Something that Tell Me

Drama Series 387

5 Agustus 2017

Beberapa hari kemarin berjalan seperti biasa, meskipun aku tidak lagi duduk sebangku dengan Cilla. Sepertinya dia masih marah kepadaku. Aku berusaha bersikap biasa saja kepada Cilla meskipun aku sebenarnya ingin bertegur sapa lagi dengan Cilla.

Hari ini aku juga merasakan hal yang sama, aman. Setelah bergulat dengan dua pilihan ekstrakulikuler yang membuatku bimbang, hari ini dengan pilihan masuk ke ekstrakulikuler drama aku berada di ruangan yang penuh dengan bahan/alat dekorasi dan custume. Aku duduk lesehan bersama teman-teman ekskul drama lainnya.

Hari pertama ekstra drama untuk kelas X sepertiku. Jadwal ekskulpun di selenggarakan 2 kali per minggu yaitu pada hari jum'at setelah sholat jum'at dan sabtu. Karena sekolahku full day jadi semua ekskul dipusatkan pada hari sabtu. Dan hari ini hari sabtu.

"Selamat pagi semuanya," ucap Kak Ariska wakil ekskul drama.

"Pagi Kak," seru kami semua yang berada di ruangan ini.

"Sebelumnya terima kasih banyak sudah berpartisipasi di ekskul drama. Agar kita lebih dekat kita saling berkenalan ya. Untuk itu saya dan penanggung jawab ekskul drama akan memberi kalian masing-masing kertas yang wajib diisi. Saya kasih waktu 5 menit buat mengisi, " ucap Kak Ariska.

Senior yang lain memberikan selembara-selembaran yang harus dioper ke siswa sebelahku. Setelah mendapatkan masing-masing lembaran, kami fokus pada kertas masing-masing.

"Oke, saya rasa waktunya selesai buat mengisi. Sekarang yang saya tunjuk silahkan maju ke depan dan biar gak lama saya minta pertunjukkannya sedikit sebagai persembahan perkenala serta agar kami bisa melihat kemampuan kalian," ucap Kak Ariska lagi sambil sambil menepuk tangannya meminta perhatian.

Suasana menjadi ramai riuh dari kami anggota baru karena tidak menyangka akan diperintahkan untuk berakting sedikit satu persatu.

Aku yang belum pernah berakting juga gaguk mau berakting apa. Pura-pura sedihkah? Atau senang? Atau menjadi orang gila? Aku bingung. Gak ada ide yang tiba-tiba muncul. Justru yang ada di pikiranku saat ini hanya 'jangan gue duluan, please jangan tunjuk gue duluan.'

"Ayo, adik yang pakai gelang jam merah." ucapnya sambil menunjuk ke arah pojok kanan. Aku bisa bernapas lega, karena bukan aku yang pertama. Aku saja masih bingung mau akting seperti apa.

Siswa yang ditunjukkpun kemudian berdiri di depan seperti kakak senior. Dia memberikan selembar kertas biodatanya kepada kakak senior yang lain. Dengan percaya diri dia memperkenalkan dirinya di depan kami semua.

"Nama saya Kanzadia Putri, dari kelas X-2, umur saya 15 tahun. Hobby saya berenang. Saya masuk di ekskul drama karena saya pengen banget melatih diri agar terbiasa di atas panggung yang pada dasarnya saya tidak percaya diri. Kali ini saya akan berperan sebagai ibu yang kesal dengan anaknya," ucap Kanza sebelum memulai aksinya.

Kanza memperbaiki penampilannya, memastikan sudah siap untuk di mulai.

"KAMU! Mama sudah lelah dengan sikap kamu. Berapa kali Mama mendapatkan surat panggilan dari sekolah atas perilaku kamu yang akhir-akhir ini seperti brandalan! Lupakan saja sekolah, biar masa depan kamu suram. Lebih baik Mama mengeluarkan uang untuk memberi makan ayam-ayam peliharaan Papa mu yang sama saja tingkahnya seperti kamu!" teriak Kanza yang secara tiba-tiba tanpa ada aba-aba. Dengan ekspresi kemarahan, dia menunjukku yang kebetulan berada di barisan depan. Aku yang tiba-tiba dibentak Kanza yang sedang pura-pura marah dengan spontan memegangi dada karena terkejut. Kakak senior memberikan tepuk tangan yang renyah.

Dibarengi dengan tepuk tangan kami semua kami tertawa menikmati sedikit persembahan Kanza. Bagaimana tidak tertawa, Kansa menyamai anak pura-puranya seperti ayam dari suami Kanza. Sangat lucu, kami semua terhibur meskipun awalnya terkejut dengan teriakan Kanza.

"Bagus-bagus akting Kanza. Kayaknya bakat jadi artis. hati-hati yang jadi anaknya Kanza bakal dikutuk jadi ayam," ucap Kak Darma yang kemarin aku tau dia sebagai ketua ekskul drama.

"Sekarang, kamu yang tadi di tunjuk oleh Kanza sebagai anak. Silahkan perkenalkan diri kamu," ucap Kak Darma sambil menunjukku.

JRENGGG...

Giliranku? Aku harus jadi apa buat penampilan nanti? Aku belum membuat pilihan sama sekali.

"Sa-saya, Kak?" tanyaku canggung sambil menunjuk diri sendiri.

"Iya kamu," ucap Kak Darma.

Kenapa selanjutnya aku? Kenapa bukan sebelahku atau belakangku? Aku berdiri kedepan dengan memainkan tanganku khas saat aku gugup. Menatap mereka semua membuatku semakin gugup. Maka aku menggunakan cara jitu untuk menetralisir kegugukan ini dengan mengambil napas panjang dan memulainya.

"Nama saya Argenta Sherinia Malau, biasa di panggil Ar. Usia saya 15 tahun. Saya dari kelas X-1. Hobby saya bernyanyi, saya memilih ekskul drama karena saya ingin mencoba ke hal yang baru. Saya akan membalas akting Kanza sebagai anaknya. Terima kasih," ucapku secara cepat tanpa mengambil napas.

Mereka semua yang berada di dalam ruangan ini memberikan tepuk tangan sebagai penyemangatku.

Aku mengambil posisi jongkok seolah-olah memohon kepada ibu yang tadi di perankan oleh Kanza.

Saat aku ingin memulai dramaku, Kak Darma memerintahkan Kanza maju kedepan lagi agar semakin mendukung aktingku.

"Mama jika kesal dengan ayam-ayam Papa, silahkan potong saja kenapa menyalahkanku. Aku hanya memberikan Mama surat cinta dari sekolah. Mama tau, aku ini anak dengan prestasi unik. Seharusnya Mama bangga aku menjadi atlet serabutan. Yang bisa menjadi tukang pukul, atlet panjat dinding sekolah, atlet lempar kertas di wajah guru. Harusnya Mama bangga itu," ucapku nyeleneh memperagakannya.

Tanpa aba-aba semua yang berada di ruangan ini tertawa terpingkal-pingkal melihat Aku dan Kanza. Apa yang ada di otakku hanya ini seperti yang aku persembahkan tadi. Aku gak menyangka mereka semua menyukainya. Mereka semua memberikan tepung tangan yang meriah.

Dilanjutkan dengan siswa lainnya, sehingga kamipun sekarang mengenal satu sama lain. Tidak terkecuali nama dari pembimbing ekskul yaitu Kak Defan. Kak Defan adalah alumni SMA gemilang yang sekarang ini masih disibukkan dengan perkuliahan di fakultas seni rupa UNESA surabaya.

Untuk membalaskan budinya pada sekolah ini dia bercerita di sela-sela pertemuan pertama kami bahwa dia dengan suka relawan menjadi pembimbing ekskul drama.

Pukul 11.00 pertemuan kali ini diakhiri dengan doa bersama dan jabat tangan satu sama lain. Aku memang gak salah pilih ekskul. Diekskul ini aku merasa nyaman. Di sini juga aku bisa mengenal Kanza. Dimulai dari pertunjukkan kecilnya yang membuatku masuk didalamnya akhirnya kami saling akrab.

Aku dan Kanza keluar ruangan bersamaan sambil bercanda. Sambil mengobrol kami juga tak lupa berjalan berniat akan pulang.

"Gue gak habis pikir kalau lo ngimbangin peran gue tadi," ucap dia sambil tertawa.

"Itu spontan lo, Za." ucapku juga.

"Spontan tapi keren tau. Gue suka selera humor lo," ucap Kanza lagi sambil menepuk bahuku berkali-kali.

"Lo juga keren tau. Apalagi pas lo tiba-tiba teriak sambil nunjuk gue tadi. Gile gue kaget banget tau,"

"Ahahaha... Oh ya rumah lo dimana?" tanya Kanza. Kanza jika dilihat-lihat sedikit tomboy. Tapi dia anaknya rame.

"Rumah gue di daerah Pakis. Lo sendiri?" jawabku dilanjutkan dengan pertanyaan.

"Gue di kampung tomat daerah Kedurus." jawabnya.

Saat kami berdua sedang jalan, dari arah lapangan bola basket meluncur dengan cepatnya mengenai bahu kiriku. Lemparan seseorang di sana cukup keras hingga aku terpental ke arah Kanza. Kanza yang merasa aku senggol langsung memelukku menahan tubuhku agar tidak jatuh ke samping kanan.

Seseorang yang gak sengaja melempar bola basket ke arah kamipun mendekatiku.

"Ar, lo gakpapa kan?" tanyanya yang aku hafal betul itu suara siapa.

"Kalau lo gak bisa main basket, gak usah main!" ucap Kanza yang awalnya menahanku kemudian mendorong tubuh Kalvin tidak terima.

Aku yang merasa baik-baik saja melihat Kanza emosi langsung menenangkan Kanza. "Udah Za, gue gakpapa. Makasih ya," ucapku sambil mengelus lengan kiriku yang lumayan sakit karena ditimpuk bola.

"Gue minta maaf, gue gak sengaja." ucap Kalvin memohon.

"Iya gakpapa, Vin. Udah lo lanjut aja latihannya."

"Bener gakpapa?" tanya Kalvin lagi memastikan.

Aku mengangguk mengiyakan. Kalvin pun pergi mengambil bola, kemudian melanjutkan latihannya di lapangan basket.

Aku kemudian melanjutkan berjalan bersama Kanza. Diperjalanan kami menuju gerbang sekolah kami juga melanjutkan perbincangan tadi yang sempat terputus karena kejadian ketimpuk bola basket.

"Cowok yang tadi nimpuk lo pakek bola basket itu temen sekelas gue. Namanya Kalvin," ucap Kanza yang dari tadi gak sadar bahwa aku sudah mengenal Kalvin dari caraku menyebut namanya.

"Iya aku kenal kok," ucapku.

"Gue gak suka sama dia."

"Kenapa gitu?" tanyaku yang tertarik dengan pernyataan Kanza. Gak sedikit yang mengagumi Kalvin sebagai anak baru seperti kami berdua. Beberapa dari fans Kalvin juga kakak tingkat atas. Semua itu aku ketahui beberapa hari yang lalu menguping di kantin sekolah. Ada yang berkata Kalvin ganteng seperti kakaknya, keren melebihi kakaknya, misterius, dan bla-bla-bla.

"Dia memang ganteng, tapi sombong, nyebelin, rese', pokoknya gue gak suka!" terang Kanza. Mimik wajah Kanza berubah menjadi sengak.

"Sombong dimananya, Za?" tanyaku lagi.

"Dia kan temen sekelas gue. Beberapa anak di kelas gue juga naksir dia,"

"Termasuk lo juga?" tanyaku memotong jawaban Kanza.

"Eit, jangan samain gue dengan cewek-cewek di kelas. Gue dari awal aja udah sebel sama dia, karena tempat duduk gue yang gue tandai sama tas gue dipindahin gitu aja. Pas gue minta dia pergi, gue gak di gubris. Dia malah nyuru gue duduk di bangku lain," terangnya lagi.

Aku yang mendengar cerita Kanza hanya bisa tertawa. "Lagian cuman tempat duduk, Za."

"Masalahnya gue udah dari pagi datang duluan biar kursi di paling belakang dan paling pojok itu jadi markas gue tidur. Eh ini direbut, dan gue di usir." ucapnya lagi dengan sedikit kesal. Biasanya siswa datang paling pagi karena dia ingin duduk di kursi paling depan, sedangkan Kanza ini kebalikannya.

Aku masih terkekeh melihat mimik wajah Kanza yang kesal. Dia menceritakannya dengan penuh emosi.

"Rasanya itu Ar, pengen gue remet-remet tuh anak terus gue lempar ke tong sampah." lanjutnya.

"Yaudahlah, dia sebenarnya baik kok. Cuman lo gak kenal dia,"

"Kayaknya lo kenal baik sama dia ya?" tanyanya.

"Yang lo sebut sombong, rese' dan bla-bla-bla tadi itu mantan gue," ucapku ringan tak seberat berterus terang kepada Cilla.

"Serius?" tanya Kanza memastikan tidak percaya.

Aku hanya tersenyum sambil mengangguk. Andai saja aku bisa bercerita banyak seperti ini kepada Cilla dan memperbaiki semuanya, pasti kita tidak akan begini. Aku ingin terbuka kepada Cilla, tapi bagaimana lagi aku sudah terlanjur bohong. Jika aku ketahuan bohong pasti Cilla akan lebih marah lagi, apalagi jika Cilla tau tentang hubunganku sama Kalvin. Aku gak tau harus berucap apa.

Sampai detik ini dia tidak ada tanda-tanda melupakan rasa kesalnya kepadaku. Justru hari demi hari dia tidak meyapaku, bahkan tersenyumpun tidak. Kami seperti musuh saja. Aku hanya pasrah menerima perlakuan Cilla hingga suatu saat nanti aku berani berkata kepada Cilla tentang semuanya dan siap menerima resikonya.

"Ar, angkot searah rumah gue udah ada, gue duluan ya," ucap Kanza kemudian berlari mengejar angkot yang berada di sebrang jalan.

"Iya hati-hati, Za." teriakku agar bisa didengar oleh Kanza yang lama-lama menjauh.

Segerombolan anak Chearleaders berjalan di depanku. Tertawa saling melontarkan candaan satu sama lain, dengan bangganya mengenakan seragam chears itu berjalan angkuh di setiap orang yang mereka lewati. Entah aku saja yang merasa seperti itu atau memang cara mereka berjalan, menatap orang lain yang bukan anggotanya seperti itu aku gak tau.

Yang jadi pusat perhatianku bukan mereka yang tiba-tiba berjalan melewatiku begitu saja, tetapi aku terfokus pada Cilla yang baru aku tau menjadi anggota chears tanpa menyapaku. Dia sepertinya sangat akrab dengan Kak Silvia and the gank. Dari caranya bercanda, dan ngobrol sama Kak Silvia dan teman-temannya itu terlihat bahwa Cilla memang pandai beradaptasi dengan orang lain.

Aku ingin menyapa Cilla tapi ku urungkan karena Kak Silvia tiba-tiba menatapku sinis dari ujung kaki hingga pucuk kepala. Aku yang sadar di tatap seperti itu langsung menunduk hormat gak berani membalas tatapannya. Nyaliku ciut seketika itu juga.

Kak Silvia dan anak chearleaders lainnya berlalu pergi. Seseorang menepuk bahuku dari arah belakang.

"Ar, lo kenapa?" tanya Kalvin yang sepertinya melihatku merunduk hormat kepada Kak Silvia.

Aku menggelengkan kepala meyakinkan Kalvin jika tidak terjadi apa-apa kepadaku.

"Gak usah takut, Pulang bareng gue yuk," ucap Kalvin yang secara langsung menggenggam tanganku menarikku ke arah yang dia mau. Aku menahan tarikan tangannya ingin menolak.

"Tapi gue udah dijemput Mama di depan, Vin."

Saat doa akhir ekskul Mama sudah menelponku. Sebelumnya aku sudah mengirim sms terlebih dahulu ke Mama untuk menjemputku jam 11.00 WIB sesuai jadwal yang aku terima sebelum pertemuan hari ini.

"Oh udah dijemput?" genggaman tangan Kalvin ke tanganku merenggang seiring ucapannya.

Aku mengangguk, menarik tanganku yang terbebas dari genggaman tangan Kalvin dan memilih memegangi tali selempang tasku yang tidak panjang.

"Aku duluan ya Vin," niatku pamit.

"Ar," panggilnya menghentikan langkahku untuk pergi.

Aku membalikkan badan ke arah sumber suara, menatap wajah Kalvin yang tiba-tiba berubah canggung kepadaku.

"Malam ini lo ada acara gak?" tanya Kalvin.

"Emang kenapa, Vin?" tanyaku balik.

"Gue mau ngajak lo nonton sekalian beli baju basket. Emmm.... baju basket gue yang lama udah sobek. lo mau temenin gue gak? " jawabnya kemudian melontarkan pertanyaan.

Seluruh tubuhku terasa hangat, aliran darah ini seketika terasa dari bawah kulit, dan jantungku berpacu dalam waktu. Bukan hitungan detik lagi jantung ini berdetak, melainkan dua atau tiga kali lebih cepat dari sebelumnya. Aku mendengar ajakan Kalvin hanya bisa mematung.

Tolong jantung jangan meledak sekarang, tunggu hingga aku bisa mengucapkan kata 'iya' agar aku bisa lancar mengucapkannya.

"I-Iya mau, Vin. Gue duluan ya, ud-udah di tunggu Mama di depan," bahkan aku gak bisa mengontrol diriku sendiri. Lidahku keluh, pitah suaraku tiba-tiba bergetar tidak jelas. Aku berlari keluar gerbang menghindari rasa malu. Aku takut rona di pipiku tercetak jelas di depan Kalvin.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience