Bab 25

Romance Completed 25593

BAB 25

POV Vian.

Hembusan angin pantai membuatku terdiam. Di sini tepat 2 minggu yang lalu tubuhku terasa hangat mendekapnya.Waktu cepat berlalu ternyata, tak terasa 2 minggu sudah sejak aku ke Dunoon ini, dengan kekasih hatiku tercinta. Dan sekarang kembali aku berdiri di sini, tapi berbeda dengan saat itu karena aku kedinginan tak ada dekapan hangatnya, senyum manisnya, ataupun tatapan lucunya saat merajuk. Mbak Mawar aku merindukanmu. Langit siang ini juga terasa ikut bersedih bersamaku, tak secerah tiap kali aku ke sini. Kubenarkan tas ranselku, ehm aku seperti menyerupai backpacker memakai tas punggung yang besar ini. Merenung hanya itu yang kubutuhkan saat ini. Walaupun sudah mantap mengambil keputusan tapi aku perlu meyakinkan diriku sendiri kalau inilah pilihanku. Ini semua kulakukan untuk istriku tercinta, mengingatnya membuat kenanganku dua minggu yang lalu kembali menyeruak di ingatanku.

Flashback:

“Kau kejam, kejam, jahat.” Kurasakan mbak Mawar memukuli dadaku berkali-kali, aku tak bisa berkata apaapa yang bisa kulakukan hanya memeluknya dan menciumi wajahnya yang sudah berlinang air mata itu.

Saat mama mengatakan kabar itu tadi mbak Mawar langsung berlari ke dalam kamar, dan aku mengikutinya. Tak kupedulikan mama yang diam di tempatnya. Dan kulihat istriku tercinta itu tampak terduduk di tepi ranjang dan menatapku dengan nanar, sampai akhirnya aku mengatakan ikutlah pulang ke Indonesia bersama mama, dan meledaklah tangisnya.

Kutangkup wajahnya saat ini lalu kukecup bibirnya yang bergetar itu. Aku benar-benar tak tega melihatnya menangis histeris seperti ini.

“Mbak, please tunggu aku di sana, aku pasti menyusulmu mbak,” ucapku lirih.

Tapi dia hanya terdiam dan menatapku tajam, kembali kuciumi wajahya, tapi sesaat kemudian suara ketukan di pintu membuat mbak Mawar seketika mengambil tas dan jaketnya.

“Mbak,” tarikku dan mendekapnya lagi.

“Maafin Vian ...“

Tak ada jawaban darinya, kucoba menatap wajahnya yang sudah sembab itu tapi dia hanya menggeleng.

“Jangan ikut mengantar ke bandara,” jawabnya dingin lalu segera melangkah keluar dari kamar membuat tubuhku serasa terhempas ke dasar jurang. Flashback end.

Kutangkup wajahku, sesak terasa di lubuk hatiku saat ini, karena sejak kepulangannya ke Indonesia, Mbak Mawar seperti menghindariku. Ponselnya tak pernah diaktifkan, dan saat aku meminta Evan untuk memberikan ponselnya kepada mbaknya itu Evan hanya bilang Mbak Mawar tak mau bicara dengan siapa pun. Hatiku mencelos mendengar kenyataan itu.

Kucoba bertanya pada mama dan mama mengatakan kalau kondisi masku masih seperti itu, mbak Mawar tiap hari berkunjung ke rumah dan mengantar masku untuk terapi. Hatiku kembali terasa sakit. Aku suaminya, tapi tak bisa melindungi dan mempertahankannya. Katakanlah aku memang bodoh saat itu membiarkannya pulang, tapi saat itu masih banyak yang harus kupikirkan. Aku tak mau gegabah menghadapi semuanya. Aku sebenarnya bisa melawan papa dan mama, ikut pulang ke Indonesia atau menentang kemauan mama untuk membawa istriku itu pulang, tapi beasiswaku di sini yang membuatku berpikir dua kali. Susah payah aku mendapatkan beasiswa ini. Wujudku sebagai pembuktian kepada papa kalau aku tak harus selalu menggunakan uangnya. Sejak mengambil pendidikan kedokteran ini aku memang selalu mendapat beasiswa. Papa yang notabene terbilang dengan mudah bisa membiayaiku tak pernah mengeluarkan sepersen pun uang untuku. Bahkan uang jajanku sejak dulu aku gunakan untuk membuka usaha dengan teman-teman sekolahku dulu. Dan sebenarnya aku hidup dengan biaya dari penghasilanku sendiri. Aku punya café yang sudah 5 tahun ini kukelola. Bersama 3 temanku, Doni dan Harsa kami patungan dan Alhamdulilah semakin tahun semakin berkembang. Mama dan papa tahu usahaku ini.

Kurentangkan kedua tanganku mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dua hari lalu aku sudah mantap mengambil keputusan. Seharusnya masih 2 hari lagi aku di sini, tapi kemarin malam Evan memberitahuku kalau istriku sakit. Jantungku benar-benar berhenti mendengarnya. Kukutuk diriku sendiri karena telah melepasnya dan membuatnya sakit. Akhirnya aku nekat hari ini aku harus pulang.

Bus terakhir yang akan mengantarkanku ke Glasgow akhirnya muncul, aku segera naik dan duduk di sana. Kupejamkan mataku mengucapkan selamat tinggal kepada daerah ini. Kota yang damai yang telah menorehkan kenangan manisku dengan istriku. Entah kapan aku bisa ke sini lagi.

Satu jam akhirnya aku sampai di Glasgow kembali. Aku bergegas naik kereta yang akan mengantarkanku ke bandara.Yup hari ini aku pulang ke Indonesia, meninggalkan semuanya di sini, dan tak akan pernah kembali. Aku sudah mengurus semuanya, melepas progam beasiswaku ini, meski dosen pembimbingku di sini menyayangkan tindakanku karena aku tahu ribuan di luar sana orang berebut untuk mendapatkan posisiku, tapi aku membuangnya begitu saja. Biarkanlah ini semua demi kebahagiaan sejatiku. Tak jadi dokter spesialis pun aku rela, masih bisa menjadi dokter umum yang bertugas di puskesmas, atau nanti kalau aku berniat akan melanjutkan program spesialisku ini di Universitas Gajah Mada saja. Tapi itu nanti saat ini yang kupikirkan hanya istriku.

“Mbak Mawar tunggu aku.“

*****

Kurentangkan kedua tanganku, melepas penat, 7 jam perjalanan dari Glasgow ke Dubai, transit 3 jam lalu dilanjutkan penerbangan ke Jakarta kurang lebih 8 jam dan 1 jam ke Yogyakarta membuat tubuhku terasa remuk. Tapi hatiku seketika menghangat mengingat aku akan bertemu pujaan hatiku.

Evan sudah kutelepon untuk menjemputku, dan kulihat dia melambaikan tangannya saat aku melangkahkan kaki keluar dari bandara.

“Mas Vian monggo,” godanya sambil menunjuk motor maticnya itu dan menyerahkan helm kepadaku.

Dasar sahabatku ini.

“Keadaan mbak Mawar gimana, Van?” tanyaku langsung ke arahnya saat dia mulai menyalakan motornya.

Aku sudah bertengger di atas motornya ini.

“Makin parah, Yan, sejak semalam mbak Aline muntah terus tak mau makan apa-apa,” jawabnya membuatku makin panik.

“Sudah dibawa ke rumah sakit?”

Evan menggelengkan kepalanya.

“Kau ini kayak tak tahu mbakku aja dia kan paling anti kalau dibawa ke rumah sakit, bilangnya kerokan saja cukup,” jawab Evan membuatku terdiam.

Aku benar-benar ingin segera sampai di rumah dan merengkuhnya ke dalam pelukanku. Hatiku teriris mendengar dia sakit.

Geliat kota Yogya sudah nampak saat ini, motor Evan melintasi Malioboro dan berbelok ke kanan menuju Sayidan, arah rumahnya. Jantungku terus berdegup semakin kencang, sebentar lagi aku bertemu istri yang sudah sangat kurindukan.

*****

“Masuk aja ke kamar, Yan, bunda sedang ke pasar,dan mbak Aline sedang tidur sepertinya,” ucap Evan sambil melangkah masuk ke dalam sesaat setelah kami sampai di depan rumahnya.

Aku hanya mengangguk, dan melangkah perlahan ke arah kamar milik istriku ini. Kamar dengan hiasan tirai warna pink ini membuatku hatiku makin berdetak kencang.

“Yan, aku tinggal ke kampus, ya?” teriak Evan yang kujawab dengan lambaian tangan dan segera kubuka pintu kamar mbak Mawar yang tak terkunci itu.

Tubuhku terasa lemas saat menatap tubuh mungilnya yang tergolek tak berdaya di atas kasurnya, keningnya tampak dikompres dan wajahnya sangat pucat pasi. Kulangkahkan kakiku menuju ranjangnya lalu bersimpuh perlahan di depannya.

“Mbak, aku merindukanmu,” bisikku dan mengusap rambutnya perlahan. Betapa aku merindukannya saat ini, cukup sekali hanya sekali aku berpisah dengannya, 2 minggu menjadi 2 juta tahun bagiku. Aku tak sanggup lagi.

“Kau ...” teriakan mbak Mawar tiba-tiba menyadarkanku dari lamunanku. Dia bergeser dengan tatapan penuh ketakutan.

“Mbak ini aku,Vian suamimu,” ucapku menegaskan kalau yang dilihatnya bukan fatamorgana.

Mbak Mawar menggeleng-gelengkan kepalanya, dan menarik selimutnya sampai menutupi tubuhnya. Aku beranjak dari dudukku di lantai lalu duduk di tepi ranjang, kutarik selimut yang menutupi tubuhnya. Tapi tiba-tiba di terbangun dan berlari membuatku kebingungan.

Aku ikut berlari mengejarnya dan ketika sampai di depan kamar mandi, istriku memuntahkan semuanya. Sungguh tak tega aku melihatnya, kutepuk-tepuk tengkuknya dan membantu memegangi rambutnya.

“Kita ke rumah sakit, ya?”

Mbak Mawar membasuh wajahnya dengan air dan

”Kau siapa?” tanyanya tiba-tiba menatapku.

Aku tertegun, karena sikapnya itu.

‘Mbak, maafin Vian.“ Kucoba merengkuh tubuhnya, dia tak melawan tapi hanya terdiam kaku saat aku merengkuhnya dan mengusap rambutnya dengan sayang. Aku tahu dia marah denganku, aku juga tak memungkirinya.

“Kita ke rumah sakit sekarang, tak boleh membantah, Sayang bisa marah kepadaku kapan saja, tapi sekarang harus ke rumah sakit.”

Dia kembali menggelengkan kepalanya dan melangkah menuju kamarnya kembali. Membaringkan tubuhnya di atas kasurnya kembali dan memejamkan matanya mencoba tak mempedulikanku.

Aku hanya bisa duduk tepi tempat tidur, menunggu reaksinya.

“Kenapa ke sini?” tanyanya kemudian membuka selimutnya.

“Aku pulang, aku datang untuk selamanya,” jawabku membuat dia mengernyit.

“Maksudmu?” ucapnya lemah.

“Iya Mbak, aku lepas semua beasiswa di Glasgow, aku tak meneruskannya. Aku ingin bersama istriku tercinta di sini.” Jawabanku seketika membuat matanya membulat penuh.

“Kau gila.”

Aku tersenyum geli mendengarnya, kutarik tubuhnya dan kurengkuh tubuh mungilnya itu, badannya sepertinya lebih kurus dari 2 minggu yang lalu.

“Aku memang gila, karena istriku ini,” bisikku lembut di telinganya membuatnya kini menatapku dan mengusap rambutku lalu mengusap wajahku yang kusut.

“Kenapa jadi kusut seperti ini, lihatlah kau jadi tak

terurus,” ucapnya membuatku tersenyum.

“Aku merindukanmu.”

Mbak Mawar mendesah dan melepas pelukanku.

“Kenapa tak pulang ke rumahmu?” ucapnya kembali dingin.

“Aku tak memberitahu mereka, biarlah aku masih malas.”

Dia mengernyit tapi kemudian kembali menutup mulutnya seperti ingin muntah lagi.

*****

“Apaaa???” teriakku dan mbak Mawar bersamaan, saling menatap dan kembali menatap orang di depan kami.

“Kenapa kalian seperti shock begitu? Bukankah kalian sudah menikah?”

Aku mengangguk kaku, istriku tampak pucat pasi.

“Ini salah kan ya, Dok, coba di periksa lagi?“ ulangku.

Aku dan mbak Mawar akhirnya pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisinya tapi kenyataan yang mengejutkan mengagetkanku dengan istriku ini.

“Saya tak salah, istri anda memang sedang hamil, tapi masih berusia 2 minggu” ucap dokter Hary.

Membuatku dan Mbak Mawar makin mengernyit kebingungan.

“Kita periksa lagi di tempat lain saja,” celetuk mbak Mawar saat kami akhirnya keluar dari rumah sakit.

Aku menghela napasku bingung dengan semuanya.

“Mbak, kita kan belum, aku juga belum,” ucapku bingung.

Mbak Mawar juga tampak bingung, tapi segera kurengkuh tubuh mungilnya yang lemah itu.

“Kalau memang benar hamil, berarti ini bayi ajaib ya, Mbak,” godaku sambil mencubit pipinya tapi dia menatapku horror.

“Aku masih perawan,” ucapnya bersikeras, lalu itu bayi siapa? Kita periksa lagi saja, ya?“ rajuknya lagi.

Aku hanya mengangguk mengiyakan, semuanya terasa makin rumit saja, tapi aku juga tersenyum sendiri kalau memang benar istriku hamil, aku hebat dong, ya? Benihku bisa tertanam tanpa harus menembus selaput daranya, haiisshhh mulai gila Mbak suamimu ini.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience