Bab 44

Romance Completed 25593

BAB 44

VIAN POV

Bodoh, kurutuki diri sendiri saat aku sudah berada di dalam mobil milik Vani. Karena sikapku yang baik kepadanya memang benar di salahartikan olehnya. Vani yang baru kukenal beberapa hari ini, mahasisiwi kedokteran yang akan melanjutkan spesialisnya juga. Dia menawarkan beasiswa yang juga didapatnya saat mengetahui kalau aku juga sedang mengusahakan beasiswa lagi untuk program spesialisku. Tadinya aku memang menanggapinya karena kita sama-sama senasib dan juga sama-sama dari Fakultas Kedokteran Gigi.

Merasa nyaman karena obrolan kami bisa enak, akhirnya kuberikan alamat rumah dan caféku. Pagi tadi sebenarnya dia ke café memang menjemputku untuk ke rumah professor Hadi, salah satu dosen pembimbing kami. Aku pikir wanita smart seperti Vani pasti berbeda dengan wanita lain, jadi aku tak perlu khawatir dengan istriku tercinta.

Tapi mungkin ini semua salahku karena sejak awal aku tak pernah memberi tahunya kalau aku sudah menikah. Bagiku itu tak penting toh kehidupan pribadiku memang tak untuk diekspos. Tadinya aku pikir begitu, tapi saat dia dengan nekat menciumku di dalam café dan di depan semua pengunjung terlebih istriku tercinta menyaksikannya. Aku tahu istriku cemburu, tapi satu yang kusuka darinya sikapnya yang dewasa memang sudah dibuktikannya dengan tidak memperlihatkannya di depanku dan semua orang.

Aku pun merasa tak nyaman saat berada di dalam rumah professor Hadi. Vani seperti biasa merasa tak ada yang dikhawatirkan dengan sikapnya tadi di depan istriku. Aku benar-benar ingin segera pulang, menyesal aku ikut dengan Vani. Meninggalkan istriku yang pasti sekarang sedang menangis. Baru saja aku bisa membujuknya karena semalam dia melihatku dengan mahasiswi-mahasiswiku yang berkunjung ke café. Sekarang ada masalah Vani lagi. Matanya masih terlihat sembab lagi, kalau begini aku jadi merasa bersalah dengan bunda sudah membuat putri kesayangannya menangis.

Maka dengan itu aku nekat menolak ajakan Vani saat ingin mengantarku pulang. Ingin naik taksi ternyata dompetku tertinggal di rumah dan hanya beberapa lembar puluhan ribu di kantong kemejaku. Ya sudah ingin segera sampai rumah akhirnya aku naik angkot, dan berlari menuju rumah dengan menembus hujan karena ingin segera meminta maaf dengan mbak Mawarku tercinta. Dan saat itulah saat aku turun dari angkot aku melihat sosok seseorang yang selama ini aku hindari, Ryan Atmawijaya, yang tak lain masku itu baru saja keluar dari dalam taksi membuatku membeku seketika. Untung jarakku dengannya sangat jauh. Kulihat dia memasuki sebuah hotel mewah yang memang berada di persimpangan tak jauh dari jalan menuju rumah milik Om Dewa. Apakah ini kebetulan, atau masku memang sudah tahu keberadaan kami?

*****

Damai saat istri kita tercinta merawat kita saat sedang sakit begini. Semalam aku memang demam, tapi istriku tercinta ini merawatku dengan penuh kasih sayang.

“Bee, periksa, yuk?” ucapnya saat menyuapkan bubur ke dalam mulutku.

Aku jadi teringat kemarin sore aku benar-benar melihat masku itu, dan aku tak mau masku melihatku apalagi mbak Mawar berada di sini. Kugelengkan kepala lalu memeluk mbak Mawar yang tampak mengernyit heran.

“Fey, cuma flu ini, tak usah periksa juga tak apa, aku ingin berdua saja dengan Fey hari ini,” ucapku membuat dia memukul bahuku dan mengerutkan keningnya.

“Manja, tak boleh, pokoknya ke dokter, periksa biar sembuh, ini demammu belum turun,” ucapnya memaksa.

“Enggak mau, demam itu bukan penyakit, kok, tapi tubuh kita sedang berperang melawan penyakit yang masuk gitu, jadi ini ya sedang melawan, adu jotos di dalam sini. Nanti juga reda sendiri tinggal diminumin susu, apalagi susunya.” Kulirik istriku yang kini melotot ke arahku.

“Berondong mesuuuuuuum ... sakit masih aja, ya,” ucapnya, membuat tawaku berderai.

“Tapi aku tinggal ke café tak papa kan, ya? Kasian Radit pesanan red velvet sekarang makin banyak,” ucapnya sambil mengusap rambutku dengan sayang. Duh jadi berasa seperti anak kecil kalau diperlakukan begini.

“Tak mau, maunya Fey di sini seharian, cake di café kan bisa dikerjakan Radit kan, ya?”

Mbak Mawar memutar bola matanya.

“Dia tak bisa, membuat adonan red velvet, cuma sebentar ini kok, nanti juga kembali sebelum duhur,” ucapnya lagi mencoba merajukku untuk mau ditinggal.

Kugelengkan kepala mencoba menggodanya, tak ada salahnya, bermanja-manja dengan istri sendiri.

“Aku ikut,” ucapku ke arahnya, tapi istriku langsung menggelengkan kepalanya.

“Lagi sakit, Bee, semalam saja terus mengigau karena panas tubuhmu itu. Sekarang istirahat dan tidur,” Perintahnya mulai galak. Tapi kali ini galaknya tak mempan.

Aku suka menggodanya dan suka diperhatikan olehnya.

“Ikuut, ikut, ikut, ikut.”

“Hussttf, iya iya ikut tapi diam berisik tahu, kasihan dekbaynya sedang bobok kalau jam segini,” ucapnya sambil mengusap perutnya itu.

Aku jadi merasa terharu melihatnya, sangat menyayangi calon buah hati kami.

*****

Kepalaku terasa berdenyut ... kini kusesap jus jeruk buatan istriku tercinta dengan ditemani pancake ciptaannya, yang merupakan menu utama di café ini.

Kutatap istriku sedang berkutat di pantry dengan Radit. Hari masih pagi, tapi sudah banyak yang menikmati sarapan atau bahkan sekadar menyesap kopi di sini sebelum pergi ke kantor. Aku jadi punya agenda untuk menambah karyawan kalau begini. Merasa bersyukur juga, mempunyai istri yang pintar membuat cake, sehingga café ini semakin beragam menunya.

Rasya tampak mengetuk-ketukan jarinya di meja kasir dengan headphone di telinga. Pagi ini katanya dia tak masuk kuliah, entah alasan atau memang tak ada mata kuliah.

Dia lebih suka menyanyi di café ini. Bakat om Dewa rupanya, memang menurun ke Rasya. Om Dewa dulu pernah punya band di masa remajanya, yang lumayan terkenal.

Suara bel pintu sebagai tanda tiap pengunjung yang datang membuatku mengalihkan pandanganku dari Rasya. Dan dalam seperkian detik tubuhku membeku melihat siapa yang kini berdiri tegap di sana.

Lidahku keluh, tubuhku kaku, mataku tak berkedip melihatnya, itu masku, mas Ryan yang berdiri di sana. Tahukah dia kalau café ini punyaku, mau mengambil istriku kah dia ke sini?

Tepukan di bahukulah yang menyadarkanku. Rasya sudah berdiri di depanku dan menatapku dengan horor.

“Kak itu mas Ryan, bagaimana ini, kita, harus sembunyi,” ucapnya membuatku segera mengangguk dan bangkit dari kursi.

Lalu menyeret Rasya dan masuk ke dalam pantry.

“Fey, kita harus pergi,” tanganku menarik tangannya yang masih sibuk mengaduk adonan.

“Memang kenapa? Kau sakit?” tanyanya.

“Miii, ada kak Ryan di depan.” Ucapan Rasya membuat istriku ini menjatuhkan adonannya ke lantai, membuat Radit mengalihkan pandangannya ke arah kami.

“Fey, cepat kita harus sembunyi,” ucapku menyadarkannya yang masih terdiam di tempat.

“Tapi ini?” ucapnya gugup sambil menunjuk adonan yang berserakan di lantai.

“Sudah, Mbak, nanti saya bersihkan,” celetuk Radit yang dengan sigap, tahu maksudku.

Mbak Mawar akhirnya mengangguk dan kurengkuh tubuhnya untuk melangkah menuju pintu belakang di mana pintu itu menghubungkan langsung dengan rumah utama.

“Sya, kau awasi masku dari pantry, ya,” perintahku ke arah Rasya yang langsung diacungi jempol olehnya.

*****

“Jadi benar dia ke Bandung karena ingin periksa? bukan karena tahu aku di sini?”

Aku sekarang sedang menelepon Evan mencoba menanyakan bahwa rahasiaku dan mbak Mawar di sini memang belum diketahui semuanya.

“Iya Yan, dia memang mencoba merajukku terus tiap hari tapi aku bilang aku memang tak tahu keberadaan kalian. Mbak Nadia sama Tian saja yang bertanya denganku juga aku tak kasih tahu. Tenang, Yan semuanya masih aman,” ucapnya di ujung sana.

Kulirik istriku yang kini tengah duduk di sampingku dan mendekapku erat. Aku tahu dia juga ketakutan. Kuusap rambutnya dengan sayang.

“Tapi Van, kenapa dia bisa, kebetulan berada di caféku, ya?”

“Mungkin hanya kebetulan saja, Yan, sumpah dia tak tahu,” ucapnya meyakinkanku.

Mbak Mawar mencolekku dan meminta ponselku.

“Van, mbakmu ingin bicara,” ucapku dan langsung menyerahkannya kepada istriku ini.

Lalu, kuambil blackberryku lalu mengetikkan sesuatu.

Vian-aline: “ping!”

Rasya ganteng: “ping!”

Vian-aline: “Gimana posisi? Dia di mana?”

Rasya ganteng: “Dia masih duduk di dekat panggung, Kak, kursi yang di ujung sendiri, tampaknya lagi nunggu seseorang.”

Vian-aline: “Diamati terus, ya dan kasih kabar terus.”

Rasya ganteng: “Siap, Bos.”

Kututup backberry dan kusimpan di saku kemeja lagi.

Kutoleh ke arah mbak Mawar yang kini sudah selesai bertelepon ria dengan Evan dan kini dia meringkuk di atas kasur.

“Fey kenapa? Sakit?” Kulangkahkan kaki ke arah kasur dan ikut bergelung di sana lalu memeluk istriku dan menempatkan tubuh mungilnya itu dalam dekapanku.

Kurasakan dia memelukku erat,

“Bee, aku takut, Ryan bisa tahu kita di sini, aku tak mau dipisahin denganmu, aku tak mau,” ucapnya menahan isakan.

Kurengkuh tubuhnya dan kuciumi rambutnya mencoba menenangkannya.

“Fey, dengarkan aku. Fey percaya kan sama aku?” Dia mengangguk.

“Kalau percaya, Fey tenang saja tak ada yang bisa memisahkan kita tak ada, aku bersumpah.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience