Moody

Drama Series 387

"Kak, buruan turun. Kalvin udah nungguin kamu dari tadi," teriak Mama yang semakin membuatku tergesa-gesa. Sesuai perjanjian di sms yang baru aku baca jam 4 sore, Kalvin memberitahuku bahwa dia akan ke rumah pukul 18.00 setelah maqrib. Ini masih setengah enam malam dia sudah di rumah, siapa yang akan mengira. Jadi ini bukan salahku, karena aku harus sholat maqrib dulu baru bersiap-siap.

Aku keluar kamar kemudian memakai sneakers berwarna pink di padukan dengan jins putih dan baju sabrina yang aku kenakan. Rambut aku urai sengaja untuk menutupi model bajuku ini yang agak terbuka. Tapi aku suka model bajunya. Tidak lupa dengan tas selempang dengan tali yang panjang tanpa motif untuk meletakkan smartphone-ku, dompet dan lipice favorit.

Aku menemui Kalvin yang sedang duduk di sofa menungguku. Aku melihat dia sibuk dengan smartphonenya, mungkin karena bosan menungguku.

"Vin, yuk."

Dia melihatku kemudian tersenyum. kalvin memasukkan smartphonenya ke jaket yang iya kenakan. Tidak lupa kami berpamitan kepada Mama.

Kalvin memberikan aku helm. Dengan tatapan santai dia melihat ke arah tubuh bagian atasku. Aku tidak mengerti apa yang dipikirkannya setelah melihat tubuh bagian atasku, yang jelas aku menilainya mesum. Aku menutupi dadaku dengan kedua tangan.

"Ngapain lo ngeliat ke arah sini?" tanyaku jutek.

"Dada lo kecil juga ya," ucapnya spontan sambil terkekeh. Spontan tangan ini gatel langsung menampol kepala Kalvin yang tidak sopan berkata seperti itu. Karena dia pintar menhindar, tanganku tidak sampai mengenai kepalanya malah tanganku ditangkapnya dengan cepat.

"Oit, kok kasar, gue bercanda! Itu lo pakai baju kek gitu gak pakai jaket?" ucap Kalvin menjelaskan kemudian memperhatikan pakaianku lagi.

Aku yang mendengar ucapannya hanya memandang tubuhku sambil manyun.

"Cewek cantik gak harus penampilannya gini, yang ada mengundang khilaf. Nih pakek jaket gue," ucap kalvin sambil melepaskan jaketnya kemudian menutupi tubuhku dari belakang dengan jaketnya.

Aku yang diperlakukan seperti itu langsung merasa bersalah kenapa harus pakai baju begini ya. Tapi aku suka modelnya, yasudah lah udah terlanjur.

Aku menaiki motor sport milik Kalvin. Aku ragu ingin memegangi pinggangnya, akhirnya tanganku memegangi bahunya. Dan saat itu juga dia protes, "Kalau lo mau pegangan, peganggan di sini."

Tangan Kalvin menuntun salah satu tanganku, meletakkannya di pinggangnya. Disusul satu tanganku yang lain. Akupun canggung diposisi seperti ini. Jarak kami sangat dekat, tidak ada ruang untuk tubuhku dan tubuhnya berjauhan. Jikapun ada, dia sudah mengunci tubuhku ke tubuhnya.

Sebelumnya memang sering seperti ini, tetapi itu sudah satu setengah tahun yang lalu. Akupun lupa cara berpelukan santai dengan lawan jenis, kecuali Papaku ya.

Disepanjang jalan kami habiskan waktu dengan diam tanpa bersuara. Mungkin kami satu sama lain merasa canggung dengan posisi begini dan suasana begini. Aku bisa mencium aroma parfum Kalvin yang dari dulu sama saja. Wanginya menenangkan tidak menyengat seperti kebanyakan parfum cowok.

Sesampainya kami di sebuah mall, Kalvin mengajakku ke bioskop terlebih dahulu untuk memastikan waktu penayangan yang tepat dam tidak terlalu ramai. Kami sepakat menentukan film horror yang masih booming di bulan februari yaitu amytville.

"Bisa dibantu, Mas, Mbak?" tanya pegawai bioskopnya.

"Mbak, amytville-nya terakhir di putar jam berapa?" tanya Kalvin.

"Jam setengah sembilan mas. Sekitar 15 menit lagi ada pemutaran film amytvillenya kalau mau, tidak terlalu malam juga dari pada nunggu yang terakhir," ucap pegawai bioskop yang sama.

Dari pada menjawab tawaran si pegawai bioskop, Kalvin lebih tertarik menanyakan pendapatku dengan mengangkat kedua alisnya sebagai isyarat.

"Baju basketnya?" tanyaku membuat pilihan lain.

"Oh iya," katanya sambil menepuk jidatnya sendiri.

"Gue gakpapa kalau nontonnya lain waktu," terangku.

"Pengertian memang, yaudah mbak lain kali aja. Terima kasih," ucap Kalvin yang di balas dengan senyuman ramah si petugas bioskop.

Kamipun pergi ke toko khusus perlengkapan olahraga. Di setiap perjalanan Kalvin memegang tanganku erat seperti ibu yang menggandeng anaknya agar tidak tersesat. Untuk memilih pakaianpun dia tidak melepas genggaman tanggannya, dia menggunakan tangan yang lain sebagai bantuannya membolak-balik baju basket yang tergantung rapi.

"Itu bagus," ucapku memberi saran tentang baju yang sedang dia pegang sekarang.

"Ini?" tanyanya memastikan.

Aku mengangguk mengiyakan. Seseorang di belakang kami tiba-tiba menepuk bahu Kalvin. Cowok tinggi bertubuh atletik sambil memegangi sepatu sporty.

"Kalvin?" tanya orang tersebut.

"Woy, bro."

Mereka berdua berjabat tangan ala-ala lelaki. Kemudian saling menubrukkan bahu. Otomatis tangan Kalvin melepaskan genggaman kami sebelumnya.

"Siapa nih?" tanya orang itu lagi yang gak aku tau namanya.

"Kenalin ini Argenta. Ar, kenalin juga dia Zacky temen gue main basket di tempatku biasa nongkrong." ucap Kalvin ke aku dan Zacky.

Kamipun berjabat tangan saling memperkenalkan diri.

"Cewek lo bro?" tanya Zacky lagi kepada Kalvin.

"OTW bro lagi usaha," ucap Kalvin sambil cengar-cengir yang kemudian aku balas dengan cubitan kecil di bahunya.

"Hahha... lagi cari apa lo?" tanya Zacky lagi.

"Cari kolor bergambar poweranger warna pink, bro. Ya kali pertanyaan lo ada-ada aja. Nih di depan gue baju basket. Ya pastinya cari baju basket," jawab Kalvin sambil melawak.

"Si anjir, ya kali aja cari sepatu, atau bola basketnya." terang Zacky.

"Hahahhha, bercanda sob."

"Slow bro, yaudah gue cabut duluan ya. Kasihan yang nungguin gue di kasir noh, takut ngomel."

Zacky melihat ke arah  gadis berambut ikal yang sedang membayar barang yang dia beli. Kamipun mengiyakan saja ucapan Zacky dan membiarkannya pergi.

"Jangan dianggap serius yang tadi," ucapnya santai tapi menurutku itu gak santai melainkan ngena' banget di hatiku.

'OTW doain lagi usaha, jangan dianggap serius yang tadi' dua kalimat itu terbayang di otakku. Permainan perasaan kah atau memang sedang di permainkan. Aku hanya diam tanpa berkomentar apapun sebelum mengetahui kepastiannya. Tetapi aku sekarang lebih berhati-hati menaruh hati, aku takut aku lebih sakit dari sebelumnya. Sehingga moodku sekarang berubah menjadi lebih pendiam dari pada sebelumnya.

Setelah kami berkutit dengan berbagai macam baju basket, Kalvin membayar baju yang aku sarankan. Kami berdua kemudian makan makanan cepat saji di mall ini.

Beberapa kali aku tau tapi pura-pura gak tau jika kedua mata Kalvin mencuri pandang kearahku. Kami hanya diam sejak Kalvin merubah pandanganku dari dua kata yang di ucapkannya. Dikeadaan yang seperti ini aku mulai gak nyaman. Aku beralasan ingin pulang karena gak enak badan.

"Vin, pulang yuk."

"Kenapa, Ar?" tanya Kalvin.

"Gue kayaknya gak enak badan, kepala gue tiba-tiba pusing."

Aku mengurut ringan pelipisku yang sebenarnya gak ngerasa apa-apa. Untuk menambah aktingku aku sesekali mengerutkan dahi menyeringai kesakitan. Kalvin yang melihat itu langsung khawatir, dia langsung mengajakku pulang.

"Lo mau gue gendong atau bagaimana?" tanya Kalvin.

"Gak, Vin. Gue masih kuat jalan," ucapku. Yang benar saja di gendong di depan umum, meskipun ini akting aku juga masih punya malu.

"yakin?" tanyanya lagi.

Aku menganggukkan kepalaku sambil tersenyum tipis menghorekan diri sendiri karena akting berhasil.

Kamipun akhirnya pulang. Sebelum aku masuk ke rumah, aku ingin mengembalikan jaket Kalvin yang sedari tadi aku pakai. Tapi Kalvin menyuruhku lain kali aja dikembalikan ya. Aku gak ingin memaksa, akhirnya aku membawa jaket Kalvin bersamaku di dalam rumah. Diapun pergi dengan begitu saja.

Di dalam kamar setelah sholat isya, aku kembali sibuk melamun sambil membolak balik jaket milik Kalvin.

'Hal yang gak pernah aku harap tiba-tiba terkabul. Aku gak pernah mimpi bahkan berharap bisa dekat lagi dengan kalvin. Aku pernah membaca sebuah kata bijak di sosial media bahwa sesuatu yang sudah di lepas jika didapat kembali akan mudah untuk dilepas lagi. Seperti itu yang aku pikirkan bersamanya kamu, Vin. Aku takut. Dan dua kalimat yang kamu ucapkan tadi di mall adalah lonceng bagiku agar aku sadar dengan semua yang kamu lakukan kepadaku hanyalah ilusi.'

Aku beranjak dari kasur, kemudian meletakkan jaket Kalvin pada hanger yang aku kaitkan di belakang pintu kamar. Aku kemudian kembali ke kasur berniat untuk tidur. Tidak lupa untuk berdoa terlebih dahulu sebelum memejamkan mata.

------------

7 Agustus 2017
Hari senin hari dimana hari termalas bagi anak-anak sekolah. Pagi yang cerah dengan terik matahari menyolok mata menambahkan kesan hangan di kota Surabaya. Di lapangan sekolah, siswa-siswi SMA Gemilang bergegas menata barisannya dalam tiap kelas. Dari siswa yang terpendek di baris terdepan hingga siswa tertinggi di baris terakhir.

Kamipun disibukkan dengan menata kelengkapan atribut sekolah. Jika ketahuan Ibu Sukarni si guru BK killer, kami pasti akan di hukum membuat barisan tersendiri yang menghadap ke arah cahaya matahari datang.

Aku memiliki postur tubuh paling tinggi dari sekian cewek di kelasku. Otomasi aku mendapatkan barisan untuk siswi tertinggi di bagian tengah barisan sebelum siswa terpendek. Di sebelah kiri barisanku ada barisan dari kelas X-2 yaitu kelas Kanza dan Kalvin.

Upacarapun di mulai dengan hikmat. Tidak ada satupun dari kami yang berani berbicara pada saat upacara berjalan. Beberapa siswi yang pinsan di pertengahan upacara bertebaran. Satu persatu siswi yang pingsan itu di gotong ke UKS.

Hari ini memang panas sekali, belum lagi pidato pak kepala sekolah tentang lingkungan sekolah hijau lah, misi dan visi sekolah yang kebetulan menjadikan kami juara provinsi untuk sekolah berdedikasi tinggi dan berprestasi tinggi lah, dan macam-macam penghargaan yang baru saja di dapatkan dari ekskul basket, pancak silat, dan yang terakhir paduan suara.

Ah sudahlah kepala sekolahpun tidak akan mengerti jika kami protes keras agar dia mempercepat pidatonya. Upacarapun berjalan sekitar satu jam lebih 10 menit yang di akhiri dengan pemberian penghargaan bagi siswa-siswi yang telah mengharumkan nama sekolah. Tepuk tangan meriah menyambut siswa-siswi berprestasipun pecah seiring nama mereka disebut.

Yang terakhir disebutnya tim basket SMA gemilang yang mendapatkan juara satu ditingkat DBL. Teriakan-teriakan lebay para siswipun heboh dengan hadirnya Kak Bagas dan anggota tim basket yang bernama Okso sebagai foward di tim Kak Bagas. Mereka berdua sama-ganteng badai. Membuat semua siswi di SMA gemilang teriak-teriak seperti cacing kepanasan.

Beberapa siswa yang jijik dengan siswi lebay, mengikuti cara teriak siswi-siswi tersebut sambil melambai-lambai bak gadis kpopers yang bertemu idolanya. Siswa lain yang melihat tindakan temannya yang mengikuti teriakan siswi-siswi, ikut tertawa terbahak-bahak melihat aksinya. Aku yang melihat keadaan ini sama ikut tertawa.

"Lo gak ikutan jerit-jerit macam anak ayam kehilangan induknya, Ar?" tanya Didin Sucipto teman sekelasku yang kebetulan ada di belakang barisanku.

"Gue gak hobby teriak-teriak, kasian pita suara gue," ucapku terkekeh.

"Ya kali lo ikut ngepens anak emas sekolah yang beratnya gak sampai 1 ons."

"ngefans Didin, ngefans bukan ngepens," ucapku membetulkan kata yang salah di ucapkan Didin.

"Ah pokoknya itu lah, Ar!"

"ngeles nih, bilang aja iri kan lo? iri tanda gak mampu boy," ledekku.

"Aduhh... Babang Didin iri sama telur bebek yang baru netes? oh gak level. Ibaratnya nih Ar, emas muda di sandingkan dengan emas tua coba mahal yang mana?" tanyanya sambil terkekeh.

"Ya mahal berlian kemana-mana lah," jawabku dengan jawaban yang lain.

Mendengar kami berdua berceloteh, Dadang kembaran Didin yang berbaris di sebelah Didin ikut nimbrung pembicaraan kami.

"Din, kalau lo mau modusin cewek. Lo liat-liat dulu wajah lo. Dasar pantat wajan," ucap Dadang mengejek.

"Ye lo saudara durhaka, gak bisa liat orang seneng aja, dasar saudaranya embek," ejek balik Didin.

"Lah lo kan saudara Dadang, Din."

"Huahahha... embek bilang embek," ejek Dadang sambil mencolek wajah Didin.

"Loh ini gue bicara tentang it is abooout proooop," ucap Didin yang bermaksud ingin mengucapkan it's about a proof.

"A proof, Din. A proof bukan a prooop. Anjay saudara gue malu-malu keluarga Sucipto aja. Udah yuk Ar, ditinggal aja nih embek kurbanan," ledek Dadang lagi.

Aku dan Dadang langsung tertawa terbahak-bahak melihat bibir Didin yang langsung manyun setelah itu. Dua siswa ini yang langsung akrab denganku saat MOS bersamaan dengan akrabnya aku bersama Cilla.

Upacara selesai, semua barisan di bubarkan. Saat aku berniat kembali ke kelas, Kak Darma ketua ekskul drama memanggilku.

"Ar,"

"Iya, Kak?" aku setengah merunduk menghormati si kakak senior.

"Gimana upacaranya? Lo gak capek kan?" tanyanya seolah basah basih aneh.

"ehh... eng-engak Kak," ucapku gaguk.

"Pasti lo capek ya, sampai keringetan gitu. Nih gue beliin minum," ucapnya yang kemudian menyodorkanku botol air mineral dingin.

"Gak usah, Kak. Buat kakak aja," ucapku menolak karena gak enak tiba-tiba diperlakukan seperti itu.

"Jangan ditolak, ini gue beliin buat lo."

kak Darma meraih tanganku kemudian meletakkan botol minuman itu tepat digenggamanku. Dia mengeratkan genggamanku pada botol minuman seraya memaksa.

"Gue duluan ya, habis ini bel pelajaran pertama dimulai," ucapnya sambil tersenyum manis kepadaku kemudian Kak Darma berlari menuju tangga sekolah yang kebetulan kelasnya yang ada di lantai dua. Aku tidak sempat mengucapkan terima kasih juga

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience