tahu? Aku bahagia. Senyummu adalah pencuri dan penjentik rindu dalam hati, sekaligus pemadam rindu, yang tentunya, berapi – api. Dan di sini, di ruang ini, di antara aroma kopi, serat pandan, dan suara hati. Aku memenuhi janji. Aku datang, kemari bertemumu.
Share this novel