BAB 35
Bau obat menyengat membuatku mengernyitkan kening. Perlahan kubuka mataku dan suasana yang tak kusukai kembali hadir di depanku. Rumah sakit dan kamar rawatnya, obat, infus, suntikan semuanya hal yang membuatku benci. Dulu pengalaman menjaga ayah di rumah sakit membuatku tak suka dengan suasana ini, karena kembali mengingatkanku akan perjuangan ayah melawan penyakit jantungnya.
Hening saat kubuka mataku, selang infus tampak melingkar dan menggantung di atasku. Salah satu tanganku menerima hunjaman jarum infus. Rasa pusing kembali menderaku.
Merasa tenggorokanku kering, aku menoleh ke samping kanan ranjang dan menemukan suamiku tercinta sedang sholat dengan khusuknya. Aku mencoba bangkit dari duduk dan mulai bersandar di bantal lalu berusaha mengambil air mineral yang berada di atas nakas.
Vian sudah selesai melakukan sholat dan menoleh ke arahku. Ia tersenyum dan mulai beranjak dari posisinya. Dilipatnya sajadah yang dikenakannya.
Tiba-tiba saja Vian merengkuh dan mendekapku erat.
“Alhamdulilah, Sayang sudah siuman ...” Rambutku dikecupinya dengan mesra.
Vian melepaskan pelukannya lalu mengusap wajahku. Aku terkejut melihat matanya yang sembab, seperti habis menangis.
“Kau kenapa? Menangis?” Kuusap kedua matanya membuat Vian menarik jemariku dan menciumnya lembut.
Lama diciumnya jemariku ini, tanpa bicara sepatah pun. Hatiku mencelos melihatnya. Vian seperti menahan beban yang teramat berat.
Suara pintulah yang mengagetkanku dan Vian.
Bunda, Evan, dan juga Nadia bahkan Christian saat ini berdiri di ambang pintu. Vian beranjak berdiri, dan tersenyum ke arah mereka, menyalami bunda memeluk Evan dan juga memberi salam kepada Nadia dan Tian.
“Nak, kau tak apa-apa?” Bunda menghampiriku dan langsung memelukku.
“Iya Bun, Aline tak apa, kok. Aline cuma sakit karena hamil muda.” Jawabanku sukses membuat Bunda, Evan, Tian terkejut, tapi kemudian pekikan Nadia membuat semuanya menatapku haru.
“Aliiiiiiinnneeee, selaaaamaaattt, yaaaa ... duh, Nek ... aku bakalan punya keponakan, aiiihhhhh senengnyaaaa,” teriak Nadia heboh sembari memelukku bahkan menciumi pipiku. Duh ini anak hebohnya tak hilang-hilang dari dulu.
Evan langsung menepuk bahu Vian dan menjitaki kepalanya. “Wah kau kurang ajar dah berani menghamili mbakku tersayang,” sungut Evan membuat Vian tergelak.
Bunda juga langsung memelukku.
“Cucu pertama di keluarga kita, Line,” ucapnya lembut.
Sempat kulihat Tian menatapku dengan pandangan terluka meski memaksakan senyumnya. “Ai, tak menyangka bakal jadi ibu.” Dia mengacak rambutku kebiasaannya sejak dulu.
“Makasih, ya, semuanya,” ucapku dan kurasakan Vian duduk di sebelahku lalu menggenggam jemariku erat.
“Maaf ya, baru memberi tahu semuanya, padahal mbak Mawar hamil itu sejak sakit kemarin, Bun,” ucapnya ke arah bunda membuat bunda mengangguk-anggukan kepalanya.
“Pantas, saat itu bunda juga sudah curiga karena gejala Aline persis orang hamil, tapi katamu karena maag Aline kambuh.”
“Maaf Bun, saat itu Vian masih belum mantap.” Vian mengusap-usap perutku.
“Tapi sekarang di dalam sini memang nyata benar ada Vian junior, meski sangat ajaib,” ucapnya.
“Ajaib gimana?” Evan kali ni menatapku kebingungan..
“Nanti deh, Van, kalau keponakanmu ini lahir baru aku kasih tahu.”
“Diiihhhh peliiit banget, lu, ma adik ipar,” gerutu Evan yang sukses membuat kami semua tertawa.
“Jadi ini mau tinggal di mana, Line? Tetap di rumah bunda kan, ya?” Nadia kini menatapku sambil tangannya sibuk mengupas apel.
Kutatap Vian meminta pendapatnya karena aku pun juga tak tahu.
“Mungkin sementara tetap di sini, di rumah Bunda karena Vian juga harus menjaga papa yang belum stabil,” ucapnya sambil menatapku meminta persetujuan, aku hanya mengangguk mengiyakan.
“Kyaaaa senengnya, aku punya teman lagi untuk kuajak shoping kalau begitu, ya,” celetuk Nadia yang membuatnya terkena lemparan kulit apel dari Tian.
“Shoping terus yang lu pikirin ... urusin tuh Rionya yang udah mupeng ngajak married, lagipula Aline ini lagi hamil mau lu bawa bawa ke mall kasian, kan,” ucap Tian yang langsung dihadiahi juluran lidah dari Nadia.
Aku hanya tersenyum melihat dua sepupu itu selalu tak akur.
Vian di sampingku tampak melamun, aku masih penasaran dengan sikapnya semenjak tadi karena seperti ada sesuatu yang disembunyikannya.
*****
Akhirnya aku sudah diperbolehkan pulang ke rumah oleh dokter, meski harus tetap melakukan kontrol karena kandunganku dan juga kondisi tubuhku masih belum sehat. Papa sudah dipindahkan dari ICU ke ruang perawatan. Tapi kondisinya masih sangat lemah, hal itu membuat Vian terus menjaga papa di rumah sakit. Dia hanya mengantarku pulang ke rumah bunda dan berpesan agar aku menjaga kondisiku sementara dia tak berada di rumah.
Sudah dua hari ini sejak aku pulang dari rumah sakit, dan sudah dua hari ini pula Vian tak pulang ke rumah. Meski dia terus meneleponku setiap saat, makin cerewet tentang apa yang harus kumakan. Dan memarahiku kalau aku tidur terlalu malam gara-gara bermain Ludo dengan Evan. Lucu kan main Ludo, tapi itu kebiasaanku tiap malam sekarang, dekbaynya mungkin yang menginginkannya.
Mual muntahku meski sudah berkurang, tapi tiap pagi begini pasti selalu tak bisa menerima makanan apapun yang masuk ke mulutku.
Sama seperti hari ini, bunda tadi membelikan bubur ayam kesukaanku, tapi begitu makanan itu masuk, aku langsung berlari menuju kamar mandi. Kukeluarkan semua isi perut, meski hanya rasa pahit yang menderanya. Kubasuh mulut cepat dengan air, tiba-tiba kurasakan usapan hangat di punggung membuatku terkejut.
Aku menoleh ke belakang dan melihat Vian, suamiku yang kurindukan ini tengah mengusap usap tengkukku. Wajahnya kuyu, ada lingkar hitam di bawah matanya, rambutnya acak-acakan.
“Sayang masih mual, ya?” ucapnya lembut lalu memapahku keluar dari kamar mandi dan menghelaku masuk ke kamar.
“Cuma kalau pagi, kok,” jawabku.
Vian mendudukkanku di tepi ranjang.
“Kok pulang, Yan, papa gimana?”
“Aku pulang, gantian sama mas menjaga papa,” jawabnya lalu beranjak dari sisiku dan membaringkan tubuhnya di atas kasur.
Dipejamkan matanya dan memijat pelipisnya. Aku
jadi merasa iba melihatnya. Kudekati dia, dan kuusap rambutnya dengan sayang.
“Mandi dulu, gih, biar segar, terus aku buatin susu cokelat hangat, biar bisa tidur, ya?” bisikku membuat dia langsung membuka matanya menatapku sendu lalu merengkuhku dengan cepat membuatku terjatuh di sisinya lalu memelukku erat.
“Temani aku tidur, please,” bisiknya membuatku hanya mengangguk.
Hanya degup jantungku dan jantungnya saat ini
yang terdengar karena kami sama-sama terdiam.
Saat kurasakan hembusan napasnya mulai teratur, aku tahu Vian sudah tidur. Kugeser perlahan lengannya yang mendekapku dan aku mencoba bangkit dari sisinya. Kuambil selimut dan menyelimuti tubuhnya itu. Dia tampak sangat lelah. Kasihan pasti papa masih sangat lemah. Aku berusaha untuk tak mengganggunya dan meninggalkan Vian sendiri mungkin bisa membuatnya untuk beristirahat.
*****
“Jadi benar itu Ryan amnesia?” Suara Nadia kini memenuhi taman belakang rumahku ini.
Hari sudah beranjak sore saat Nadia berkunjung ke sini dan membawakanku satu keranjang mangga muda. Katanya aku pasti ingin memakan mangga muda. Haduh padahal aku benar-benar mual melihatnya. Nadia itu mengira setiap ibu hamil menyukai mangga muda. Dan alhasil sekarang mangganya dia makan sendiri dengan cocolan garam dan cabe yang diuleknya dengan halus. Ini siapa yang ngidam kalau begini?
Vian masih belum bangun, tadi sempat aku bangunkan saat waktunya sholat duhur, dia bangun untuk sholat dan kembali tertidur.
“Huum, amnesia tapi yang diingatnya hanya memori 10 tahun yang lalu dan mengira aku belum menikah, sama Sisca saja dia lupa kalau sudah menikah.”
Nadia membelalak terkejut mendengarnya, dengan mulut komat-kamit menahan pedas dia mengerutkan keningnya.
“Line ... aneh, ya, amnesia kok bisa kayak gitu, jangan-jangan Ryan pura-pura kali,“ celetuknya yang langsung terkena jitakan dari Tian yang tiba-tiba sudah nongol di dekatku dan Nadia masih dengan seragam kantornya.
“Apaan sih lu, bule sarap, datang-datang sudah maen jitak aja,” gerutu Nadia sambil mengusap-usap kepalanya.
“Ini tadi siapa yang ngerengek minta petikin mangga di kebun belakang, kenapa lu yang makan, heh?” Tian duduk di bangku rotan tepat di hadapanku, yang memang tersedia di taman belakang rumahku ini.
“Orang dianya aja ga suka ternyata, ya udah aku makan aja,” cibirnya ke arah Tian.
“Berisik ah kalian ini, nanti dekbaynya bangun nih ..., Tian udah pulang, ya? Tumben?” ucapku ke arah Tian.
Dia mencomot mangga muda di piring Nadia.
“Sejak kau tak di sana, aku selalu pulang awal, malas lama-lama di hotel yang ada dikerubuti cewek-cewek centil lagi,” ucapnya membuatku tersenyum.
“Sukurin, lu, bule, pulang, gih, sono ke negera asal daripada di sini cuma dikejar-kejar cewek ga jelas,” sindir Nadia yang sukses membuat Tian menendang kaki Nadia dengan sepatunya.
“Gini-gini juga dibutuhin tuh tenaganya ama om, lu aja ga mau ngelola hotel, mau lu disuruh megang hotel?”
“Dih mana muat tangan gue, bule, hotel segede gitu,” celetuk Nadia mulai ngaco.
Aku pun terkekeh melihat dua sepupu ini lagi. Kangen memang dengan celotehan-celotehan mereka.
“Line, kerja lagilah di sana, nanti gaji kunaiki 5 kali lipat,“ ucap Tian memelas.
“Tuh kan, dasar sarap, mana ada bumil disuruh kerja, lu bakal ditimpukin ma suaminya.“ Nadia menjitak kepala Tian.
Tian menggaruk-garuk rambutnya itu.
“Habisnya ada yang kurang, ya, kalau tak ada Aline, kangen, Line,” rajuknya, manjanya dah keluar deh.
“Aku masih bisa membiayai istriku tanpa harus menyuruhnya bekerja.” Suara berat mengagetkan kami semua.
Ketika kutoleh ke arah tirai antara pintu yang menghubungkan rumah dan taman belakang, kulihat sosok Vian sudah berdiri di sana dengan celana santai dan kaos polonya, rambutnya sudah basah menandakan dia sudah mandi.
“Cizzz, suami berondongmu marah,” Tian berbisik ke arahku dan Nadia beranjak dari duduknya dan kini menarik Tian untuk berdiri.
“Udah deh jangan buat masalah pulang aja, yuk?” Nadia menarik Tian untuk melangkah pergi.
Tian hanya menghela napasnya lalu berbalik ke arahku.
“Ai, pertimbangkan penawaranku, ya,” celetuknya.
“Aliine, besok aku kemari lagi yaaa, muach,” teriak Nadia sambil melambai dan menyeret Tian.
Mereka berpapasan dengan Vian yang masih bersedekap di depan pintu.
“Dadah Vian, kami pulang, ya,” ucap Nadia dibalas dengan senyuman Vian sembari memberi hormat dengan tangannya.
“Siap, Ibu Komandan,” godanya ke arah Nadia membuat Nadia mengepalkan tangannya ke arah Vian.
Tian hanya menganggukan kepalanya ke arah Vian dan segera berlalu. Vian melangkah ke arahku dan duduk di depanku.
“Aku tak suka bule itu,” ucapnya membuatku tersenyum. Aku selalu tahu kalau Vian memang tak suka dengan Tian sejak dulu.
Kutepuk-tepuk bajunya, ” Mau ke rumah sakit?” tanyaku.
Vian menggeleng lalu menarikku untuk mendekat dan menempelkan keningnya di keningku.
“Aku merindukanmu, Cinta,” bisiknya.
“Me, too,” jawabku masih dalam posisi yang sama.
“Jadi malam ini tak usah bicarakan apapun, ya ... cukup kita berdua.” Vian mengusap pipiku dengan jemari tangannya.
“Ada yang kamu sembunyikan, Yan, ada apa?”
Vian mengecup hidungku lalu mengecup bibirku sekilas.
“Ah aku membutuhkan ciumanmu.”
Benar kan ada yang dia sembunyikan dariku tak biasanya dia tak fokus begini. Ditanya apa jawab apa.
“Ada apa, Yan, masmu lagi?” tanyaku ke arahnya membuat dia terdiam. Tapi kemudian beranjak berdiri dan kini berpindah duduk di sebelahku, lalu menyurukkan wajahnya di leherku.
“Aku butuh ini, butuh kamu, jangan pergi, ya,” ucapnya membuatku yakin ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku.
Share this novel