BAB 6
”Mbak!” Suara Evan membuatku seketika terjaga, kepalaku sudah tak berdenyut lagi, rasanya tidurku sangat nyenyak. Kurentangkan kedua tanganku dan mulai terduduk di atas kasur. Panas sinar matahari sudah menyelinap masuk melalui kisi-kisi ventilasi kamarku. Kutatap Evan yang memperhatikanku dengan seksama. Berdiri mematung di depanku. Tapi seketika aku terlonjak saat menatap jarum jam yang berada di atas pintu kamarku tepat di belakang Evan.
“Jam 2?? Van, ini benar jam 2 siang?” Evan menutup telinganya.
Seketika aku terlonjak, beranjak dari atas kasur, menatap sekeliling kamar, kuedarkan pandanganku ke segala penjuru.
“Vian mana?” tanyaku panik ke arah Evan.
Alih-alih menjawab pertanyaanku, Evan berjalan ke arah sofa di depan ranjangku dan duduk di sana.
“Ya sudah terbanglah, Mbak,” jawabnya santai.
“Hah??????” pekikku seketika dan menghampiri Evan.
Adikku itu mengambil sesuatu dari saku celananya dan mengulurkannya kepadaku, “Vian menitipkan ini, untuk istri tercintanya,” celetuk Evan dan segera beranjak dari sofa dan melenggang pergi.
Aku terduduk di atas sofa, menatap kertas yang dilipat rapi ini. Hatiku tiba-tiba mencelos saat menyadari Vian tak di sini dan pergi tanpa berpamitan kepadaku. Apakah dia marah kepadaku, karena aku masih tak mau bersikap selayaknya istri kepadanya pagi tadi? Kubuka kertas itu,
Dear istriku tercinta,
Maaf aku pergi tanpa berpamitan kepadamu, habisnya kau tampak sangat lelap dalam tidurmu, dan aku tak mau mengganggu. Aku tahu kejadian kemarin, membuat Mbak Mawar merasa dipaksa olehku. Dan aku sadar, aku terlalu egois kepada mbak Mawar, menikah dengan tiba-tiba dan tanpa persiapan apapun, bahkan pernikahan ini jauh dari impian setiap wanita. Aku tahu, Mbak, aku memang egois, tapi semua ini kulakukan karena aku tak mau kehilangan mbak Mawar. Aku memang egois, bahkan aku lebih egois dan pecundang daripada masku Ryan. Mbak, maaf keluarga Atmawijaya telah melukaimu. Sebenarnya melihat Mbak Mawar tidur tadi ingin rasanya memeluk dan mendekap erat, tapi aku tahu aku lancang kalau berbuat seperti itu.
Mbak, Istriku, Cintaku, Sayangku, mungkin saat membaca ini aku sudah terlelap di dalam pesawat. Karena jujur saja sejak semalam aku memang belum tidur sedetik pun. Terlalu rugi jika kulewatkan detik demi detik waktu yang sedikit semalam untuk melepaskan kebersamaan kita, Meski hanya menatap wajahmu semalaman, melihatmu tertidur pulas, itu sudah membuatku merasa cukup, untuk kusimpan di memory otakku selama 2 tahun aku di sini.
Kuhela napasku, berhenti membaca untaian kata-
kata yang membuat dadaku tiba-tiba terasa sesak ini. Vian semalaman tak tidur dan hanya menatapku. Oh, aku sungguh merasa tersanjung dengan cintanya. Hatiku tibatiba menghangat.
Air mata jatuh menetes membasahi surat yang sedang kubaca.
Sayang, aku pamit ya, suamimu pamit ... aku berjanji akan menjaga hati dan tubuh ini hanya untukmu. Cinta tak perlu khawatir ya, aku tak mungkin berselingkuh, bagiku tak ada yang lebih cantik dari istriku ini.
Aku tersenyum geli membaca tulisannya kali ini. Dasar anak kecil perayu.
Jaga hatimu juga untukku. Hanya itu yang aku minta. Aku beri waktu untukmu berpikir dan mungkin kalau aku tak menganggu Cinta, mungkin Cinta akan merindukanku ....heheheh maunya ...
Sudah ya ... cium peluk mesra dari suami berondongmu Cinta, sampai jumpa lagi, 2 tahun lagi.
Love you.
Kutatap kosong kertas di depanku. Benarkah ini? Aku telah menjadi istri seseorang, tapi saat ini juga aku merasa seperti seorang janda. Viaaaannnnn! Kau benarbenar kejam terhadapku.
*****
“Cieee, ada yang merindukan suami tercinta nih?” celetukan Evan adik tengilku ini kini benar-benar membuatku jengah.
Bukan karena apa-apa, tapi makhluk yang bernama Vian, si berondong yang sudah menjadi suamiku itu, seperti lenyap tertelan bumi. Sudah 5 hari sejak kepergiannya ke Skotlandia, dia tak pernah menghubungiku sedikit pun. Hanya kata Evan, Vian pernah meneleponku saat pertama kali dia sampai di sana, tapi aku sudah tidur. Dan sejak saat itu Vian benar-benar tak menghubungiku lagi. Aku pun tak peduli karena memang aku merasa lebih tenang, tanpa gangguannya lagi. Aku bekerja kembali dengan normal, meski Christian setelah mengetahui aku menikah dia seperti memberi jarak denganku. Entahlah sikapnya 5 hari ini juga membuatku bingung, tak ada sapa ramah, atau tumpangannya lagi setelah aku pulang kerja.
“Apa sih Van, jangan ganggu mbak,“ sungutku kesal
ke arah Evan yang sejak dua jam aku duduk di depan televisi menemani bunda menonton drama korea kesayangannya ini Evan terus saja ribut dan menggodaku.
‘”Alah Mbak, jadi cewek itu ya jangan malu-malu, kalau rindu, kangen, langsung deh hubungi Vian, jangan cuma manyun tak jelas gitu,” sindir Evan yang membuatku seketika melemparkan bantal duduk ke arah wajahnya.
“Evaaaaaaaannnnnnn rese!!!” Aku beranjak dari sofa, dan Evan melemparkan senyum jahilnya kepadaku.
“Aku punya nomor ponselnya Vian, mbakku sayang, hubungin gih sana ...,” celetuknya lagi membuatku memelototkan mataku ke arahnya.
“Haduh Bunda pusing nih, Van sudah jangan goda mbakmu terus, kasihan.” Akhirnya Bunda terganggu juga dengan aktivitas kami.
Tiba-tiba suara ketukan di pintu depan membuat kami saling memandang. Hari sudah menunjukkan pukul 7 malam siapa gerangan yang bertamu malam begini.
‘Van, buka sana.“ Perintah bunda membuat Evan beranjak dari sofanya dan menyeret langkahnya malas ke arah pintu depan.
‘Paling orang mau pesan kue ya, Bun,” celetukku sambil mengunyah keripik kentang kesukaanku dan memasukkan banyak-banyak ke dalam mulut, membuat bunda menggeleng-gelengkan kepalanya melihat cara makanku.
“Mbak, ada mas Ryan di depan.”
Seketika reflek aku menoleh ke arah Evan membuatku tersedak keripik kentang.
“Aline pelan-pelan,” pekik Bunda sambil mengangsurkan gelas yang berisi air putih.
Aku langsung meneguknya sampai habis. Hidungku terasa panas karena tersedak keripik tadi, kulihat Evan terkekeh melihatku. Dasar adik durhaka.
“Ryan siapa?” tanyaku setelah kembali bisa bernapas dengan normal. Evan mendekat ke arahku dan menarik tanganku seketika.
“Ryan kakaknya Vianlah,” ucapnya seketika.
Deg deg deg
Detak jantungku benar-benar tak bisa terkontrol, tubuhku seketika membeku, mendengar satu nama itu.
“Ryan Atmawijaya, maksudmu?” celetukku masih tak percaya, tiba-tiba keringat dingin membasahi pergelangan tanganku. Selalu efek yang sama tiap nama itu terucap. Aku benar-benar payah, kalau masalah yang satu ini. Ryan masih benar-benar memberiku efek yang besar.
Kutoleh Evan dan Bunda bergantian, tapi mereka hanya mengangkat bahu. Akhirmya aku hanya menghela napasku pasrah.
Kulangkahkan kakiku dengan malas ke arah ruang tamu. Dan jantungku kembali berdegup melebihi batas normal. Bisa-bisa aku terkena serangan jantung kalau terus begini. Kutarik napasku, berusaha menormalkan kegugupanku saat tiba di ruang tamu. Dan sosoknya benar nyata di depan sana. Kulihat dia beranjak dari sofa warna putih gading itu. Raut wajahnya tak terbaca dan menatapku tajam dengan mata elangnya yang sukses membuat otot kakiku lemas.
“Hai,” sapanya saat aku sudah melangkah ke arahnya. Dia mengulurkan tangannya ke arahku. Tapi aku hanya diam membeku di tempatku berdiri, entahlah aku masih belum percaya kalau dia adalah Ryan, orang yang selama ini menjadi fantasi dan impianku.
“Kau benar tak mau menjabat tanganku, Line?” Suaranya mengembalikan ke alam sadarku.
Dan aku dengan gugup menjabat tangannya. Kurasakan genggaman erat dan hangat merengkuh telapak tanganku yang dingin. Kulihat Ryan tersenyum tapi tak sampai matanya.
“Maaf,” ucapku dan menarik tanganku dari genggamannya.
Raut wajahnya sedikit kecewa, tapi kemudian dia menghela napasnya lagi.
“Kalau aku tahu rumahmu ternyata di sini, Line, dari dulu pasti aku sudah mencarimu,” ucapnya sambil duduk kembali di sofa.
Aku hanya mengikutinya dan duduk di depannya, kulihat dia kembali menghela napasnya seperti membuang beban berat yang ada di tubuhnya.
“Line, aku tak menyangka adikku itu nekat menikahimu,” ucapnya membuatku tersenyum tipis.
“Tapi dia benar-benar menikahiku,” jawabku dengan suara bergetar, entah kenapa aku selalu gugup bila ada di depannya.
Dulu aku juga seringkali gugup kalau sudah berdekatan dengannya, dan sekarang setelah 10 tahun tak bertemu dia memang masih memiliki efek yang hebat untukku.Bagaimanapun juga dia cinta pertamaku, bertahun-tahun hatiku ini miliknya.
Ryan menghela napas lagi, lalu menatapku tapi kali ini lebih intens.
“Aku tahu adikku lebih berani dariku, Line,“ ucapnya
lalu kembali menghembuskan napasnya.
Kalau dijadikan undian Ryan mungkin akan mendapatkan hadiah payung cantik karena rekor menghembuskan napasnya itu. Aku terkikik geli dengan pemikiranku ini.
Ryan berkernyit melihatku, ”Kau masih manis jika tersenyum begitu,“ ucapnya membuat pipiku terasa hangat. Duh, kenapa rayuannya masih membuatku begini.
Ryan terkekeh, “Kau selalu masih tersipu kalau aku bilang begitu, membuatku gemas,” ucapnya.
“Hentikan!! Jangan merayuku, ingat istrimu di rumah,” ucapku telak yang sukses membuatnya langsung terlihat pias.
Lagi-lagi dia menghembuskan napasnya.
“Jadi apa tujuanmu malam-malam begini ke rumahku?” tanyaku datar ke arahnya karena sudah tak nyaman bila berlama-lama lagi di depannya.
“Ya karena suamimu itu, Vian Atmawijaya, dia pergi rumah jadi sepi dan mama kesepian, papa selalu pulang malam karena kesibukannya menjadi dokter dan mama akhirnya di rumah sendiri hanya dengan pembantu, dan dia mengutusku ke sini untuk membawamu ke rumah,” ucapnya penuh penekanan.
Aku mengernyit mencoba mencerna ucapannya. ”Maksudmu? Aku disuruh pindah ke rumah kalian?” tanyaku kaget.
Ryan mengangguk. ”Rumah mama dan papa, Line, Aku dan Sisca sudah menempati apartemen sendiri, jadi mama kesepian, dia tahu kau temanku jadi memintaku untuk merayumu,” ucapnya.
Aku terdiam tak bisa menjawab. Haruskah aku pindah?...Tapi aku masih ingin di sini menemani Bunda, tapi aku juga tak boleh egois karena mamanya Vian juga mertuaku sekarang.
“Line, aku tak memaksa. Mama akan memberimu waktu untuk berunding dengan bundamu dan Evan, karena mama juga tahu kau anak sulung di rumah ini.” Aku mengangguk, lalu menatapnya.
“Oke, aku diskusikan dulu dengan Bunda dan Evan.”
Ryan tersenyum,
”Line, sebenarnya aku ke sini juga ada maksud lain ... sepertinya ini saat yang tepat, Line.“
Aku mengerutkan keningku lagi mendengar ucapannya. Ryan memainkan jemarinya. Aku tahu itu kebiasaannya dari dulu kalau gugup tapi kenapa dia tampak gugup kepadaku saat ini. Seorang pengacara hebat sepertinya bisa gugup?
“Line? Kau tahu kan aku mencintaimu sejak dulu, ehm maksudku, aku memang mencintaimu sejak pertama kali aku pindah ke kelas kita saat kelas 1, dan kau tahu makin hari aku makin mencintaimu, tapi maaf selama 3 tahun itu aku benar-benar pengecut hanya berani menggodamu, menyuruh teman-teman menyampaikan perasaanku, tapi aku sendiri memilih bersembunyi dan memendam perasaanku.”
Jantungku terasa berdegup kencang, oksigen di tubuhku terasa perlahan menghilang, dadaku terasa panas dan sesak. Mataku memana. Kutatap Ryan dengan tajam.
“Apa maksudmu mengatakan sekarang? Kau sudah beristri dan aku juga sudah menjadi istri adik kandungmu, Ryan? Bisakah kau tak ungkit ini lagi,” ucapku dengan napas pendek-pendek.
Tak tahu apa yang terjadi, tetapi ungkapan Ryan yang selama ini kutunggu, akhirnya terucap walau sudah kadaluarsa. Ada perasaan lega dan senang karena ternyata dia memang mencintaiku seperti kata teman-teman dulu. Tapi hatiku terasa sakit saat menyadari posisi kami saat ini.
Ryan mengacak rambutnya yang berwarna kecokelatan itu, dilonggarkan dasinya yang tadi masih melingkar rapi di lehernya.
“Aku terlalu pengecut, Line, tapi asal kau tahu sejak kita lulus, aku memang mencarimu tapi tak kutemukan rumah dan juga keberadaanmu, itu pun dengan terburuburu karena aku kemudian melanjutkan pendidikanku di Australia. Berharap di sana aku bisa melupakanmu, Line, tapi ternyata aku tak bisa, aku tetap mencintaimu.“
Aku mendesah, air mata sudah berada di pelupuk mataku, entah kenapa hati ini terasa sesak mendengar ucapannya. Kutatap matanya mencari kejujuran di sana. Dan memang kejujuran ada di sana,di manik matanya yang berwarna kecokelatan itu.
‘Untuk apa kau ungkapkan sekarang Ryan, semua sudah terlambat, dan lagipula kenapa kau menikahi Fransisca jika kau mencintaiku?” tanyaku tajam ke arahnya.
“Aku, Fransisca, ceritanya panjang, Line, dulu aku dan dia pernah menjalin hubungan, saat masih sekolah, dia kekasihku, dia yang datang ke rumahku menawarkan dirinya memaksaku untuk menjadi kekasihnya.”
Hatiku mencelos menerima pengakuannya kali ini.
“Kekasih? Kapan?” pekikku tertahan. Aku jadi bereaksi dengan ucapannya itu, katanya dia mencintaiku tapi bagaimana bisa dia menjadi kekasih Sisca?
“Saat kau menolak ungkapan cintaku lewat buku yang disodorkan Rizal saat kelas dua, Line? Apakah kau ingat?”
Aku tertegun mendengarnya, mencoba memutar kembali memori itu. Benar dulu Ryan pernah menuliskan perasaannya di selembar kertas di halaman bukunya. Bukan dia yang menyerahkan kepadaku tapi Rizal teman sebangkunya. Saat itu aku sangat malu hanya untuk menerima dan melihat tulisannya. Aku menolak buku itu dan membuangnya, tapi bukan karena aku tak suka tapi aku malu karena sangat senangnya. Lucu bukan, tapi aku memang sangat malu dulu.
Aku hanya mengangguk, “Ya aku ingat,” ucapku lirih.
Kulihat dia menatapku terluka, ”Kau tahu? Itu usahaku yang paling maksimal untuk mengejarmu, Line, setelah Putri meneriakan I LOVE YOU di depan kelas untukmu, Novia selalu menggodamu dengan memanggil namamu, dan masih banyak lagi usaha anak-anak yang aku suruh untuk menyatakan cintaku kepadamu, Line. Tapi kau tetap diam tak menanggapinya, dan saat itu juga saat kau membuang bukuku, aku tahu aku kalah, Line, kau memang tak mencintaiku dan waktu itu. Fransisca-lah yang menang, sebenarnya aku selalu menolak ungkapan cintanya, dan dia memberiku syarat. Dia memberiku kesempatan untuk menyatakan cintaku kepadamu, kalau kau menerimaku dia melepaskanku, tapi ternyata kau tak menanggapinya, Line, dan aku menyerah. Aku menerima cinta Sisca meski aku tak mau orang lain tahu. 2 Tahun kami menjalin hubungan, walau hatiku masih milikmu, Line. Kelas 3 pun kau pindah ke IPA dan itu membuatku semakin jauh menggapaimu dan mungkin kau memang tak ditakdirkan untukku,” ucapnya dengan putus asa.
Share this novel