Bab 1

Romance Completed 25593

BAB 1

“Aliiiiiinneeeeeee!” teriakan Bunda sukses membuatku tersadar dari lamunan. Hatiku teriris saat memegang undangan bersampul silver ini. Pulang dari kerja langsung disambut oleh petaka seperti ini.

WEDDING

RYAN ATMAWIJAYA.. DAN

FRANSISCA SUBRATA

Kubaca lagi berulang-ulang dan tulisan di sana tak pernah berubah. Hancur sudah hati ini. Selama 10 tahun ini berharap dan berharap, akhirnya memang harapanku ini hanya mimpi semu. Tentu saja, orang kaya akan menikah dengan orang kaya juga, bukan? Aku terlalu bermimpi selama ini.

“Woooiiii, mbak Aliiinnneeeeee, bengong kayak sapi ompong,” celetuk Evan sukses membuatku kembali menapak bumi.

Kulihat Evan cuma cengar-cengir sambil menoel-noel pipiku. Dasar Evan, adikku satu-satunya itu selalu sukses menggodaku.

“Ehmmm, mbak Mawar kok udah pulang? Vian kan jemput ke hotel.” Nah loh belum sadar dari shockku barusan kini muncul orang yang membuat kesehatan jantungku terganggu lagi.

Di depanku sudah berdiri dengan manisnya makhluk tinggi tegap. Dengan rambut pirangnya. Tubuhnya yang benar-benar menjulang tinggi.

Wajahnya memang amat mirip artis K-pop menurut ABG sekarang, aku sih cuma sering mantengin di salah satu stasiun televisi kalau ikut menemani bunda menonton drama korea kesukaannya. Tapi orang ini juga yang sukses membuatku menjadi keki setengah mati.

Bagaimana bisa seorang Rosaline Prameswari ini menjadi benar-benar salah tingkah? Di usiaku yang menginjak 29 tahun ini ... dan sebagai resepsionis hotel milik sahabatku sendiri, selama 1 tahun belakangan sukses membuat pria yang siap mendekatiku lari tungganglanggang.

Bukan karena aku tak cantik ataupun aku kelewat jutek. Tapi karena kehadiran makhluk satu ini, Si Vian— entah siapa nama panjangnya, aku tak pernah peduli. Kedatangannya sejak 1 tahun yang lalu yang notabene sahabat Evan, adikku, itu selalu saja menggangguku. Dia secara tak tahu malu mulai mendekatiku. Sering menjemput di hotel tempatku bekerja, sering mengajakku berkencan tiap malam minggu meski tak pernah aku penuhi kemauannya.

Aku tak mau dibilang penyuka berondong meski aku akui Vian benar-benar kriteria cowok yang perlu dipertimbangkan untuk ditolak. Apalagi otaknya yang cerdas. Dalam beberapa bulan ini dia sudah menyelesaikan pendidikannya, sebagai dokter dan akan segera menjabat dokter gigi di rumah sakit milik keluarga besarnya.

Padahal Evan saja masih berjuang untuk menyelesaikan kuliahnya itu, tapi sekali lagi dia masih sangat muda. Aku jadi seperti tantenya saja jika sedang berjalan dengannya.

“Cizzz ... ada apa, adik kecil?” Aku membuka sepatu yang dari tadi masih kupakai saat memasuki rumah .

“Mbak Mawar ini aku bukan adikmu dan aku tak mau jadi adikmu,” sungut Vian lalu duduk di sebelahku.

Nah loh satu lagi. Dia satu-satunya orang yang memanggilku Mawar. Dia bilang Rose itu kan bunga mawar.

Haisshhh ada ada saja, aku hanya mendesah kesal sore ini tak mau menanggapi rayuan gombalnya si Vian.

“Idih jutek amat sih, Mbak,” ucap Vian sambil mengambil cookies buatan bunda yang tersedia di meja.

“Iya nih, mbakku cantik jutek banget.” Kini kudengar Evan yang baru saja keluar dari kamar ikut nimbrung.

Aku menghempaskan undangan yang dari tadi kupegang ke atas meja dengan kesal lalu segera melangkah ke kamar yang berada persis di depan ruang tamu. Kututup pintu kamar dan kuhempaskan tubuh di atas kasur empukku. Ryan, nama itu yang masih menyelimuti otakku. “Aline.” Suara bunda membuatku membuka mata.

“Iya, Bund.” Aku beranjak dari atas kasur saat melihat Bunda membuka pintu kamar.

“Vian, ditemanin gih, Bunda minta dia nganterin kue lapis surabaya ke rumah tante Inot,” ucap Bunda dari balik pintu.

Bunda memang selama ini membuka usaha kue untuk menghidupi aku dan Evan. Setelah meninggalnya almarhum ayah 5 tahun yang lalu karena penyakit jantung mau tak mau bunda yang berjuang sendiri untuk menghidupi kami. Beruntung selepas sekolah, temanku Nadia, yang mempunyai hotel keluarga menawariku bekerja di hotelnya meski aku hanya lulusan SMA. Evan juga mendapat beasiswa sejak sekolah dan dia berhasil mendapatkan beasiswa untuk meneruskan kuliah kedokterannya. Hidupku tak bisa dibilang berlimpah harta tapi juga tak kekurangan itulah yang aku rasakan sekarang.

Aku melangkah malas ke arah pintu dan membukanya.

”Bun, Aline lelah. Kenapa tak minta Evan saja,” sungutku malas.

Bunda tersenyum, ”Aline sayang, kan kamu yang tahu rumahnya tante Inot, lagipula Evan sedang bunda suruh benerin genteng belakang tuh, kamu sama Vian saja, ya.” Bunda langsung bergegas pergi dari hadapanku.


*****

Dan akhirnya aku duduk di dalam mobil mewah milik Vian ini. Aku sudah tak kaget dengan gayanya, yang bergonta- ganti mobil sport mewah. Tapi Vian tak pernah menggubris jika aku mengejeknya anak manja atau anak sombong. Dia hanya cengengesan tak jelas, cuma menikmati fasilitas, jawabnya, selalu begitu.

“Mbak Mawar jutek banget sih sore ini.” Suara Vian mulai mengusikku.

“Apaan sih, Yan?” Aku menoleh marah ke arah Vian.

Kulihat seringainya memamerkan gigi yang putih rapi.

“Ehmm apa gara-gara undangan itu, ya Mbak?“ tanyanya tiba-tiba membuatku seketika teringat undangan itu lagi. Aduuhhh emaaaakkkk, Vian udah merusak moodku lagi nih.

“Tahu apa, anak kecil,“ ucapku.

Tiba-tiba Vian menepi dan menghentikan mobilnya tepat di pinggir taman.

“Apaan sih, Yan. Ini kue lapisnya, sudah ditunggu tante Inot!!!”

Kulihat Vian malah dengan santainya menoleh ke arahku dan kini menatap tajam dengan mata elangnya. Sesaat aku membeku menatap kedua matanya itu. Jantungku seolah berhenti berdetak. Mata itu, ohhwwwhh tak mungkin. Kenapa mata itu sangat mirip dengan mata milik Ryan?

Dulu sekali aku menikmati kedua mata elang itu yang selalu mengikutiku bergerak ke mana pun. Aihhh bodohnya kau, Line masih saja mengingat orang yang sampai hari ini pun dia sudah benar-benar tak menganggapmu.

“Mbak Mawar, lihat aku,“ ucap Vian membuatku memalingkan muka ke arahnya.

“Ryan Atmawijaya itu siapanya, mbak Aline?” tanyanya sesaat.

Membuatku benar-benar susah bernapas. Siapa?

Aku juga tak tahu siapa Ryan itu ... selama ini aku hanya mencintainya, memimpikannya, tapi status kekasih juga bukan apalagi mantan.

“Bukan urusanmu, Yan sudah cepat kita ke rumah tante Inot,“ sergahku karena memang tak bisa menjawabnya.

Tapi Vian kini malah mencondongkan tubuhnya ke arahku.

“Yan, mau apa kau?“ teriakku panik saat tubuhnya tiba-tiba merapat ke arahku.

Lalu tiba-tiba Vian meraih kepalaku dan menyandarkan di bahunya.

“Mbak, kalau mau menangis menangislah, aku tahu mbak Mawar dari tadi menahan sesak di dada,” ucapnya yang sukses membuatku kini tak lagi bisa mencegah air mataku untuk mengalir.

Entah kenapa ucapan Vian membuat pertahananku rusak. Memang sejak menerima undangan tadi, hatiku sudah bergejolak ingin menangis.

“Yan,” bisikku dengan suara serak. Kurasakan lengan Vian mengusap-usap rambutku dengan lembut.

“Mbak Mawar menangislah, kalau itu semua bisa membuat mbak lega tapi sehabis itu aku tak akan membiarkan orang lain membuatmu menangis, Mbak.” Ucapannya bagaikan janji yang tak terbantah.

*****

Aku sedikit malu saat mengetahui diri ini begitu lemah di hadapan Vian. Tapi bagaimana lagi, dadaku memang sudah sesak sedari sore. Ketika ada lengan kuat yang merengkuh tubuhku dan kata-kata Vian benar-benar meluruhkan semua pertahananku. Sisi wanitaku yang lemah kembali menyeruak muncul.

“Ehmm maaf,“ ucapku setelah hampir lebih dari 20 menit mencurahkan semua sesak di dada ini. Kuangkat wajahku dan kulihat kemeja Vian basah oleh air mataku. Aline, bodohnya kau ini, kurutuki diri sendiri. Tapi tiba-tiba sebuah usapan halus menerpa pipiku.

“Mbak, jangan nangis lagi, ya ... Ryan itu tak pantas buat Mbak tangisi.” Vian mengerjap-erjap di depanku mencoba mencari manik mataku tapi aku alihkan pandangan. Tak mau terbius oleh mata elangnya bagaimanapun juga dia seumuran Evan, adikku. Duh aku jadi berasa tante-tante yang doyan daun muda nih.

“Ehmmm ... sudah, Yan ... kita harus cepat antar pesanan kue tante Inot,” ucapku terbata mencoba mengalihkan pandangan Vian dariku.

Kurasakan genggaman di tanganku dan tiba-tiba

sebuah cincin sudah tersemat di jari manisku.

“Yan?” Tatapku kaget ke arah matanya. Kulihat Vian

mengulas senyumnya. Dan masih menggenggam jemariku.

“Mbak, menikahlah denganku! ... Aku mencintaimu,“ ucap Vian dengan penuh penekanan pada kata-kata terakhirnya.

Ini gila kan, sadarkan aku untuk mengingatkan kalau pria di depanku masih terlalu muda buatku. Kukibaskan tangan, mencoba lepas dari genggaman Vian. Tapi tetap tak bisa.

“Yan, jangan gila deh.“

“Aku gila, karena mbak Aline,“ ucapnya serius.

Kuhela napasku lalu kualihkan pandanganku ke

arahnya mencoba menatap mata elangnya yang tajam itu .

“Yan, kamu kan tahu umur kita terpaut jauh, dari awal juga aku cuma menganggapmu adik seperti Evan. Jangan melucu kalau kita bisa bersanding. Yan, kamu masih terlalu muda buatku,” ucapku tajam ke arah Vian.

Kulihat matanya menyipit tapi kemudian mengulas

senyumnya.

“Mbak, cinta itu tak mengenal usia ...,” jawabnya

diplomatis. Kuhela napasku lagi .

“Dengar ya, Yan. Kamu ini bisa mendapatkan yang lebih muda, cantik dan lebih seksi. Bukan aku yang lebih tua ini, siapa pun juga pasti akan mencibir ke arahku.” Vian memejamkan matanya dan kini mulai melepaskan genggaman tangannya di jariku.

“Aku sudah 24 tahun, Mbak. Bukan anak kecil lagi, sebentar lagi aku akan menyandang gelar dokter gigi dan akan bekerja di rumah sakit,” ucapnya lebih meyakinkan ke arah dirinya sendiri.

Aku hanya terdiam tak bisa mencerna kata-katanya. Masih shock dengan perjuangan bocah selama 1 tahun belakangan ini.

“Mbak Mawar ga percaya sama aku? Kalau selama satu tahun ini aku sudah berjuang mati-matian demi membuktikan ke mbak Mawar kalau aku layak menjadi pendampingmu, Mbak. Gelar dokter ini juga tak mudah aku dapatkan di usia seperti ini tapi aku berjuang ... dan penantianku membuahkan hasil ... aku berhasil, Mbak. Demi mbak Mawar bahkan aku sia-siakan beasiswa dari kampus untuk mengambil spesialis ke Amerika karena aku tak mau jauh dari mbak, aku tak mau ke Amerika dan mendengar mbak Mawar sudah menikah sepulangnya aku dari sana.”

Deg deg! Ucapan Vian benar-benar membuat kesehatan jantungku terganggu. Baru kali ini Vian yang selama ini slengean, kini berubah menjadi serius dan bisa mengeluarkan unek-unek di dalam hatinya.

“Mbak Mawar sedang tidak jatuh cinta dengan siapa pun kan?” ucapnya lagi membuat aku menoleh dengan cepat ke arahnya.

Damn!!!!

Dia mendapatkanku. Memang selama ini aku mencoba menutupi hatiku hampir 10 tahun, tapi hatiku masih miliknya. Miliknya yang tak pernah menjadi milikku.

“Mbak Mawar mencintai Ryan kan, Mbak?” ucapnya lagi yang membuatku makin pias. Bagaimana bisa bocah ini benar-benar tahu isi hatiku.

Tiba-tiba kurasakan elusan di rambutku.

”Makanya itu Mbak, lupakan Ryan dan belajarlah

mencintaiku, Mbak!!!” ucapnya penuh dominasi.

****

Kuusap mataku yang tak bisa terpejam. Di atas kasur aku mencoba berguling-guling mencari posisi yang nyaman tapi hasilnya nihil.

Dua hari sudah sejak lamaran Vian kepadaku. Dia hanya bilang akan menunggu jawabanku. Tapi tak ingin menunggu lama ... jadi besok harinya dia ingin meminta kepastian dariku. Dan bodohnya lagi besok juga hari pernikahan Ryan. Ahhh mengingat nama itu lagi membuatku sesak .

Ryan ...

Dulu dia hadir saat aku masih sangat polos dan lugu.Di bangku sekolah ... selama 3 tahun dia mengejar cinta dariku. Walau tak pernah terucap kata cinta darinya tapi dari sikapnya, dari celetukan teman-temanku dan juga temannya, kalau Ryan itu memang suka denganku. Dulu aku tarik ulur perasaan Ryan. Tak pernah memberinya kepastian. Meski dari sikapnya jelas kalau dia mencintaiku. Kadang masih terekam jelas di otakku bagaimana tatapan mata elangnya menatapku atau panggilan manisnya kepadaku. Tapi hanya sebatas itu. Aku hanya menunggu dan menunggu. Sampai tiba hari kelulusan, aku tak pernah mendapatkan kepastian cinta dari Ryan. Hal menguap begitu saja, seperti asap.

Tapi hatiku sudah menjadi miliknya, seutuhnya. Kutolak secara halus semua pria yang mendekatiku hanya untuk menunggu keajaiban kalau Ryan suatu hari nanti akan datang dan menyatakan cinta kepadaku. Tapi harapanku itu ternyata cuma sebatas asa yang kosong. Buktinya Ryan akan menikah dengan Fransiska, teman kelasku dulu .

Kupejamkan mata mencoba mengistirahatkan rasa sesak di dada yang makin menyesakkan, seolah mengikat oksigen di sekitarku, membuatku semakin sesak.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience