Kedai Kopi

Romance Series 272

"Mbak..."

Arvin melambaikan tangan ke atas, memanggil pelayan yang tengah sibuk mencatat pesanan tamu.

"Sebentar kak."

Jawab pelayan itu singkat, dan melanjutkan mencatat pesanan tamu tersebut.

"Pelayan itu gimana, sih. Padahal aku udah bilang kalau aku pesan kopi tapi gulanya dipisah, malah langsung dipakai gula."

Arvin berbicara sendiri; nampak terlihat sedikit kesal.

"Sabar. Mungkin pelayan itu lupa, atau pesanan kamu tertukar sama tamu yang lain."

Aksa menanggapi sambil menuangkan gula ke dalam secangkir kopi yang sudah dia pesan.

"By the way, barista yang membuat kamu kopi itu sepertinya karyawan baru. Soalnya aku baru pertama kali lihat," ucap Aksa.

"Yang benar? Kok kamu bisa tahu?"

"Iya, soalnya aku sering banget nongkrong di kedai kopi ini. Hampir setiap hari. Aku baru pertama kali lihat dia."

"Emm, sepertinya bukan pelayan itu yang salah. Tapi barista itu yang nggak becus membuat pesanan tamu." Arvin menduga-duga.

"Eh...tapi cantik juga, ya, barista itu."

Arvin menolehkan pandangannya kepada Aksa dengan senyum tipisnya.

"Ssttt. pelan-pelan bicaranya, nanti dia dengar. Nggak enak."

Aksa memberitahu Arvin, agar barista yang mereka bicarakan itu tidak mendengarkan percakapan antara mereka berdua.

"Serius. Sumpah. Cantik banget. Gemesin mukanya," ucap Arvin pelan.

"Duh dasar kambing! Semua cewek pasti cantik. Nggak mungkin ada cewek yang ganteng."

Nada bicara Aksa sedikit naik, sampai mengurungkan niatnya untuk mencicipi kopi miliknya yang sudah dituangkan gula.

Dari kejauhan, sepertinya barista tersebut mendengarkan perbincangan antara mereka berdua.
Melihat Arvin yang tengah sibuk memainkan ponsel miliknya, Aksa sontak bertanya kepada barista itu, yang tidak tahu kapan datangnya tiba-tiba sudah berada tepat di hadapan mereka sekarang.

"Mbak. Teman aku, kan, pesan capuccino, minta gulanya dipisah. Tapi kenapa cappucinonya, kok, langsung dipakai gula?"

Aksa menyodorkan kopi tersebut kepada barista itu.

"Aku sengaja langsung pakai gula, kak. Soalnya aku kasihan ngelihat gula itu. Gula itu kadang sering nangis kalau dipisah terus sama kopi."

Jawab barista itu dengan nyeleneh.

"Hahaha...bisa aja, mbak. Udah cantik, pintar bergurau lagi."

Arvin meletakkan ponsel miliknya. menanggapi perkataan barista itu.

"Tapi kadang mereka sering berantem kalau disatukan gitu, mbak. Mereka aku pisah supaya keduanya saling introspeksi diri. Supaya mereka mikir hehehe"

Arvin membalas guyonan barista itu.

Sosok Arvin memang dikenal sebagai orang yang periang, mempunyai selera humor yang tinggi. Pria dengan rambut ikal, berpostur tubuh tinggi, dengan kulit tubuhnya seperti sawo matang itu adalah salah satu sahabat Aksa.

Inilah salah satu alasan mengapa Aksa senang sekali bersahabat dengan dia. Selain dia jago membuat guyonan, dia juga adalah sosok pendengar yang baik. Selain itu, dia sering memberi masukan dan nasihat perihal hubungan asmara Aksa dengan Danita—mantan pacar Aksa.

"Tadi aku lupa, kak. Aku minta maaf banget ya."

Barista itu menangkupkan kedua tangannya di depan dada, tanda kalau ia benar-benar meminta maaf.

"Lain kali kalau teman saya pesan kopi lagi, jangan langsung dipakai gula. Tolong dipisah ya," ucap Aksa tegas.

"Baik kak, maaf."

Barista itu menundukkan kepalanya karena perasaan bersalah.

"Tapi, tolong gula dipisahnya jangan terlalu jauh ya, mbak," Arvin menambahkan.

"Memang kenapa, kak, kalau terlalu jauh?"

Wajah barista itu penuh kebingungan.

"Nanti rindu kalau dipisah terlalu jauh."

Arvin tersenyum dengan raut wajah yang bisa dikatakan nggak banget.

"Bisa aja lo pinggiran koreng!"

Aksa meledek sambil sedikit mendorong tubuh Arvin. Arvin pun tertawa.

"Bawa santai aja kali, nggak usah terlalu kaku," ucap Arvin masih dengan sisa ketawanya.

Sementara barista itu hanya tersenyum tipis, dan kembali ke tempatnya bekerja melanjutkan membuat pesanan kopi untuk tamu yang lain.

Kebetulan malam itu adalah malam Minggu. Suasana di kedai kopi itu nampak ramai. Letak kedai kopi itu tidak jauh dari rumah Aksa, sekitar 50 meter dari tempat aksa tinggal.

Tidak heran kalau Aksa sering menyambangi kedai kopi tersebut untuk sekadar nongkrong dengan Arvin. Atau hanya duduk menyendiri membaca karangan novel, ditemani secangkir caffe latte favoritnya.

Seperti biasa pada tiap malam minggu, kedai kopi itu rutin mengadakan live music accoustic, dengan diiringi band-band indie ternama seantero Jakarta.

Pengunjung yang datang di kedai kopi itu rata-rata didominasi oleh para pelajar, mahasiswa, dan pasangan remaja yang sedang dimabuk asmara.

Tempat itu dibentuk dengan konsep seindah mungkin oleh pemiliknya. Kerlap-kerlip lampu berwarna-warni, lilin putih disetiap meja, dan lampu utama berwarna kuning, memberikan kesan romantis dan juga penuh kehangatan.

Jika kamu bertanya apa itu definisi dari kedamaian, mungkin disini kamu bisa temukan jawabannya.

Arvin masih sibuk berkutat dengan ponsel miliknya. Sementara itu, lelaki berkulit putih, berparas tampan, dengan bola mata kuning kecoklatan, bernama Aksa malah terhanyut dalam iringan music accoustic yang dibawakan oleh penyanyi di kedai kopi itu.

Karena memang jujur, lagu yang dibawakan oleh penyanyi di kedai kopi itu benar-benar mewakili apa yang Aksa rasakan saat ini.

Perlu kalian ketahui. Suasana hati Aksa saat ini sedang kacau-balau. Fikirannya meracau tidak karuan. Hatinya terbalut oleh selimut perih bernama luka, yang kainnya dijahit sempurna oleh rasa kecewa.

Sudah 1 bulan berlalu Aksa putus dengan Danita, tetapi Aksa masih belum bisa sepenuhnya melupakan apa yang menurutnya paling membekas di hati. Berat baginya untuk mengatakan bahwa dia sedang baik-baik saja sekarang.

"Udah dong, Sa. Nggak usah terlalu berlarut-larut..."

"Iya, iya. Ini udah, kok. Aku udah selesai."

Aksa memotong perkataan Arvin, meletakkan sendok yang baru dia pakai untuk mengaduk kopi yang dia tambahkan gula lagi.

"Maksud aku, bukan gula yang nggak usah kamu aduk sampai larut," Arvin memprotes.

"Iya, aku paham. Aku nggak bego. Cuma gimana caranya supaya bisa cepat lupain dia? nggak semudah itu," nada berbicara Aksa sedikit naik.

"Gampang kok."

Arvin mengambil tisu dan membersihkan bekas kopi yang menempel di mulutnya.

"Gimana caranya?"

"Kata orang-orang, cara paling efektif melupakan seseorang itu dengan cara menyibukkan diri kita. Buang semua benda atau hal apapun yang membuat kamu ingat dengan dia. Dan satu hal terpenting, kamu harus belajar membuka hati untuk orang lain."

"Iya. Tapi nggak semudah itu membuka hati untuk orang lain. Susah," ucap Aksa.

"Yang seperti ini, tipe orang yang gampang mati muda. Belum juga mencoba, udah dijawab susah," jawab Arvin ketus.

"Ya terus aku harus gimana, Vin?"

Suara aksa nampak parau. Raut wajahnya sedikit pasrah.

"Ya setidaknya kamu harus mencoba, dong. Ingat, putus hubungan bukan berarti putus semangat untuk menjalani hidup. Kamu harus bangkit, Aksa! Cinta boleh, bego jangan!"

Entah kenapa Arvin seketika menjelma menjadi Mario teguh. Tetapi dengan versi anak-anak yang baru pubertas.

"Baik juragan. Sebentar ya, aku mau ke toilet dulu buang air kecil."

Aksa beranjak meninggalkan tempat duduk dan menuju ke toilet. Tidak memperdulikan apa yang dikatakan sahabatnya barusan.

"Dasar batu. Emang susah ya menasehati orang yang udah resmi jadi budak cinta. Dasar bucin akut."

Arvin menggerutu sendiri melihat Aksa yang pergi begitu saja meninggalkannya ke toilet.

***

Lalu, akan menjadi apa puisiku jika yang aku tuliskan bukan lagi tentangmu.

—Aksa Melviano

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience