BAB 18
Panas, bagaimana bisa? Aku berada di dalam ruangan ber-AC, bahkan di suhu dingin begini. Kenapa rasanya aku berada di gurun pasir, panas tubuhku benarbenar membuatku ingin melucuti semua pakaian yang membebat tubuhku ini. Gila, bukan huh???
Jadi ini rasanya bersentuhan??? Dengan lawan jenis??? Katakan aku ini kuno, polos, lugu atau apapun itu, tapi okelah seorang Aline Prameswari yang sudah berusia 29 tahun ini baru merasakan sensasi kulit menyentuh kulit atau apapun yang bereaksi di dalam tubuhku. Kulit tubuhku terasa sangat sensitif kurasa saat ini. Meremang bulu halusku, gelenyar panas kini meliputi setiap inci tubuhku. Jantungku jangan ditanya lagi, berdegup semakin kencang tak beraturan. Aroma maskulin menguar di indera penciumanku, saat jarak di antara kami semakin menipis. Tiap sentuhannya mengirimkan sejuta aliran panas yang membuat aku memejamkan mata menikmati kenikmatan.
Eh tapi jangan berpikiran macam-macam dulu, ya, aku dan Vian kini memang tengah saling menatap, tapi kalian tahu, Vian hanya menyentuh pipiku, hanya itu sambil memandangiku penuh cinta. Hebat bukan? Hanya dengan disentuh begitu saja efeknya sudah benar-benar luar biasa untuk tubuhku.
“Mbak, kenapa diam?” tanyanya saat aku memang masih belum mengeluarkan sepatah kata pun sejak dia bilang, “Mbak kita sempurnakan pernikahan kita.”
Hal itu membuatku seketika membeku. Bukan karena aku belum siap karena sejak dari awal aku menyetujui untuk menikah dengan Vian hal itu sudah aku pikirkan kalau memang ini harus terjadi, tentu bukan itu. Tapi perlu digarisbawahi aku merasa takut, takut dalam artian yang sebenarnya. Aku benar-benar takut bersentuhan dengan lawan jenis mengingat selama 29 tahun hidupku ini aku belum pernah menjalin hubungan yang serius dengan seorang pria.
Apalagi harus bercinta? Aaihhh pikiran absurd itu langsung menyerangku meluluhkan setiap persendian tubuhku. Kalau soal pengetahuan tentang itu aku sudah cukup pintar. Dulu aku berada di kelas IPA, yang tentu saja diberi pelajaran biologi tentang itu. Referensi buku, bahkan berbagai macam video yang mengajarkan tentang itu aku juga sudah paham betul. Tapi kalau untuk menjalaninya langsung rasanya tekad ini masih belum bisa. Sakit, nyeri, darah itu semua yang menghampiri otakku kali ini.
Kurasakan Vian kini mulai menangkup wajahku dengan kedua tangannya, aku masih berada di pangkuannya, kakiku mulai kesemutan karena sejak tadi tak berani bergeser. Kalian tahu kan kalau aku bergerak tentu saja adik di bawah sana milik Vian pasti juga akan membesar. Aiiiihhh tuh kan kenapa aku jadi omes kayak gini.
Mata Vian mulai menggelap, bahkan deru napasnya kini tampak pendek-pendek. Aku benar-benar takut sekarang.
CUP!
Eh, Vian menciumku, mencium bibirku, Owh,,, Aliiiinneeeee, bagaimana ini. Aku menundukkan wajahku tak berani menatap wajahnya.
“Hei, kau tambah cantik kalau begini, aku suka.” Suara Vian terdengar makin serak.
Aku yakin dia menahan gairahnya mati-matian.
Kutelusuri kancing kemeja yang dia pakai, bermain-main di sana mencoba mengurangi kegugupanku.
“Kenapa? Lebih menarik kancing bajuku, ya? Daripada wajah suamimu yang tampan ini?” ucapnya membuatku makin menunduk malu.
Tuh kan aku jadi salah tingkah. Hilang sudah sikap galakku terhadap bocah ini. Kurasakan Vian mengangkat daguku.Mata kami saling bertemu. Dan kulihat seringai jahil disenyum dan matanya.
“Mbaknya malu, ya?” ucapnya membuatku tersadar aku tak seharusnya malu-malu begini seperti remaja yang baru saja pertama kali dicium kekasihnya.
Tapi memang benar, kan? Aku memang belum pernah dicium siapa pun.
“Yan, aku ... ehmmm aku ... ehmmm,” ucapanku berhenti saat Vian mengusap punggungku dengan lembut.
Sangat perlahan dan membuat pola abstrak di sana. Tentu saja aku menggigit bibir bawahku. Menahan desahan yang akan keluar dari mulutku ini. Padahal aku belum dicumbu oleh Vian tapi kenapa reaksi tubuhku sangat sensitif seperti ini.
Vian tiba-tiba menarik tubuhku dan kini membuat tubuhku berada dalam dekapannya. Kurasakan tubuh Vian seperti tersentak dan menegang saat dadaku menabrak dadanya. Aku pun merasa canggung karena payudaraku menempel di dadanya. Sungguh tak nyaman buatku.
“Sayang, aku paham kok kalau kau masih belum siap aku paham, aku tak akan memaksa, tapi izinkan aku malam ini untuk mendekapmu dan menciummu, ya?’ bisik Vian di telingaku .
Aku benar-benar merasakan panas itu kian menjalar di seluruh tubuhku. Kepalaku bersandar di bahunya. Belum sempat aku menjawab, kurasakan kecupan panas dan basah di tengkuk dan juga leherku. Kecupan-kecupan itu membuatku sekali lagi merinding, ada rasa geli di sekitar perutku, dan juga pangkal pahaku terasa tak nyaman.
Bahkan terasa basah dan terasa seperti saat aku membaca novel erotic ataupun melihat video-video yang diberikan Nadia kepadaku. Katanya buat pengetahuan, Line. Tentu saja aku mengerti, bahkan aku juga sudah menamatkan novel Fifty Shades of Grey.
Tiga novel sekaligus, hebat bukan. Tapi sekali lagi merasakan yang asli seperti ini kan belum pernah.
Vian makin mengecupi tengkuk dan leherku dengan intens. Bahkan kini tubuhnya makin erat menempel di tubuhku. Hal itu mengirimkan gelenyar panas lagi, ototku terasa lemas, dan menikmati tiap kecupan dan gesekan tubuhnya yang menghimpit kedua bukitku.
Vian makin berani, karena saat ini kurasakan tangannya mulai membelai area sensitifku ini, dua bukitku dia usap dengan lembut.
“Awhhhh, Yan ...” Suara desahan lolos dari mulutku karena usapannya itu.
Vian makin menangkupnya dan membelainya lagi. Bahkan membelai bagian yang mulai menonjol akibat rangsangan tangannya itu. Bibirnya masih sibuk mengecupi leherku. Hal itu membuatku memejamkan matanya dan menikmatinya. Tapi tiba-tiba Vian mendekapku erat dan meremas bukitku ini dengan keras. Membuatku mengerang nikmat, bersamaan dengan rasa mendesak di pangkal pahaku. Aku ketakutan, bukankah aku akan segera orgasme? Tapi bagaimana bisa?
Aku tak memungkiri kadang tengah malam saat aku mempunyai mimpi erotis aku juga merasakan kenikmatan ini. Tapi sekarang begitu nyata.
“Yan, akuuuu ...” Dan tiba-tiba semuanya terasa seperti melayang dan terasa begitu nikmat.
Sempat kurasakan Vian mengecup leherku dengan kuat bersamaan dengan dekapannya .
Tapi aku juga tak memikirkannya karena saat ini aku sedang didera rasa nikmat yang bergulunggulung membuatku mendesah dan meracau. Vian pun juga mengerang lalu mendekapku erat. Sakit di antara selangkangan ini tak kuhiraukan. Kami terbaring berdampingan, aku menangis. Entah rasa apa ini? Tapi aku bahagia.
*****
“Maaf ya, Cinta jadi kedinginan?’” Vian membebatku dengan selimut tebal sesaat setelah aku mandi besar di malam yang dingin begini. Vian juga nampak menggigil kedinginan masih dengan rambut basahnya.
Aku tersipu mengingat kejadian 30 menit yang lalu saat kita sama-sama merasakan orgasme. Saat masih memakai baju lengkap dan hanya saling mengusap.
Aku hanya mengangguk saat Vian mengusap rambutku yang masih basah ini.
“Jadi, kita sama-sama pemula, ya?’” kali ini Vian memulai pembicaraan ini.
Aku menoleh ke arahnya dan mengangkat alis, tapi sedetik kemudian tersenyum.
“Sudahlah aku malu,” ucapku sambil menahan rasa perih atau apa di antara selangkanganku.
Kudengar derai tawa di sebelahku.
“Mbak Mawarku ternyata benar-benar masih polos,” godanya membuatku membuka tanganku.
“Vian ihhhh, hentikan sudah aku mengantuk,” ucapku lalu berbaring dan menarik selimut.
Tapi tiba-tiba Vian sudah mengurung tubuhku dengan tangannya.
“Yan, apalagi?” Aku menatapnya gugup saat dia kini menatapku intens. Lalu tiba-tiba menyentuh ujung bibirku dengan bibirnya. Lalu menjalankan bibirnya ke bibirku dan membelainya lembut, sangat lembut.
Basah dan kenyal itu yang kurasakan. Vian menyesap bibirku sekali dan kini melepaskannya.
“Aku sangat beruntung, Mbak, Kau benar-benar masih suci dan polos,” bisiknya membuat mukaku terasa panas.
*****
Aku sedikit kecewa saat membuka mataku tak merasakan kehangatan seperti semalam. Kami memang saling memeluk semalam, tapi hanya itu karena kami samasama kedinginan dan lelah.
“Morning, Sayang.” Suara Vian membuatku tersadar sepenuhnya dan menoleh ke arah Vian yang sudah rapi dan segar.
“Kita pulang ya pagi ini, baru saja Mas Ryan menelepon kalau flatku kacau balau,“ ucapnya membuatku terkejut.
“Kacau bagaimana?”
Vian mendesah dan memijat pelipisnya.
“Sonia mengacau, Mbak, kata mas Ryan semalam dia ke flat untuk berpamitan karena hari ini harusnya dia pulang ke Indonesia, tapi begitu sampai di sana, flat sudah berantakan tak bewujud, dan Sonia entah ke mana.”
Aku menutup mulutku shock, gadis itu benar-benar gila. Secepat kilat akhirnya aku bersiap, dan segera merapikan diri.Vian langsung check out dari hotel dan mengajakku untuk naik kereta ke Glasgow.
Dalam perjalanan kami saling diam dengan pikiran masing-masing. Vian mungkin merasa bersalah karena sudah membuat Sonia begitu, tapi entahlah aku juga tak mau berspekulasi.
Share this novel