Series
24
Langkah Adel terasa berat ketika ia meninggalkan lobi Suryana Tower sore itu. Pikirannya masih memutar ulang pertemuannya dengan Rayyan. Ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan—perasaan yang muncul begitu saja, tanpa permisi. Namun, semakin ia memikirkannya, semakin ia merasa ada sesuatu yang janggal di balik tatapan pria itu.
Di sisi lain kota yang mulai diselimuti cahaya senja, Rayyan berdiri di balik tirai jendela apartemennya yang sederhana. Ia memandangi jalanan di bawah yang ramai. Namun pikirannya jauh dari pemandangan itu.
“Dia tidak mengenaliku…” bisiknya pelan.
Kalimat itu terdengar seperti kelegaan sekaligus pukulan. Ia merapatkan tangan pada gelas kopi yang sudah mulai dingin. Ada getaran halus di ujung jarinya.
Rayyan membuka laci meja kecil di ruang tamunya. Di dalamnya terdapat sebuah foto yang telah kusam, pinggirannya mulai mengelupas. Dalam foto itu, seorang gadis kecil tersenyum cerah di bawah sinar matahari. Di sampingnya, seorang anak laki-laki berdiri sambil mengangkat tangan seolah melindungi sang gadis dari cahaya.
Tatapan Rayyan melembut. "Adel…" katanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Ia menutup foto itu dan memasukkannya kembali ke tempatnya seolah menyembunyikan sesuatu yang tidak seharusnya dilihat dunia luar.
Namun masa lalu tidak pernah benar-benar hilang.
Keesokan harinya, Adel duduk di kafe dekat kantornya, sibuk menatap layar laptop. Ia mencoba fokus, tetapi pikirannya melayang pada kejadian kemarin.
“Kenapa aku begini?” gumamnya sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
“Begini apa?” suara tiba-tiba muncul dari depannya.
Adel tersentak. Rayyan berdiri di sana, membawa dua cangkir kopi.
“Aku… kamu…” Adel kehilangan kata-kata.
Rayyan tersenyum hangat. “Aku lihat kamu masuk ke sini. Boleh duduk?”
Adel mengangguk, meski jantungnya kembali berdebar tidak karuan.
Rayyan meletakkan satu cangkir di depannya. “Aku tidak tahu kamu suka kopi jenis apa, jadi aku pilihkan cappuccino. Aman untuk kebanyakan orang.”
Adel terkekeh kecil. “Untungnya… aku suka.”
“Bagus.”
Hening sejenak, namun bukan hening yang canggung. Lebih seperti jeda yang muncul ketika dua orang tidak tahu harus mulai dari mana.
“Kamu bekerja di bidang apa, Rayyan?” tanya Adel akhirnya.
Rayyan menunduk sedikit, tampak mempertimbangkan jawabannya. “Aku… bekerja di bidang konsultasi data. Sering berpindah tempat.”
Ada sesuatu yang tertahan dalam suaranya, tapi Adel memutuskan untuk tidak menekannya.
“Aku boleh bertanya sesuatu?” Rayyan berkata tiba-tiba.
“Tentu.”
“Apakah kita… pernah bertemu sebelumnya?”
Pertanyaannya membuat Adel terdiam. Ada sesuatu di balik nada itu—seperti seseorang yang mencari potongan puzzle yang hilang.
“Aku rasa belum,” jawab Adel ragu. “Kalau pun pernah, mungkin hanya sekilas.”
Rayyan mengangguk pelan. “Begitu, ya…”
Tatapannya terlihat kosong sesaat sebelum ia kembali tersenyum.
Sebelum Adel sempat bertanya lebih lanjut, ponsel Rayyan bergetar. Ia menatap layar, dan ekspresinya berubah seketika. Wajahnya yang tenang kini tampak tegang.
“Aku harus pergi,” katanya sambil berdiri.
“Apakah semuanya baik-baik saja?”
Rayyan menahan napas sejenak. “Aku akan jelaskan… lain waktu.”
Dan sebelum Adel bisa berkata apa pun, Rayyan sudah berjalan cepat meninggalkan kafe.
Adel menatap kursi kosong itu, merasa seperti sedang menyusun kepingan misteri yang tidak ia ketahui bentuk akhirnya.
Di tempat lain, Rayyan berdiri di sudut gang kecil, menjawab panggilan yang tadi ia terima.
“Aku sudah menemukannya,” ucap Rayyan.
Suara di seberang terdengar berat dan dingin. “Bagus. Pastikan dia tidak tahu apa pun—setidaknya sampai kita tahu apa rencana mereka.”
Rayyan mengepalkan tangan. “Dia tidak boleh terlibat. Cukup aku saja.”
“Kita lihat nanti,” jawab suara itu sebelum menutup panggilan.
Rayyan menatap langit yang mulai gelap.
Ia tahu masa lalunya akan menyeret Adel ke dalam bahaya. Tapi ia tidak tahu bahwa bahaya itu sudah mulai bergerak… bahkan sebelum ia bertemu kembali dengan gadis yang selama ini ia cari-cari.
Dan Adel sama sekali tidak tahu bahwa hidupnya akan berubah lebih cepat daripada yang ia bayangkan.
Share this novel