BAB 26
Wajahnya pucat pasi, benar-benar pucat saat ini. Kurengkuh dia ke dalam pelukanku dan menciumi puncak kepalanya. Mencoba memberi kekuatan terhadap tubuhnya yang lemah ini. Sudah 5 dokter dan 2 rumah sakit, 3 tempat praktek kami datangi, bahkan tadi sempat beli testpack hasilnya tetap sama—istriku ini hamil muda.
Kini aku berada di dalam kamarnya, dan berada di depan pintu saat dia menyodorkan hasil testpacknya yang sudah ke 5 kali juga dan garis berwarna merah itu menunjukkan 2 garis.
“Aku tak melakukan apapun, Yan, sumpah,“ ucapnya ketakutan dan menatapku mencari kepercayaan dari mataku.
Aku tersenyum dan mengusap air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
“Hey, memangnya aku menuduh Cinta melakukan dengan orang lain?”
Dia mengangguk lemah, lalu merengkuhku erat.
“Aku takut kau berprasangka seperti itu, lagipula kita belum melakukan itu kenapa bisa hamil?”
Kuhela tubuhnya untuk duduk di atas kasur.
“Semua kemungkinan bisa terjadi, Sayang. Ingat kan malam itu aku mengeluarkan benihku tepat di hmmm,” kutunjuk arah bawah membuat dia tersipu.
“Sayang juga ingat, kan? Aku mencoba menembus beberapa kali, nah bisa saja semua terjadi, selaput daramu sudah terkoyak karena pergesekan itu dan ada benih yang menyelusup masuk,” ucapku mencoba membuat kemungkinan meski aku pun juga masih ragu, bukankah benih akan langsung mati jika terpapar udara langsung dalam seperkian detik, tapi siapa tahu punyaku memang super.
“Ehm kalau begitu kita periksa lagi tapi kali ini memeriksa kondisi selaput daraku,” ucapnya kembali bersemangat.
Kukecup keningnya dengan hangat.
”Besok, sekarang istirahat dulu, minum obat anti mualnya tapi aku buatkan bubur dulu ya perutnya kosong, kasian adik bayinya.”
Dia mengusap perutnya yang masih rata itu.
“Aku masih tak percaya ada Vian junior di dalam sini, bukankah kau juga masih junior?” Ucapannya membuatku tergelak dan mencubit pipinya gemas.
“Enak saja junior!? Kalau junior tak mungkin bisa membuat junior.“
*****
“Vian kapan datang?”
Bunda menyapaku saat aku berjalan keluar kamar setelah menidurkan istriku. Kuhampiri bunda dan kucium tangannya.
“Tadi pagi, Bun.”
Bunda tersenyum dan kini mengeluarkan belanjaannya.
“Bunda sudah tahu kok kalau Vian mau pulang jadi bunda belanja untuk membuat klapertart kesukaan Vian, mau?”
Aku langsung tersenyum senang mendengar bunda masih sangat mengingat kalau aku benar-benar hobi dengan makanan khas manado itu.
“Wah Bunda, Vian sayang sama Bunda,” rajukku manja sambil mengecup pipinya, sudah biasa aku bermanjamanja begini dengan bunda sejak dulu. Bunda hanya tersenyum.
”Aline sudah makan, Yan?”
Aku menggeleng,
“Ini lagi mau Vian buatin bubur, Bun, tapi tadi Vian dah membawa mbak Mawar ke dokter kok, bun sekarang sedang tidur.”
“Tipesnya kambuh, ya?” Bunda melangkah mengambil mangkuk dan mulai membuat adonan klapertart.
Aku membuka kemasan bubur instan yang tadi sempat aku beli di jalan dan menuangkannya di atas mangkuk.
“Bukan, Bunda.“
“Terus Aline sakit apa?”
Kuhela napasku, ingin menyampaikan kabar bahagia ini, tapi aku juga masih ragu.
‘Makan tak teratur, Bun,” jawabku berbohong.
Maafin Vian ya bunda.
Bunda menghela napasnya.
“Aline sejak pulang dari Glasgow memang jarang makan, dan tiap malam Bunda selalu memergoki dia menangis.”
Hatiku mencelos saat mendengar ucapan bunda.
“Maafin Vian ya, Bun, sudah membuat mbak Mawar begini, tapi Vian janji mulai sekarang Vian akan di sini, boleh kan Bun, Vian numpang dulu, nanti kalau Vian sudah mendapatkan rumah atau pekerjaan tetap di sini pasti Vian akan memboyong mbak Mawar.”
Kurasakan usapan hangat di rambutku.
‘Vian bener melepas beasiswanya di Glasgow? Tak sayang?”
Aku hanya mengangguk.
“Iya Bun, Vian lebih sayang mbak Mawar, kalau soal pendidikan Vian bisa ambil di sini saja.”
“Kedua orang tuamu sudah tahu?” tanya bunda kemudian.
Aku menggelengkan kepalaku.
“Vian masih malas pulang ke rumah, mereka masih merawat mas Ryan, Vian tak mau menambah masalah lagi, biarlah Vian di sini dulu ya, Bun,” rajukku.
Bunda tampak menghela napasnya lagi,
“Ya sudah, tapi bagaimanapun juga mereka keluargamu, Yan dan perlu tahu tentang keputusanmu.”
Aku hanya mengangguk, tapi kemudian kudengar ketukan dari pintu depan.
Bunda menoleh ke arahku.
“Itu pasti Ryan, dia sudah 2 hari ini sejak Aline sakit selalu ke sini, kalau Vian tak mau terlihat sembunyi di kamar Evan saja, ya,” ucap Bunda lalu menunjuk kamar Evan, dan segera berlalu menuju ruang tamu.
*****
Sudah 2 jam lebih aku berada di dalam kamar Evan ini. Tampak pengecut bukan, bersembunyi dari kakak kandung sendiri dan membiarkannya berduaan di dalam kamar dengan istriku. Ahhhh hatiku memanas mengingat itu, kenapa masku itu pakai hilang ingatan dan mengejar mbak Aline lagi. Ingin rasanya aku berlari saat ini dan menghampiri ke kamar dan bilang kepadanya kalau Aline itu istriku tercinta sah di mata agama dan negara.
Tapi sekali lagi aku tak mau mengecewakan mama dan papa, sudah cukup keputusanku saat ini mungkin membuatnya kecewa jadi aku tak mau menambahi lagi kalau aku membuat kacau lagi memori masku itu.
Kurebahkan lagi tubuh di atas kasur milik Evan, dan mencoba mencari informasi tentang pendidikan spesialis dokter gigi yang mungkin akan aku lanjutkan lagi di sini. Tapi mengingat istriku sedang mengandung.aku jadi berubah pikiran.
Haruskah aku mengambil spesialisku itu yang notabene paling cepat juga selesai dalam waktu 3 tahun, padahal aku juga butuh biaya untuk kehidupanku, istriku dan juga calon bayi kami? Penghasilan dari café yang kumiliki tiap bulan memang lebih dari cukup. Bisa dibilang café itu bisa menjadi mata pencaharianku yang layak, tapi aku ingin memberi kehidupan yang lebih baik untuk istriku tercinta.
Biaya juga tak murah meski aku masih bisa mengajukan beasiswa lagi, kuputar otakku. Papa padahal sudah berharap aku akan bekerja di rumah sakit miliknya, tapi kalau aku hanya lulusan sarjana kedokteran begini, yang ada aku hanya bisa bekerja di puskesmas, bukan di rumah sakit milik papa. Itupun Aku harus melalui Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) baru mendapat sertifikat Kompetensi Dokter, dan mengikuti program internship selama 1 tahun, baru bisa mengajukan Surat Izin Praktek secara mandir. Kalau aku tak mengambil spesialis, aku akan menjadi dokter umum yang akan berpraktek di layanan primer (puskesmas atau klinik medic).
Suara pintu terbuka yang mengagetkanku dari lamunan. Mbak Mawar langsung menghambur ke pelukanku.
“Eh ada apa?” tanyaku bingung.
Mbak Mawar menatapku lekat.
“Yan, Ryan, dia melamarku, aku harus bagaimana? Kita sudahi saja semua ini, bilang ke Ryan kalau aku sudah menjadi istrimu ya, please,” ucapnya menahan tangis.
Share this novel