BAB 3

Drama Completed 1787

Kesunyian menyergap lagi. Yang terdengar hanya desiran angin dan gemercik air yang agak samar. Gemercik air yang terdengar sedikit lebih jelas menandakan motor tua mulai mendekati perbatasan Desa Gombel. Ya, kini gemercik air yang jatuh dari tebing beton itu sudah terdengar sangat jelas. Kini Sahudah melihat sendiri bagaaimana air berkejaran turun menuju sungai berbatu besar legam.
Namun, Sahudah belum benar-benar lega. Jarak sekolahnya masih sepuluh kilometer. Sementara, tinggal dua puluh menit lagi gerbang sekolahnya ditutup. Inikah yang membuat hatinya gundah?
“Kenapa berhenti di sini, Om?” tanya Sahudah gugup terjun dari motor yang berhenti mendadak.
“Eeeeh..kenapa sih ni motor?” ujar lelaki itu mengayunkan kaki, menurunkan standar motor, lalu turun menengok mesin motornya sebagai jawaban pertanyaan Sahudah . Suara agak keras lelaki itu bersaing dengan gemercik air yang terjun dari tebing beton sungai. Namun, tetap saja, ekspresi kepura-puraannya tak bisa terkemas rapat.

Hawa panas terasa mengguyur otak Sahudah . Padahal, hawa dingin di sekelilingnya tak segan mencakar-cakar sum-sum tulang. Hati dan otaknya bergulat. Ada apa? Apa mungkin Astan berani berbuat macam-macam padanya. Ya, lelaki yang memboncengkan Sahudah adalah Astan .

Tidak! Selama ini kan Astan akrab dengan kamu Sahudah ! Hati kecil Sahudah angkat bicara.

Mungkin saja – pikir Sahudah ! Tiap malam dia antar kamu pulang tarawih! Apa itu tak ada tujuannya?! Otak Sahudah pun tak mau kalah, berpikir logis.
Tapi, itu kan agar si Astan disalamin sama Atun, sahabat karib kamu, Sahudah . Balas hati Sahudah berusaha menenangkan gadis jelita itu.
“Nah! Sahudah ! Sahudah …!” Astan membuyarkan lamunan Sahudah . “Businya mati. Tunggu dulu sebentar! Aku mau beli di dekat pengkolan sana.”

Sahudah mengangguk lesu disertai dengan sunggingan senyum pudar di pojok bibirnya. Kini onggokan kecurigaan di dadanya mulai mencair. Namun, ada sesuatu yang membuat otaknya panas lagi. Mentari tak henti merangkak walau perlahan. Jarum pendek arlojinya mulai menjauhi angka tujuh.

Ia menghentakkan ujung tapak kakinya lagi walau sol sepatunya makin menganga seper sekian mili. Digigitnya bibir lembutnya yang merah merekah. Ia tengok ke ujung jalan di utara sambil bertolak pinggang, satu dokar pun tak muncul dari puncak tanjakan. Ia tengok ke ujung jalan di selatan, Astan yang menghilang lima menit lalu, dokar -gerobak yang ditarik seekor kuda, motor, tak ada yang tampak menaiki tanjakan. Ia makin gusar. Ia mulai bingung. Bingung, kenapa motor ini mesti berhenti di tengah tanjakan? Sahudah benar-benar bingung.

Sayup-sayup, desiran sesuatu terdengar melaju kencang dari arah utara. Desiran itu terdengar makin jelas beriring bergulirnya waktu. Suara itu tak asing bagi seorang Sahudah yang sekolah di kota. Desiran itu memang sama sekali bukan anggota orkestra alam. Desiran itu…

“Alhamdulillah!” pekik Sahudah haru melihat sebuah kijang hijau menyalakan lampu rem menghampirinya. Tapi, harunya dalam sekejap tergeser kegugupan saat menyaksikan hal di depan matanya detik ini. Lima lelaki yang tak asing, turun sigap dari kereta dan langsung mendekat ke arahnya. Sahudah melotot ketakutan. Bulu kuduknya berdiri spontan. Hanya dalam hitungan detik, kelima lelaki itu sudah berada sangat dekat dengannya. Otot-otot kaki Sahudah gemetar tak siap menerima instruksi otaknya untuk berlari kencang karena ia telah h disergap kasar. Dua lelaki menggenggam lengannya. Sahudah meronta keras. Dua lelaki lainnya mencengkeram betisnya. Seorang lagi, yang tak lain adalah anak kepala adatnya sendiri, mengangkat kepalanya.

Sahudah memekik histeris menegangkan urat-urat lehernya. Tapi, semuanya sia-sia. Teriakannya tak kan ditanggapi warga mengingat tak ada rumah yang berdiri di areal perbatasan. Walau ada, penghuninya tak kan pernah sudi membantu gadis itu. Mereka menganggap penculikan seperti ini budaya melamar bagi masyarakat kami, suku Sasak, yaitu merariq. Jadi, bukan dianggap tindak kriminal.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience