BAB 20
Vian pov
Panik dan khawatir yang menderaku pertama kali saat mendengar kabar ini. Ferguson, sahabat masku yang sudah lama menetap di sini memberitahuku tadi lewat telepon. Kebetulan mas Ryan meminjam mobilnya saat dia akan ke flatku dan berpamitan. Aku juga tak tahu kenapa masku bisa berbuat nekat seperti itu. Mas yang kukenal sangat berpikiran logis, dan tak pernah berbuat sesuai emosinya, tapi kenapa dia nekat melakukan ini.
Menurut keterangan Ferguson dan polisi setempat, mobil Mas Ryan mengalami kecelakaan tunggal. Tak ada penyebab mobil lain, ataupun sesuatu. Itu murni kecelakaan tunggal dan seperti disengaja, kondisi mobil pun tak ada kerusakan. Mas Ryan seperti menabrakkan mobilnya sendiri ke jembatan yang dilewatinya. Naas kepalanya membentur kaca mobil dan luka parah. Mas Ryan saat ini masih terbaring koma di dalam sana. Di Glasgow Royal Infirmary ini, rumah sakit terbesar di Glasgow.
Dan sekarang sudah lebih dari 30 jam dari kecelakaan tersebut dan mas masih terbaring di atas ranjang, dengan kepala dibebat perban juga kaki dan tangannya. Alat detak jantung masih terpasang di sana, aku benar-benar tak tega melihatnya. Aku sudah mengabari mama, papa dan tentu saja mbak Sisca yang langsung panik mendengarnya. Mereka mungkin sebentar lagi akan datang. Kulirik istriku yang sejak kemarin hanya terdiam dan tak bersuara. Aku juga tahu dia shock, aku juga tahu dia menangis melihat kondisi masku yang parah seperti ini, tapi istriku tercinta ini sangat pengertian denganku. Berusaha kuat dan memberiku kekuatan, sekarang dia baru saja selesai sholat duhur dan kini tampak khidmat berdzikir. Sejak kemarin aku dan dia memang tak pulang, apapun kulakukan di sini.
“Dek!” Tiba-tiba pintu terbuka. Sosok mama, papa dan juga mbak Sisca yang langsung shock melihat kondisi mas Ryan.
Aku langsung bangkit dan menyalami mama dan papa, sedangkan mbak Sisca sudah menghambur menghampiri mas Ryan.
“Bagaimana masmu, Dek?” ucap mama dengan terbata, aku bisa melihat mama tampak sembab oleh air mata.
“Masih belum lewat dari masa kritis, Ma,” ucapku membuat mama segera menuju ke arah ranjang untuk melihat dari dekat kondisi mas Ryan.
“Apa yang menyebabkan ini semua, Dek?” Papa bersedekap mencoba tenang tapi aku tahu papa juga sama khawatirnya dengan semua.
“Entahlah Pa, menurut polisi ini kecelakaan tunggal dan korban melakukan dengan sengaja.”
“Maksudmu bunuh diri?” Papa mengerutkan keningnya.
Aku hanya bisa mengangguk.
“Kau, semua gara-gara kau!!!” Tiba-tiba kulihat mbak Sisca mendorong tubuh mbak Mawar yang baru saja melipat mukenanya.
Terang saja aku langsung menghambur ke arah istriku dan mendekapnya erat melindungi dari serangan mbak Sisca.
“Sisca, jaga sikap suamimu masih sakit,” bentak mama.
“Tapi dia, Ma yang membuat Ryan di sini,” teriak mbak Sisca masih menunjuk-nunjuk istriku yang kini mendekapku erat.
“Jaga bicaramu, Mbak,” teriakku karena kesal akan tingkah kakak iparku ini.
“Sisca lebih baik kau ambil air wudhu dan sholat, doakan suamimu,” perintah papa tegas membuat mbak
“Dek bawa Aline keluar, ya, atau kalian pulang saja kita bergantian menjaganya,” ucap papa lembut.
“Tapi papa dan mama juga perlu istirahat,” ucapku.
Mama mengusap Aline yang sekarang menjabat tangan mama dan menciumnya sopan.
“Lihat Aline sudah pucat begini, pulanglah dan istrirahatlah.” Mama berkata lembut dan aku pun segera mengangguk.
“Vian pamit Ma, Pa, kalau ada apa-apa hubungi Vian , ya?” ucapku ke arah papa dan mama yang langsung diangguki oleh mereka berdua.
Tak kupedulikan mbak Sisca yang kini telah terduduk di samping ranjang mas Ryan itu dengan menggenggam jemarinya.
“Yuk Sayang, kita istriahat dulu,” tanganku menggenggam jemari mbak Mawar, dia mengangguk dan berpamitan kepada papa dan mama.
*****
“Sayang.” Kurasakan mbak Mawar tampak berjenggit kaget saat kupeluk tubuhnya dari belakang, yang sedang sibuk mengaduk-aduk masakannya itu.
“Yan, sudah mandi? Mau kubuatkan teh? Ini omletnya sudah mau matang,” ucapnya membuatku tersenyum.
Kukecup pipinya membuat dia berjenggit dan menoleh ke arahku. Dan pipi kami saling menempel. Dapat kurasakan wangi sabun mandi yang baru saja dia pakai.
“Kenapa tak istirahat saja? Sayang kan lelah dari kemarin belum tidur,” ucapku membuat dia tersenyum dan menjauhkan diri dariku lalu mengambil piring yang tersedia dan kini menuangkan omlet di sana.
“Makan dulu, yuk, aku tau kamu lapar, kan?” ucapnya sambil melangkah menuju meja makan.
Kuikuti langkahnya yang kini sudah sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Bahkan segelas susu cokelat hangat sudah bertengger di atas meja. Dia benar-benar tahu apa kesukaanku.
Sedetik, dua detik sampai 10 menit berlalu tak ada di antara kami yang menyentuh makanan di atas piring. Aku hanya menyesap susu cokelatku dan mbak Mawar hanya meneguk teh hangatnya.
“Kenapa tak dimakan?” tanyaku dan dia bersamaan membuatku tersenyum.
Dia menggeleng aku pun juga, aku tahu aku masih tak bisa makan kalau kondisi tubuh mas Ryan masih kritis tentu saja aku juga tak bernafsu. Dia itu kakak kandungku satu-satunya yang kusayangi karena sudah menjaga dan melindungiku.
“Mau aku suapin?” Aku menarik piring milik mbak Mawar tapi dia hanya menggeleng.
Aku tahu dia juga khawatir, bukankah mas Ryan masih seseorang yang mendekap erat hatinya. Mengetahui kenyataan itu hatiku rasanya mencelos,tapi aku kan yang menawarkan cinta kepada mbak Mawar jadi aku harus bersabar .
“Ehm kalau begitu kita istirahat saja, yuk.”
****
Dan di sinilah aku dan istriku berada, karena hari masih siang Mbak mawar mengajakku duduk di balkon kamar yang menjadi tempat favoritnya akhir-akhir ini. Dan kalian tahu apa yang aku lakukan. Mbak Mawar tiba-tiba merebahkan kepalanya di pahaku, dan bergelung dengan nyaman di atas sofa merah ini.
“Benarkah Ryan menabrakkan diri?” suara mbak Mawar terdengar lirih.
Kuusap-usap rambutnya yang tergerai di pahaku ini.
”Kata polisi begitu, tapi aku tak tahu, kenapa dia nekat melakukan itu,” ucapku.
Kudengar helaan napas istriku ini, nampaknya ada sesuatu yang disembunyikannya.
“Dia kemarin menangis sebelum pulang,” ucapnya lirih dan masih tidur di pangkuanku. Membuatku terhenyak.
“Menangis? Kenapa?” tanyaku makin bingung.
Hatiku tiba-tiba merasa bergetar, ada yang terjadi antara mereka berdua sebelum aku pulang kemarin.
Kurasakan mbak Mawar bangkit dan kini menyandarkan kepalanya di bahuku. Sejak tadi dia seperti butuh kekuatan untuk menopang tubuhnya ini, kehilangan daya. Kucoba memijat bahu dan pundaknya.
“Dia bilang tetap mencintaiku apapun yang terjadi,” ucapnya kemudian membuatku menghentikan kegiatanku dan kini menghela napasku.
