BAB 60
Pening mendera saat kulangkahkan kakiku memasuki café. Rupanya vertigo mulai kambuh lagi. Arisan baru saja selesai menjelang maghrib. ASI-ku sudah penuh dan terasa begitu pegal karena belum disusu oleh Kavi. Saat kubuka pintu café, saat itulah mataku membelalak terkejut menatap siapa yang kini berdiri tak jauh dariku. Dua orang yang sudah sangat kukenal. Dua orang yang mempunyai aspek berbeda denganku. Kukerjapkan mataku sekali lagi, pandanganku mulai kabur. Mungkinkah? Atau ini hanya efek dari vertigoku.
Saat kulangkahkan kaki menuju mereka, bumi yang kupijak mulai bergoyang, benar saja ini pasti efek dari vertigoku.Dan saat mencoba mencari pegangan untuk menahan tubuhku yang terasa berputar semuanya di sekelilingku, sebuah tangan langsung menahanku erat. Kupejamkan mata untuk mengurangi putaran ini.
“Mbak, duduk dulu, ya.” Sebuah suara yang tak asing kini menyeruak di telingaku sebelum akhirnya aku kehilangan kesadaranku.
*****
“Fey, Sayang.”
Kali ini suara Vian membuat kesadaranku hadir lagi. Saat kubuka mata, Vian langsung menciumiku dengan wajah pucat pasi.
“Besok tak boleh lagi ikut arisan, besok, Fey tak boleh ke mana-mana, lagi,” ucapnya lalu segera mengusap wajahku.
“Tak apa, Bee, aku hanya kelelahan,” jawabku membuat dia memelotot lalu mengangsurkan obat kepadaku dan kali ini ada pisang di tangannya.
Kuterima pisang dan obatnya lalu meminumnya segera.
“Mbak Aline tak apa-apa, kan?” Suara yang tadi sempat menyeruak kini kembali hadir, dan ketika kudongakkan wajahku, kudapati Evan berdiri di ambang pintu kamarku.
“Evan? Loh kenapa di sini? Datang kapan?” Belum sempat pertanyaanku dijawabnya, tiba-tiba di belakang Evan muncul seseorang yang kukenal lagi dengan Kavi berada di dalam gendongannya.
“Sisca???” pekikku terkejut membuat Vian langsung mengusap rambutku.
“Sayang, istirahat lagi, kamu butuh tidur yang cukup.” Vian kini membuatku berbaring lagi tapi aku menggeleng, memaksa untuk tetap duduk.
Evan sudah melangkah ke arahku dan menghambur ke pelukanku.
“Mbak buat aku khawatir aja, pasti bandel, kan?“ celetuknya membuatku tersenyum. Adikku ini memang selalu begitu kalau vertigo menyerangku.
Kutatap Evan dan kini Sisca bergantian, ada yang tak beres ini sepertinya. Kenapa mereka bisa ada di sini bersamaan?
“Kenapa ke sini lagi?” tanyaku bingung saat Evan kini menggelendot manja di bahuku. Vian sudah mengambil Kavi yang ada di gendongan Sisca.
“Kami ingin berbicara kepadamu.” Tiba-tiba Sisca maju ke arahku.
“Nanti saja, kalau mbak Aline sudah istirahat.” Evan memberi isyarat kepada Sisca dan beranjak dari sisiku lalu menarik Sisca untuk melangkah keluar.
Aku terkejut melihat Evan meraih tangan Sisca dengan mesra dan menggandengnya.
Jantungku tiba-tiba berdenyut dengan kencang, tak mungkin ini terjadi, tak mungkin. Kugeleng-gelengkan kepala mencoba menghilangkan sesuatu yang melintas di benakku tiba-tiba.
“Berhenti, sekarang juga jelaskan apa yang terjadi?” Suaraku membuat langkah Evan dan Sisca terhenti. Mereka membalikkan badannya yang telah sampai di ambang pintu. Lalu kulihat mereka saling berpandangan dan kini mereka menghela napasnya bersamaan. Firasatku mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi.
“Van, bawa Mbak Sisca keluar, aku tak mau. Fey masih butuh istirahat.” Vian yang menyela mereka berdua lalu melangkah ke arahku setelah membaringkan Kavi di box.
“Tidak, kalian jelaskan kepadaku apa yang terjadi? Jangan merahasiakan apapun dariku!” teriakku lagi membuat Vian melangkah ke arahku dan menepuk-nepuk kepalaku.
“Fey, tak boleh! Sekarang istirahat lagi. Mereka bisa menjelaskannya nanti. Sekarang kita sholat maghrib dulu,” ucap Vian membuatku tak bisa membantah perkataannya.
*****
Vian mengusap kepalaku saat kucium telapak tangannya setelah kami selesai melaksanakan ibadah sholat maghrib, lalu bertadarus dan akhirnya menyelesaikan sholat isya.
“Fey, makan yuk, dari tadi belum makan, kan?” ucapnya saat kulipat mukena.
“Ehm, ASI-ku penuh, nih, Kavi kok masih belum bangun, ya?”
Vian tersenyum lalu menatap box bayi.
“Kelelahan dia tadi seharian bermain dengan daddy-nya,” ucapnya membuatku tersenyum.
“Enak kan menghabiskan waktu dengan Kavi?” Kecupan lembut di pipiku.
“Aku jadi mengerti, kau begitu lelah merawat Kavi, ya, maaf selama ini aku sering membuat Fey kesal kalau Fey terlalu sibuk dan aku protes.”
Sebuah ketukan di pintu menginterupsiku dan Vian.
“Mbak makan dulu, mbak Sisca sudah memasakkan sesuatu untuk makan malam.” Suara Evan dari balik pintu membuatku teringat lagi ada Evan dan Sisca di sini.
“Iya, sebentar lagi kami keluar.” Vian yang menjawabnya, lalu menatapku mengerti kalau aku butuh penjelasan.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Bee? Kenapa mereka ada di sini dan berdua?”
Vian menghela napasnya.
“Aku pun tak tahu, Fey, saat kau pulang tadi itu juga saat mereka muncul di depanku.”
“Tak mungkin, kan? Aku tahu Evan, aku tahu tapi kenapa bisa datang dengan Sisca? Bukankah Sisca di Paris?
Dan kemarin dia masuk rumah sakit?” Vian mengangkat bahunya.
“Lebih baik kita makan dulu, Fey.”
*****
Ini tak mungkin, kutajamkan lagi pendengaran. Setelah makan malam bersama tadi di meja makan yang dilingkupi dengan suasana canggung karena aku tahu aku tak bisa akrab dengan Sisca dari dulu. Hubungan kami dulu bisa dikatakan hanya sebatas teman dan bahkan Sisca menganggapku sebagai saingannya.
“Apa kau bilang?” Kini kutatap Evan dan Sisca bergantian. Kami sudah duduk di ruang tengah, dengan Vian menggenggam jemariku kuat setelah mendengar penjelasan mereka berdua.
“Aku dan Evan pacaran sekarang, Line, kami ke sini hanya untuk meminta restumu,” jawab Sisca dengan lugas yang seketika membuat diriku menatap mereka sekali lagi tak percaya.
“Jangan bercanda kalian! Van, katakan pada mbakmu ini kalau semua tak benar?” Kutatap Evan yang menunduk tak berani menatapku. Lalu kemudian beranjak dari duduknya dan melangkah ke arahku lalu tiba-tiba merengkuhku dalam pelukannya.
“Mbak, biarkan kami menjalin hubungan ini. Setelah sidang perceraian mbak Sisca dan masa idahnya selesai aku akan menikahinya,” bisiknya di telinga membuat semua otot di tubuhku menegang. Ini tak mungkin terjadi, kan?
Kutarik tubuh Evan dan kini menatapnya lekat.
”Putri? Kau secepat ini melupakan Putri? Dan kenapa Sisca?” Emosiku tertahan mengucapkan ini semua.
Evan menggelengkan kepalanya. “Aku tak berjodoh dengan Putri, Mbak,” jawabnya dengan tegas tapi bisa kurasakan ada nada sedih di dalam ucapannya.
“Line, boleh kita bicara berdua?” Sisca membuatku kini menatapnya.
*****
“Kenapa Evan? Dan kenapa kau menyerah untuk mempertahankan cintamu?” Kutatap Sisca yang kini berada tepat di hadapanku. Kami berada di sofa di balkon kamarku, Evan dan Vian memberi kami kesempatan untuk berbicara berdua.
“Aku sudah menyerah dengan Ryan. Untuk apa aku menunggu orang yang tak mencintaiku selama ini,” jawabnya dengan nada bergetar.
“Dan kenapa Evan?” Kini kutatap Sisca yang tampak sedikit kurus dari terakhir kami bertemu.
Dia menghela napasnya dan kini menatap langit malam.
“Setelah overdosisku kemarin karena mengkonsumsi obat penenang begitu banyak, Ryan memang akhirnya menjengukku. Tapi dia tetap pada keputusannya untuk menceraikanku. Tapi entah mendengar itu semua hatiku terasa sudah mati rasa. Aku tahu, sebelum aku pergi ke Paris pun aku sudah menyerah kalah darinya. Aku tahu dia begitu mencintaimu, Line. Sampai kapan pun aku hanya menjadi bayang-bayangnya. Kuputuskan untuk kembali ke Yogya. Ingin memulai hidup baru, dan saat itulah aku bsrtemu Evan di rumah sakit milik keluarga Atmawijaya. Aku tahu Evan itu adikmu, dia juga mengenalku sebagai istri Ryan. Kami sering bertemu selama sebulan ini karena aku yang masih memeriksakan ketergantunganku dengan obat penenang. Kami menjadi teman baik karena dia memberikan saran yang baik buatku.”
Sisca kembali terdiam, lalu kemudian menoleh ke arahku.
“Kau tahu baru kali ini aku mendapatkan perhatian tulus dari seorang pria. Selama ini aku hanya terfokus kepada Ryan dan Ryan, itu pun dia tak peduli denganku. Perlahan tapi pasti kami saling jatuh cinta, Line. Aku dan Evan.”
Lagi-lagi jantungku berdenyut dengan cepat mendengar semua penuturannya.
*****
“Fey, kenapa belum tidur?” Vian memelukku dari belakang. Setelah pembicaraanku tadi dengan Sisca aku memang tak mengatakan apapun dan kini mataku tak bisa terpejam.
“Bee, aku tak bisa tidur. Bisakah kau hubungi Ryan sekarang juga? Aku ingin bicara dengannya, ini tak mungkin terjadi Evan dan Sisca tak boleh menikah ini salah, Bee.”
Vian membalikkan tubuhku dan kini mengajakku untuk duduk.
“Aku juga terkejut, kenapa Evan? Kenapa mbak Sisca? Kau benar Fey kita harus menghubungi masku, dia yang bisa memisahkan mereka berdua, dan perceraian ini tak boleh terjadi,“ ucapnya membuatku menganggukkan kepala. Benar Ryan harus menyelesaikan ini semua.
Semalam aku benar-benar tak bisa tidur. Meski Vian sudah menenangkanku, tapi aku tetap tak bisa terima adikku satu-satunya, yang selama ini kujaga dan kusayang harus menjalin hubungan dengan Sisca. Teman sekaligus musuh kalau boleh dibilang begitu. Tak bisa kumungkiri dulu memang aku sedikit iri dengannya. Cantik, orang kaya, percaya diri dan berani menyatakan cintanya kepada Ryan. Sungguh sangat jauh kan dibanding denganku?
Tapi itu dulu, sekarang fokusku bukan itu. Kalau bukan Sisca pun mungkin aku akan menerimanya. Tapi dari Evan lahir akulah yang mengerti tentang perasaannya. Evan itu cinta mati terhadap Putri. Dulu perjuangannya untuk mendapatkan restu dari orang tua Putri pun tak gampang. Karena jarak usia yang memang jauh dengan Putri. Bahkan Evan itu tergila-gila dengan Putri sejak Putri SMP. Bayangkan, dia sempat dicap sebagai pedofil karena menyukai anak SMP. Aku pikir, mereka berjodoh, tapi memang sejak meninggalnya bunda, Evan jadi seperti kehilangan pegangan. Ditambah aku juga jauh darinya. Dan hubungannya, dengan Putri akhirnya kandas, entah apa sebabnya.
Suara dering ponsel mengagetkanku dari lamunan. Hari masih sangat pagi, bahkan dini hari karena baru menunjukkan pukul 3. Vian masih meringkuk di kasur, Kavi tadi sempat bangun sebentar dan minta ASI, selanjutnya tidur lagi. Aku sendiri lebih memilih sholat malam untuk menenangkan pikiranku.
Kuambil ponsel di atas nakas, dan segera menjawab panggilannya.
“Assalammualaikum,” sapaku ketika ponsel sudah menempel di telinga.
“Waalaikumsalam, adik ipar. Belum tidur?” Suara Ryan menyeruak di ujung sana.
“Ryan?“ pekikku terkejut, dan kudengar kekehan di ujung sana.
“Kenapa terkejut? Kata Vian tadi kau ingin bicara denganku, hum?”
Kuhela napas, kemudian mengambil jeda panjang sebelum menjawabnya.
“Ryan, bisa pulang ke Indonesia lagi?”
Kumainkan jemariku mencoba menunggu jawabannya. Lampu kamar di atas nakas kumainkan untuk mengurangi rasa gundahku.
“Loh, memangnya ada apa toh, Line? Sepertinya Aline sedang sedih, ya?”
Tuh kan, Ryan memang seperti cenayang bisa membaca pikiranku. ”Hmmm, iya,” jawabku singkat dan mendengar desahannya di ujung sana.
“Ada apa? Vian?”
Kugelengkan kepalaku secara reflek, lalu tersadar kalau Ryan tak bisa melihatnya.
“Itu soal Sisca, ehmmm dia ke sini.”
“Whaaat?” Tiba-tiba Ryan memekik membuatku menjauhkan ponsel dari telinga.
“Aku tak salah dengar, kan?” ucapnya memastikan.
“Sisca ada di sini, dan parahnya lagi dia akan segera menikah dengan EVAN, adikku, setelah kalian bercerai.”
Suaraku yang sinis mungkin membuat Ryan terkejut, karena untuk beberapa saat yang kudengar hanya helaan napas.
“Ryan.”
“hmmmm.”
“Kau, masih di situ, kan?”
Dan kudengar helaan napas lagi, ”Kumohon kalau kau masih menyayangi Vian, aku dan Kavi, please kau pulang. Ini semua bermula dari kau dan Sisca, jadi jangan libatkan Evan di sini, please. Dia adikku satu-satunya. Aku tahu dia, dan aku tak mau Evan hanya dijadikan pelarian Sisca, dan juga dia menjadikan Sisca pelarian dari Putri. Jadi, please, Yan, perbaiki rumah tangga kalian. Kalau kau tak mau pulang, aku selamanya tak akan mengenalmu lagi!”
Suaraku mungkin sedikit naik satu oktaf mengingat emosi yang kini tertahan di dadaku. Dan juga membuat Vian akhirnya menggeliat, dan mengerjapkan matanya. Mencoba menatapku yang kini duduk bersandar di kasur. Kumatikan ponsel segera tanpa menunggu jawaban dari Ryan, biarlah.
“Fey, hey kenapa belum tidur?” Vian kini beranjak
dan segera terduduk lalu menatapku bingung.
“Aku tak bisa tidur, Bee, sebelum masalah Evan selesai.”
Seketika juga Vian merengkuhku ke dalam pelukannya. Mengecupi rambutku dan mengusap-usap punggungku memberi ketenangan.
“Fey, aku ngerti, tapi Fey juga jangan egois. Kalau Fey tak tidur nanti sakit lagi, kasian Kavi kan, ya? Yuk, tidur dulu. Besok masalah ini kita cari solusinya,” ucapnya lembut.
Kudongakkan wajah yang kini tenggelam di dada bidangnya.
“Ryan baru saja menelepon dan kujelaskan semuanya.”
Vian mengangkat alisnya satu.
“Lalu?” tanyanya singkat.
“Aku minta dia ke sini, dan kalau dia tak mau, aku akan membencinya seumur hidupku!”
Vian tersenyum lalu memainkan ujung rambutku yang tergerai menutupi sebagian dadanya.
“Kejamnya istriku,” ucapnya lalu mengecup puncak kepalaku.
“Biar, salah sendiri menceraikan Sisca, dia itu terlalu childish, Bee. Heran aku, kenapa Ryan itu tak bisa membuka hatinya untuk Sisca? Apa yang kurang dari Sisca? Cantik, kaya, seksi.”
Vian menghela napasnya, ”Kalau masku belum bisa berpaling darimu, Fey, itu wajar, soalnya kau melebihi dari siapa pun.”
Tuh kan, kenapa jadi merayu dianya. Kucubit perutnya membuat dia mengaduh, tapi kemudian menatapku serius.
“Apa yang membuatmu tak menyetujui mbak Sisca dengan Evan?”
Kukernyitkan kening, ”Karena Sisca mencintai Ryan bukan Evan, karena Sisca lebih tua dari Evan,” jawabku membuat Vian tersenyum.
“Itu sama saat aku mengejarmu dulu. Kau juga mencintai masku, kan, kala itu, kau juga lebih tua dariku, tapi sekarang bisa kan?”
Loh, kenapa Vian bisa memutar balikkan fakta coba? Tapi benar juga, ya?
“Cinta itu tak ada yang tahu, Fey. Jodoh juga tak ada yang tahu.”
“Iya, tapi aku tetap tak setuju, Ryan harus ke sini dan bawa Sisca jauh-jauh dari Evan!” ucapku tegas.
“Ehm, kau cemburu dengan Sisca, ya?” tanya Vian kemudian membuatku diam seribu bahasa tak bisa menjawabnya.
*****
Akhirnya aku bisa tertidur semalam setelah dipaksa oleh Vian. Dan benar saja pagi ini kepalaku terasa pening lagi. Saat aku terbangun, Kavi sudah dimandikan oleh Vian, bahkan diajak berjemur di taman oleh Rasya, kebiasaan tiap pagi. Dan saat aku sudah selesai mandi dan menyusul Kavi ke taman belakang, pemandangan yang terhampar di depanku membuatku seketika emosi.
Evan sedang bercengkerama dengan mesra dan wanita itu adalah Sisca. Mereka saling menatap dengan penuh tatapan cinta. Hatiku berdesir lagi, apa benar yang dikatakan Vian semalam, kalau aku cemburu?
Aku memang cemburu dengan Sisca, karena berhasil menikah dengan Ryan saat itu. Dan sekarang aku cemburu dengan Sisca karena dia bisa merebut hati adikku tersayang. Yang bisa membuat adikku itu ke sini meminta restuku. Hebat bukan wanita yang bernama Fransisca itu? Kavi masih berada di dalam kereta dorongnya dengan Vian yang berada di depan kandang kelinci peliharaan Rasya.Kulangkahkan kaki menuju Evan dan Sisca yang tengah duduk di kursi taman.
“Van, Mbak ingin bicara denganmu berdua!” perintahku ke arah Evan saat aku sudah berada persis di depan mereka.
Evan nampak terkejut, sedangkan Sisca tampak mengangguk memberikan waktu buat Evan.
Kubalikkan tubuh dengan segera saat Evan mulai beranjak dan mengikutiku. Dan saat aku sudah sampai di dalam rumah, kusuruh Evan duduk di ruang tengah. Dia hanya patuh dan menuruti perintahku.
“Jelaskan kepada Mbak apa yang terjadi sebenarnya?” Tanpa kuulur waktu lagi aku segera menanyakan hal itu.
Evan menghela napasnya, memejamkan matanya sejenak lalu menatapku. “Mbak, aku juga ingin bahagia,” jawabnya membuatku terkejut.
“Bahagia apa yang kau maksud? Bahagia dengan mengganggu rumah tangga orang?”
Evan menyipitkan matanya ke arahku.
“Aku bukan pengganggu, Mbak, dia mau bercerai, dan mas Ryan sendiri juga yang menceraikannya.”
Kutatap adikku yang sudah sangat kukenal sejak kecil. Ingin kurengkuh ke dalam pelukanku dan mengatakan kalau aku tahu semua perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.
“Tapi kenapa, Sisca? Kau tahu sendiri masa lalu apa yang Sisca dan mbakmu ini alami, dan kau juga tahu dia juga lebih tua darimu, Van dan kau mencintai Putri bukan Sisca.”
“Aku mencintainya, Mbak.”
“Tidak, kau mencintai Putri bukan dia,” teriakku ke arah Evan membuat Evan sedikit berjenggit karena bentakanku.
“Please, Mbak, aku bukan anak kecil lagi, aku sudah 24 tahun dan aku tak perlu diatur Mbak,” bantahnya membuatku mengalihkan pandangan.
“Dia tak pantas untukmu,” jawabku sekenanya.
“Karena dia lebih tua dariku? Mbak Aline juga lebih tua dari Vian!” Ucapannya membuat ulu hatiku tertohok.
“Van, jaga bicaramu kepada mbakmu!” Tiba-tiba kudengar suara Vian dan sosoknya telah muncul dari pintu samping.
Vian langsung duduk di sampingku dan mengusap-usap punggung tanganku.
“Yan, tolong jelaskan kepada mbakku tersayang ini kalau cinta itu tak bisa dilarang,” ucapnya tajam lalu segera beranjak dari hadapanku dan melenggang begitu saja meninggalkanku yang menatap nanar kepergiannya.
Secepat itukah Evan berubah? Dia ... berani melawanku karena Sisca?
Vian mengerti dan segera merengkuhku ke dalam pelukannya, mencoba menenangkanku yang kini menangis terisak.
*****
Pagi sampai sore tiba aku tak mendapati Evan dan Sisca di rumah. Entah ke mana mereka pergi, yang pasti Vian akhirnya seharian berada di rumah karena khawatir denganku. Bahkan Kavi seharian dia juga yang merawatnya meski sedikit berisik karena dia masih banyak bertanya kepadaku. Bagaimana cara memakaikan popok, memberi minum Kavi atau pun berteriak-teriak histeris saat Kavi ngompol di bajunya.
Seperti malam ini setelah makan malam sholat isya, Kavi belum juga beranjak tidur. Dia masih asyik berada di gendongan Vian. Aku sendiri sibuk mengganti chanel televisi.
“Bau acem ... uhmm Kavi bau acem ...” Vian menciumi pipi Kavi dengan gemas membuat bocah itu terkekeh.
“Fey, ini apaan ya, kok basah?” Tiba-tiba dia menjauhkan Kavi dari pangkuannya dan memekik terkejut saat terlihat celananya basah oleh ompol Kavi.
“Eeehhhh, Kavi ngompol, ya?” pekiknya, tapi Kavi malah menghentak-hentakkan kakinya mengajak Vian bermain lagi.
Kuambil Kavi dari gendongan Vian. ”Anak Momny pintel, ya, pipis di celananya daddy,” ucapku ke arah Kavi dan kini dia menepuk-nepuk pipiku lucu.
“Bee, ganti celanamu, Kavi juga mau kuganti celananya,” ucapku lalu beranjak dan melangkah ke arah kamar diikuti vian.
Bukk!!!
Tiba-tiba pintu depan terhempas dan kulihat Evan sudah tersungkur di lantai dengan lebam darah segar mengucur di sudut bibirnya.
Aku memekik histeris dan semakin memekik terkejut saat melihat siapa yang telah membuat Evan babak belur.
Share this novel