" Kamu serius Lan?" Rei memandang Lana dengan ekpresi terkejut, mulutnya
berhenti menguyah makanan dan melongo begitu saja, mereka sedang makan
siang di sudut caffe dekat salon.+
" Seharusnya aku sadar dari awal Panji tidak pernah berubah.." Lana
menunduk, hatinya masih sakit, sudah seminggu sejak ia kembali ke
Semarang di antar Rehan meninggalkan Panji yang kebingungan. Lana tak
ingin bertemu Panji untuk saat ini karena itu ia menutup akses salonnya
untuk Panji. +
" Aku kan sudah bilang.. Panji bukan tidak setia padamu tapi ia tak
sanggup bertahan kalau melihat wanita cantik." Suri meneguk kopi
panasnya, tiba-tiba memekik kecil ketika Rei menjitak kepalanya. +
" Kau kira Lana tidak cantik hah?!" Rei melotot kesal. Lana hanya
tersenyum, Rei selalu mengatakan perempuan cantik padahal ia sendiri tak
pernah tertarik untuk mendekati mereka. +
" Maksudku cantik begini.." Suri mengangkat jarinya seperti tanda kutip. +
" Aku ingin putus Rei." Lana menatap Rei, selama ini ia selalu
memgandalkan Rei untuk masalah lelaki, Rei memang lelaki yang terbilang
normal hanya saja hati dan pikirannya yang tidak normal. +
" Lalu setelah itu apa yang mau kamu lakukan, maksudku kamu yakin bisa
lepas dari Panji?" Lana terdiam mendengar ucapan Rei, selama ini dirinya
selalu bertumpu pada Panji, hanya lelaki itu yang selalu ada di dalam
pikirannya, Lana mudah memaafkan Panji saat pertama kalinya Panji
selingkuh tapi sekarang..rasanya ia mulai membenci semua itu. +
" Insya allah yakin." Lana berdiri, membereskan piring kosongnya dan
pergi meninggalkan teman-temannya. Rei dan Suri hanya saling menatap
pasrah. +
" Kurasa lebih baik begitu." Suri mengangkat bahunya memandang Rei acuh. +
.....+
Matahari sore mulai turun ketika langit mulai gelap, kicauan burung
melayang pulang nampak riang di atas perpohonan. Lana duduk sendiri di
taman belakang rumah, memandang langit kemudian mendesah, tangannya
terangkat, di jari manisnya melingkar sebuah cincin emas polos tanpa
berlian, di tariknya cincin itu hingga terlepas, mata Lana menatap
ukiran nama Panji di sana. +
" Harusnya dari awal aku meninggalkanmu." Lana memainkan cincin itu di
sela jarinya, ingatannya kembali pada malam menyakitkan di pesta pantai,
ucapan Rehan dan kekalutan Panji yang panik ketika mendapati kamar
hotelnya kosong. +
/" Memangnya aku salah apa Lan??" /+
/" Siapa perempuan itu?" Lana menggeram dari balik telpon. /+
/" Aku tidak mengerti sayang.." Panji berkata lembut padanya, membuat
bulu kuduk Lana meremang. /+
/" Aku melihatmu mencium perempuan itu di tepi pantai, kamu bilang ada
urusan teryata urusan dengan perempuan lain?!" Panji terdiam sesaat. /+
/" Dia hanya klienku Lan, jangan seperti itu aku bisa jelaskan.." /+
/" Tidak perlu." Lana akan menutup telponnya ketika Panji mengatakan
sesuatu yang ia sendiri ragu untuk memutuskan. /+
/" Lana..pleasee aku sayang sama kamu, percayalah..sekarang kamu dimana
aku jemput yah??"perut Lana mendadak mual, bibirnya terkunci mendengar
ucapan Panji, sejujurnya ia masih mengharapkan Panji di sampingnya, tapi
sekarang ia masih teramat marah untuk bertemu dengan lelaki itu. /+
/" Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri besok!" Lana menutup telponnya,
merebahkan tubuhnya di atas sofa, dadanya sesak ia tak ingin menangis
atau berteriak seperti dulu, kini apapun yang ia lakukan sekarang bukan
lagi semata cinta tapi benci. /
//
" Mbak..!!heii.." Lana tergagap kaget, di lihatnya Faren yang duduk di
sampingnya, melambaikan tangannya di depan muka Lana, wajah Faren
terlihat cemas. Lana merubah posisi duduknya, tersenyum kaku. +
" Mbak kenapa..dari tadi Faren panggil nggak nyahut.." Faren mengangkat
satu kakinya menumpukannya di atas kursi, tubuhnya condong ke arah
kakaknya. +
" Tidak apa-apa Far.." +
" Yakin..sepertinya setelah pulang dari luar kota mbak sering melamun?"+
Faren mengusap kening kakaknya, menyibak helai poni yang jatuh menutupi
mata Lana. Faren memang masih muda di bawah Lana, namun sikapnya saat di
dekat Lana selalu terlihat dewasa, tak jarang saat mereka jalan berdua
orang akan mengira mereka sepasang kekasih karena Faren selalu
mengenggam tangan kakaknya kemana pun mereka pergi. +
" Far..kamu tahu nggak cinta itu apa?" Lana menatap adiknya. +
Faren nampak heran, alisnya naik matanya menatap ke atas dan berpikir. +
" Nggak tahu mbak..Faren kan belum pernah pacaran.." Faren tersenyum
lebar, Lana melongo menatap Faren bingung. +
" Memangnya tidak ada perempuan yang kamu sukai??" Faren tertawa melihat
reaksi bingung Lana. +
" Ada..ini orangnya!" Faren mencubit pipi Lana dengan gemas. Baginya ia
lebih menyukai kakaknya di banding perempuan-perempuan di luar sana. +
" Maksud mbak perempuan di kampusmu Faren.." Lana mengusap pipinya yang
merah. +
" Mereka cantik dan menarik, tapi Faren baru mau pacaran kalau sudah
kerja dan.-" +
" Dan apa??" Faren memandang Lana gemas. +
" Menikah setelah sukses." Lana tercenung mendengar ucapan Faren, selama
ini tak berpikir akan segera menikah, ia memang bertunangan dengan Panji
tapi untuk menikah ia masih belum memikirkannya. +
" Kalau seandainya orang yang kamu cintai itu menyakitimu untuk kedua
kali bagaimana?" Lana melihat mata Faren yang membulat dan menyipit, tak
lama Lana tersadar dengan ucapannya. +
" Emm..lupakan saja!" Lana mengibaskan tangannya, ia lupa Faren adiknya
seorang psikolog mampu membaca sikap dan bahasa tubuh orang lain. Lana
tersenyum datar. +
" Apa Panji melakukannya lagi mbak??" Tepat!! Lana menghela napas tak
mungkin ia bisa berbohong pada Faren, hanya dia satu-satunya yang
mengerti sifatnya meski pun terkadang mereka bertengkar untuk sesuatu
yang kecil. Faren selalu tahu bagaimana mendekati kakaknya.+
" Aku..melihatnya bersama orang lain." Lana menunduk, menyembunyikan
kesedihannya. Faren mendesah, di usapnya rambut Lana yang halus dan
tergerai, tubuhnya mendekat hingga ia bisa menyentuh wajah Lana,
mengangkat dagunya dan menatap lama ke dalam mata Lana. +
" Lepaskan lelaki yang menyakitimu, ia tak akan pernah berubah." Lana
menatap mata Faren, ada keyakinan di sana, kepedihan dan kemarahan. +
" Apa kamu membencinya?" Faren mengangguk pelan. " Aku benci karena dia
pernah membuatmu menangis." +
Lana terdiam. +
" Tapi aku mencintainya Far.." +
" Lalu apa ia mencintaimu mbak?" Lana menatap Faren putus asa. +
" Lelaki yang mencintaimu tidak akan menduakanmu atau membuatmu menangis
karena cemburu!" Faren merubah posisinya lebih tegap, suaranya mulai
keras. +
" Kamu benar Far..tapi bagaimana aku bisa melupakannya?" Faren hanya
diam,memandang bunga aster di sudut kolam berayun pelan. +
" Buka hatimu untuk orang lain mbak!" +
" Maksudmu?" +
" Rehan..bagaimana kalau kamu belajar mencintainya?"
..... +
/Belajar mencintainya../
//Lana terduduk di depan meja riasnya, wajahnya terlihat pucat dan
kusut, ia tak habis pikir dengan ucapan Faren tadi sore, setelah Panji
menyakitinya apa kini dia masih bisa mencintai orang lain, terlebih pada
Rehan lelaki yang di jodohkan dengannya. Lana menyentuh craf bermotif
yang di berikan Rehan padanya, mengingat kembali saat Rehan membantunya
lari dari Panji, ia tak mengenal Rehan waktu itu tapi tak ada keraguan
ketika Rehan memintanya untuk tinggal di rumahnya. +
" Apa yang harus aku lakukan.." Lana melemparkan craf itu ke sudut meja,
hatinya kalut. +
" Aku tidak bisa..aku tidak ingin bersama dengan siapa pun!!"
Hujan deras menguyur kota Semarang sejak subuh, aroma tanah basah
menyerbak masuk ke dalam balkon kamar Faren, sesekali terdengar derak
pilu pintu yang terhempas angin.+
Faren menatap keluar kamar, hatinya tak tenang, sikapnya gelisah,
berulang kali ia berjalan kesana kemari seakan sesuatu sedang membuatnya
kalut. +
" Fareeenn...!!"
Terdengar teriakan mama dari lantai bawah. Faren menutup mata sejenak
kemudian menghembuskan napas berat, bergegas turun. +
" Mam..kenapa seh teriak pagi-pagi??" Mama menatap kesal ke arahnya,
tangannya menunjuk sesuatu. Faren menatap sekilas kemudian tersenyum
lebar. +
" Kamu apakah vas bunga mama??" +
" Maaf mam..Faren nggak lihat waktu pulang malam tadi.." +
" Lagian kamu kenapa seh akhir-akhir ini pulang telat terus? Nggak takut
di marahin mbakmu?!" Mama melotot, sambil membereskan pecahan vas bunga,
bunga aster kesayangannya juga ikut berhamburan. +
" Mbak Lana udah berangkat ya mam?" Faren memiringkan kepalanya melihat
pintu kamar Lana yang tertutup rapat. +
" Iya..habis shalat subuh dia pergi, di jemput Rei sama Suri.." Faren
mengerutkan alis. +
" Memangnya mau kemana?nggak biasanya mbak Lana pergi nggak bawa mobil?"
Mama hanya mengangkat bahu, pelan Faren berjalan ke kamar Lana, membuka
pintu dan masuk ke dalam, masih terdengar omelan mama di luar. +
Di dalam kamar Lana, ada banyak buku dan beberapa alat kecantikan.
Faren mengusap meja rias Lana tak ada yang membuatnya tertarik sampai ia
melihat sebuah amplop berwarna coklat tergeletak pasrah. Faren mengambil
dan membukanya, alangkah terkejutnya ia ketika mendapati foto-foto mesra
Panji bersama seorang wanita, yang pasti bukan Lana kakaknya, lagi pula
selama ini Faren tak pernah melihat foto kakaknya berpose genit sekali
pun bersamanya. +
" Kurang ajar kau Panji!!"geram Faren marah. +
" Fareenn..Fareen kamu dimana?" Mama kembali berteriak memanggilnya,
dengan tergesa ia masukkan foto itu kembali ke dalam amplop. +
" Iya mam..tunggu!!" Faren keluar dari kamar Lana dengan wajah kesal,
mama yang melihat raut wajah Faren yang cemberut langsung terdiam. +
" Kamu ngapain di kamar Lana??" +
" Memangnya nggak boleh mam?!" Mama mengerutkan alis mendengat nada
ketus Faren. +
" Idiih..kamu marah ma mama??" Faren menatap mama dan menggeleng,
wajahnya langsung di buat semanis mungkin sebelum mama kembali marah.+
" Ehh temenin mama yuk ke tempatnya Ibu Mulia..itu mamanya Rehan.." Mama
mengamit lengan Faren dengan manja, menowel dagu anak lelakinya dengan
genit. Faren mengangkat wajahnya merasa risih. +
" Mam..jangan seperti itu kenapa seh, tar di kira Faren berondongan
lagi..!" Mama tertawa setelah mencubit pipi anaknya beliau segera
melangkah masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap. +
" Mam..Faren mandi dulu satu jam yahh!!!" Faren menaiki anak tangga di
iringin teriakan histeris mama. +
" Apaaa???!!!" +
....+
Faren berdiri di depan kolam renang yang jernih, udara mulai
menghangat seiring matahari bersinar dan hujan menyisakan embun-embun
kecil di dedaunan. +
" Hai Faren.." Faren menoleh, tersenyum ke arah Rehan yang baru saja
datang. +
" Nggak masuk?" Faren menggeleng. Rehan mengangguk kemudian mengajak
Faren duduk di dalam gazebo taman, angin berhembus pelan menimbulkan
denting lonceng kecil di teras.
" Lana nggak ikut?" Rehan meletakkan tas kerjanya di atas meja, mengulur
dasinya dan melipat lengan bajunya hingga ke siku. +
" Mbak Lana pergi pagi tadi." +
" Emm..sama Panji?"tanya Rehan datar. Faren menaikkan alisnya mendengar
nama Panji di sebut, emosinya kembali membuncah. +
" Mas kenal Panji??" Rehan menatap Faren sekilas, tersenyum dan
menggeleng. +
" Aku baru bertemu dengannya, Lana mengenalkanku." Faren terdiam,
matanya menerawang. +
" Sepertinya kamu kurang suka aku menyebutkan namanya?" Rehan duduk di
depan Faren, menatap pemuda itu dengan simpatik. +
" Apa yang bisa aku sukai dari dia??"ketus Faren tinggi. Rehan
mengerutkan alis, merasa heran." Memangnya kenapa, kalau aku boleh tahu.."
Sesaat Faren terdiam, menatap Rehan lama namun akhirnya ia mau
bicara tentang ketidak sukaannya pada Panji. +
" Jadi begitu..tapi sepertinya Lana mencintainya." +
" Entahlah..mbak Lana hanya terjebak dengan perasaannya sendiri." +
" Lalu sekarang bagaimana keadaannya?" Rehan melipat kedua tangannya di
dada. +
" Kelihatannya baik, tapi setidaknya sikap mbak Lana akan berubah.."
Rehan terdiam, menghela napas. +
" Aku bisa membantumu..kalau kamu tidak keberatan." Rehan menatap Faren
lekat, ada binar mata yang aneh terpancar di sepasang matanya, namun
Faren tahu Rehan serius.+
" Bantu apa?"+
" Kamu tidak suka dengan Panji kan, mungkin aku bisa bantu sesuatu." +
" Aku ingin mbak Lana bisa kembali seperti dulu!" Rehan mengangguk
mendengar ucapan Faren. +
" Aku akan bantu, tapi ada syaratnya." mata Rehan menyipit tajam, ada
sesuatu yang ia pikirkan, bibirnya melengkung membentuk senyuman aneh. +
" Apa itu?" +
Alunan musik di sebuah restoran kecil mengalir sayup, lampu-lampu
jalan mulai berderang, hari mulai gelap di sertai rintik gerimis yang
menderas. Lana tergesa masuk ke dalam restoran, seorang pelayan
menyambutnya dengan senyuman manis, setelah mendapatkan tempat duduk di
sudut caffe Lana memesan secangkir capucinno dan makanan seafood
kepiting, entah kenapa sejak Rehan mengajaknya makan saat itu, Lana
menjadi ketagihan dengan kepiting pedas. +
" Faren mana seh.." Lana melihat jam di tangannya, kemudian menatap
pintu masuk restoran, beberapa orang masuk namun Faren tak kunjung
datang. +
" Selamat malam Lana.." Lana mengangkat wajahnya, terkejut melihat Rehan
berdiri di depannya. +
" Kamu..ngapain di sini??" Lana menunjuk Rehan bingung. Rehan menunjuk
kursi di depan Lana. " Boleh duduk?" Lana mengangguk. +
" Aku menunggu teman tapi sepertinya dia terlambat datang.." Rehan
menjelaskan pada Lana, di tatapnya gadis itu, wajah Lana terlihat lelah
dan pucat, rambutnya di ikat acak menyisakan helai halus menjulur di
pipinya.+
" Kamu..sendiri?" Lana menggeleng +
" Aku nunggu Faren, tadi dia bilang mau minta makan di sini, tapi belum
datang." Rehan tersenyum mengerti, pesanan Lana datang dengan cepat. +
" Ehh mau pesan apa??" Lana menyadari kembali keberadaan Rehan di
depannya. Pemuda itu menggeleng. +
" Nanti saja, aku masih kenyang..kamu pesan seafood kepiting?" Rehan
menunjuk menu makanan Lana. Lana mengangguk sedikit malu. +
" Mau?" Lana menyodorkan piring kepiting di depan Rehan. +
" Nggak, kamu makan saja lagipula aku bosan kalau harus makan ini
terus." Lana tertawa kecil mendengar ucapan Rehan, entah mengapa ia bisa
merasa rileks saat bersama Rehan. +
" Bagaimana hubunganmu dengan tunanganmu?" Rehan bertanya hati-hati, di
lihatnya raut wajah Lana yang berubah. +
" Jangan membahasnya lagi."sahutnya pelan. +
" Kenapa..apa kalian masih bertengkar?" +
" Kami putus." Rehan sedikit terkesima dengan ucapan datar yang keluar
dari bibir Lana, gadis itu begitu tenang, bahkan tak terpengaruh sedikit
pun, asyik mengunyah makanan. +
" Memangnya tidak bisa di bicarakan lagi?"+
" Nggak." +
" Bukannya kamu cinta?" Lana menyisihkan cangkang kepiting, mencuci
tangannya dan meneguk capucinnonya. +
" Dulu iya.." +
" Sekarang?" Lana menatap Rehan, matanya menyiratkan tanda tanya besar. +
" Kenapa kamu mau tahu itu semua?" +
Rehan mengangkat bahunya pelan. " Hanya ingin tahu."jawabnya. +
" Bukan urusanmu kan?" Rehan melihat mata Lana, begitu dingin dan tajam,
tiba-tiba jantungnya berdetak cepat entah mengapa ia menyukai tatapan
seperti itu.+
" Tadi siang Faren dan tante Mulia datang kerumah." Rehan merubah posisi
duduknya lebih condong ke arah Lana.+
" Datang..untuk apa??" Lana memajukan tubuhnya mendengar ucapan Rehan. +
" Tidak tahu, ibumu dan ibuku bicara berdua, aku mengajak Faren
mengobrol." +
" Apa yang kalian obrolkan??" Lana penasaran, ini bukan sesuatu yang di
sukainya, bahkan sedikit membuatnya kesal karena ia sudah menolak
perjodohan itu meski kini ia sedang duduk berdua dengan pemuda itu. +
" Hanya seputar pekerjaan, kampus dan.-"
" Dan apa??"
Rehan melihat Lana dengan antusias, matanya meneduhkan mata Lana, namun
terkesan tegas. +
" Dan pernikahan kita."mata Lana membulat gelap.+
"Ap..apa??!" +
.....
" Braak!!"
Faren mengangkat wajahnya dari buku pelajaran, kacamata yang di
kenakannya melorot di hidung mancungnya, di lihatnya Lana masuk, berdiri
dengan berkacak pinggang, raut wajahnya kesal. +
" Kemana kamu, mbak tungguin sampai kering nggak muncul??!" Faren
melongo sesaat namun mengerti. +
" Maaf mbak..aku lupa" jawabnya gugup, baru ini ia terpaksa berbohong. +
" Lalu apa yang kalian bicarakan tadi siang?" Lana mencercah Faren
dengan pertanyaan. Faren mengaruk kepalanya yang mulai gatal. +
" Kalian..siapa?" +
" Rehan!"sungut Lana kesal. Faren terdiam. +
" Nggak ada mbak.." Lana tahu adiknya berbohong tapi karena lelah ia
akhirnya harus mengalah. +
" Oke kalau begitu..besok kita bicarakan lagi, dan ini untukmu!" Lana
menyerahkan sebungkus plastik putih, tercium oleh Faren aroma nasi
goreng. +
" Aku ke kamar dulu." Lana mengacak rambut Faren sebelum keluar kamar.+
" Makasih mbak..dan maaf." Lana mengangguk, menutup pintu dan bergegas
turun. Faren menghela napas lega. +
"Maafkan aku mbak.."
" Lana!"
Langkah Lana terhenti, raut wajahnya berubah sinis ketika mama
memanggilnya dari ruang makan, tak sedikit pun ia menoleh sampai mama
mendekatinya. +
" Ayo makan bareng.." elus mama. Lana memalingkan wajahnya menatap mama. +
" Lana udah makan."+
" Kalau begitu gabung saja, tuh Rehan udah nungguin kamu." Lana
mengangkat wajahnya, menatap ke ruang makan dan melihat Rehan sedang
tersenyum padanya, sesaat di lihatnya Faren menunduk, ada sesuatu yang
di sembunyikannya Lana yakin itu. +
" Lana capek mam, kalian makan saja.. Lana mau istirahat."Lana mengecup
pipi mama pelan kemudian melangkah masuk ke dalam kamarnya, mama bengong
sekaligus tak sadar dengan tingkah Lana, dengan setengah melongo mama
balik ke ruang makan. +
" Mam biarkan saja, mungkin mbak Lana lelah." Faren menatap mama, yang
di tatap hanya mengangguk pelan tanpa bersuara apa-apa. Mama sedikit
terkejut dengan sikap Lana, tatapan mata anak gadisnya terlihat dingin
bukan itu saja tak biasanya Lana mencium pipinya walau pun dalam keadaan
baik-baik saja. +
" Mama nggak apa-apa?" Papa mengelus lengan mama yang menunduk diam,
istrinya itu hanya mengangguk. +
" Rehan pamit pulang tante." Rehan mencium tangan mama dan papa Lana
kemudian menepuk pundak Faren. +
" Hati-hati ya salam buat ibu bapakmu." Mama melambaikan tangan pada
Rehan yang berjalan ke arah mobil. +
" Faren..coba kamu ke kamar mbakmu, mama kok ngerasa ada yang aneh yah?"
Mama menarik lengan Faren, mbok Min keluar dari kamar Lana dengan
membawa nampan. +
" Mbok habis ngantar apa?"tegur mama halus. Mbok Min urung pergi ketika
mama mendekat. " Teh panas bu." Mama mengerutkan alisnya mendengar
ucapan mbok Min. +
" Memangnya Lana sakit?" Mbok Min menatap Faren sekilas,wajah tuanya
terlihat sedih. +
" Iya bu,sepertinya lagi kurang enak badan." Mama berbalik begitu
mendengar perkataan mbok Min, masuk ke kamar Lana tanpa mengetuk pintu
di ikuti Faren dan papa. +
Lana berbaring di atas tempat tidur, cahaya kamarnya meredup. Lana
menutup wajahnya dengan satu tangan, wajahnya yang putih nampak memerah.+
" Lana.." mama mengelus tangan Lana, semburat rasa panas menjalar di
tangan tuanya. +
" Pap badannya panas sekali!" Mama memandang papa yang berdiri di
sampingnya. Papa ikut memyentuh tangan Lana, mengerutkan alis. +
" Faren kita bawa Lana ke rumah sakit!" Faren mengangguk, kemudian
berlari keluar kamar untuk mencari kunci mobil. +
" Lana nggak apa pap." Lana menurunkan lengannya dan menatap kedua orang
tuanya, matanya sayu dengan napas terengah. Mama menggeleng kesal. +
" Jangan membantah Lana, mama khawatir kamu sakit lagi!" Faren datang
ketika mbok Min juga masuk. +
" Saya sudah buatkan obat penurun panas bu.." mbok Min berdiri di
samping tempat tidur Lana, di tangannya ada secangkir ramuan tradisional
yang di yakininya bisa menurunkan panas Lana. Mama menatap sejenak, ia
memang percaya sepenuhnya pada mbok Min, sejak Lana kecil mbok Min tahu
bagaimana mengurus Lana saat sakit. +
" Ya sudah mbok, tolong kasih itu dulu kalau masih panas kita ke rumah
sakit." Mbok Min mengangguk, dengan sabar ia menyuapkan sedikit demi
sedikit ramuan itu ke mulut Lana. +
Sejam berlalu, mama masih berjaga di tepi tempat tidur Lana,
berulang kali menganti air kompresan. Perlahan tubuh Lana mulai stabil,
panasnya berkurang dan ia bisa tertidur pulas. +
" Mam.." Mama melirik Faren yang masuk dengan membawa guling. +
" Kamu kenapa belum tidur, terus kenapa bawa guling??" Mama menatap
heran. Faren nyengir berdiri sambil memeluk guling kesayangannya. +
" Mama tidur saja, biar Faren yang jaga mbak Lana.." Faren menatap
kakaknya yang tidur, wajahnya yang merah mulai berangsur putih. +
" Mama juga mau tidur di sini, mama takut Lana panas lagi." +
"Kalau gitu mama tidur di samping mbak Lana saja, Faren tidur di sofa."
Faren duduk di sofa kamar Lana, kamar Lana memang lebih luas di banding
kamarnya, sehingga tak heran kamar Lana pun mempunyai satu ruang tamu
untuk privasi bersama rekan kerjanya.
Mama tidur di samping Lana dengan hati-hati, setelah yakin panas
Lana turun mama memberikan isyarat pada Faren untuk istirahat. Faren
mengangguk, pelan ia berjalan ke tempat tidur Lana menatap sejenak wajah
kakaknya kemudian berbalik dan tidur di sofa dengan gelisah. +
.
Pagi harinya saat matahari belum naik begitu tinggi Lana terbangun,
ia merasa sesak napas dan berat, dengan susah payah ia membuka mata dan
alangkah terkejutnya ketika mendapati mama dan Faren tengah tertidur di
sampingnya, tangan mama memeluk tubuhnya, sedang Faren asyik dengan
guling kesayangannya, tempat tidur dengan ukuran queen itu terasa sesak
karena harus di isi dengan tubuh tiga orang yang besar. +
" Uuh..mama Faren banguuun!!" Lana berteriak histeris, ia merasa seluruh
tubuhnya sakit dan susah bernapas, mama terbangun dengan reaksi
mengejutkan, menatap Lana kemudian menangkup wajah putrinya dengan cemas.+
" Lana..ada apa??kamu sakit lagi??mana..mana yang sakit nak??" Mama
menyentuh tubuh Lana, membuat Lana merasa risih. +
" Mama ngapain tidur di kamar Lana.. terus ini kenapa juga ikut-ikutan
nyumpel?!" Lana memukul punggung Faren yang masih tertidur pulas, mama
mendelik melihat Faren. +
" Bukannya dia tidur di sofa..kok bisa pindah kesini.." Lana mendesah
kesal, di paksanya tubuhnya untuk bangun dari tempat tidur, kepalanya
terasa pusing. +
" Lana kamu sudah baikan??" Mama juga ikut berdiri, menyisir rambutnya
yang berantakan. Lana mengangguk, menggerakan tubuhnya yang kaku. +
" Mama istirahat saja..makasih sudah jagain Lana." Lana melenggang masuk
ke dalam kamar mandi, mama mengangguk bingung, ketika akan melangkah
keluar mama kembali berbalik ke kamar Lana membangunkan Faren. +
" Faren..ayo bangun pindah ke kamar!!" Mama menguncang tubuh Faren,
tidak habis pikir kenapa anak lelakinya yang sudah besar bisa ikut tidur
bersama kakaknya. +
" Iya mam.." Faren bangun dengan setengah mengantuk berjalan keluar
kamar. Mama ikut keluar setelah menutup pintu, ketika masuk ke dalam
kamarnya mama mendengar mbok Min yang ribut karena Faren. +
" Den..den Faren banguun den..masa tidur di tangga..den..!!" +
.....
Salon nampak ramai ketika Lana sampai di ruko, hari ini ia terpaksa
membawa Faren ke salon karena mama memaksa. Lana memberikan isyarat pada
Suri untuk naik ke atas. Suri mengangguk setelah sebelumnya tersenyum
manis pada Faren, Rei yang di sebelahnya melirik kesal. +
" Faren..gimana kabarnya?" Rei mendekati Faren dan merangkulnya
erat. Faren mengeliat jengah, ia tahu siapa Rei dengan sifat tak
normalnya. +
" Baik mas..ehh." Rei tersenyum geli mendengar ucapan gugup Faren. +
" Kakak juga nggak apa..biasa aj Far.." Faren mengangguk kaku, matanya
celingukan mencari Lana, beberapa pegawai dan tamu yang rata-rata wanita
melirik genit ke arahnya, maklum Faren adalah pemuda yang tampan dengan
sepasang mata elang, bibir tipis dan rambut legam tertata, tubuhnya
kekar dan tinggi, wajahnya yang sempurna selalu menjadi perhatian.+
Faren naik ke atas di ikuti Suri dan Rei, duduk di sofa dekat
jendela menikmati pemandangan di bawahnya, di lihatnya sekilas Lana,
Suri dan Rei mereka bertiga duduk menghadap meja siap rapat.
Share this novel