Aku tahu masku itu masih sangat mencintai istriku ini.
“Lalu?” tanyaku tanpa menoleh ke arah istriku.
“Aku hanya bilang aku sudah menutup hatiku untuknya, bukankah aku sudah istrimu sekarang,” jawabnya membuatku kini menoleh ke arahnya dan mengusap rambutnya lembut.
“Terimakasih ya, Sayang.”
“Tapi, dia menangis, dan akhirnya pamit pulang, aku terlalu kejam, ya? Aku bersalah, dia jadi kecelakaan,” ucapnya lalu menenggelamkan wajahnya di lekuk leherku, dan kudengar isaknya, dia menangis.
“Eh, Mbak, Sayang, please jangan menangis, bukan salahmu.” Kudekap tubuhnya erat dan membuatnya makin terisak.
Entah sudah berapa lama istriku ini menangis tapi kini dia masih terus mendekapku erat. Sungguh membuat hatiku menghangat.
“Kita berdoa, Mbak, semoga mas Ryan cepat siuman ya, aku juga merasa sangat khawatir bagaimanapun juga dia kakak yang sangat kusayangi, dari dulu dia selalu berbagi denganku, tak malu-malu curhat denganku tentangmu,” ucapku membuat mbak Mawar menengadahkan wajahnya. “Memangnya sejauh mana kau mengetahui tentangku?”
Kucium hidung mancungnya itu membuat dirinya mengernyit lucu.
“Semuanya, dari awal masku itu jatuh cinta kepadamu, sejak kelas satu, dan sampai kelas 3 kalau dihitung-hitung saat itu umurku baru 10 tahun sudah diajak curhat tentang perempuan, dasar masku itu,” ucapku terkekeh.
Mbak Mawar nampak tersipu malu tapi kemudian mengerutkan keningnya.
“Jadi dia cerita kepadamu sejak awal?” tanyanya heran.
“Yup, mbakku Sayang, masku itu kan satu kamar denganku, padahal mama sudah memberi kami kamar terpisah tapi aku dan mas Ryan tak bisa dipisahkan, mungkin karena kami hanya dua bersaudara kali, ya?”
“Aku juga hanya dua bersaudara dengan Evan tapi tak sekamar juga,” jawabnya menggemaskan membuatku ingin mengecup bibirnya itu.
“Bedalah mbak, Evan kan cowok, justru aku tak setuju jika dia satu kamar dengan istriku ini,” ucapku sambil mencubit pipinya membuatnya mengaduh dan segera kuusap pipinya yang baru saja aku cubit itu.
“Sakit, Yan,” ucapnya manja, demi apa coba mbak Mawarku kini bisa bermanja-manja denganku ahhh memberi sensasi tersendiri untukku.
“Ishhh manja huh?” godaku lagi, membuat dia kini memberengut lucu. Ahh kenapa dia makin menggemaskan coba.
“Siapa? Aku tak manja, ya,“ gerutunya sambil melepaskan pelukannya tapi kutarik lagi tangannya, dan membuat dia berada dalam pelukanku lagi.
“Jadi kau tak marah dengan masmu?” Dia bertanya kepadaku dengan memainkan jemari nya di dadaku.
“Ehm ..., kalau sekarang mungkin aku akan marah, tentu saja dia sudah menyalahi aturan masih berharap cinta dari istri adiknya sendiri, tapi kalau mengetahui dulu dia sangat menyayangiku, dia itu selalu mengalah, selalu saja menomor satukan kepentinganku. Dia selalu mengalah demi aku, hanya sekarang dia nampaknya memang tak bisa menyerahkan cinta sejatinya untukku dan aku paham itu, Mbak.”
Kurasakan istriku menghela napasnya lagi.
“Andai aku tak hadir di hidup kalian, ya, mungkin ini tak akan terjadi,” ucapnya tiba-tiba membuatku kini memutar tubuhnya dan menangkup wajahnya.
“Hey ini takdir kita, dan jangan bilang seperti itu. Aku yakin kau tulang rusukku, Mbak,” ucapku membuatnya kini menatapku sendu. Kukecup keningnya lama dan merebahkan kepalanya lagi di dadaku.
Share this novel