Bab 70

Romance Completed 25593

BAB 70

VIAN POV

Seperti yang sudah kuperkirakan dari dulu, yang kutakuti saat ini akhirnya datang juga. Masalah Sonia akhirnya terkuak juga. Sebenarnya dulu, saat menolak Sonia dan memberi pengertian kepadanya kalau aku memang hanya menganggapnya sahabat dan tak lebih. Dia masih tak percaya, katanya aku memberi harapan kepadanya sehingga dia menginginkan lebih dari sekadar sahabat. Dan saat aku mendengar dia mencoba bunuh diri, aku benarbenar merasa bersalah, bukan dengan Sonia tapi dengan Fadli, sahabatku yang kebetulan kekasih Sonia.

“Itu pelajaran buatmu, Bee, makanya jangan terlalu baik hati dengan wanita,” celetuk Fey yang kini tampak sibuk membenahi mukenanya setelah sholat isya.

“Aiiihhh, Nyonya Besar sedang cemburu,” godaku ke arahnya tapi kulihat Fey memberengut lucu dan mengerucutkan bibirnya itu.

“Tak lucu, aku sedang bicara sama kamu, soal kamu sama wanita. Itu kan salahmu sendiri sudah punya istri juga masih satu flat sama Sonia.”

Tuh kan, dia cemburu ini. Masalah Sonia dibawa-bawa lagi, padahal udah mengendap sekian lamanya eh dibahas lagi.

“Hey, Nyonya ... masih mau mengajak berdebat?” Kini kutarik tubuhnya untuk berbaring di sebelahku. Kucium rambutnya yang segar aroma strawberry itu.

Dia menggelendot manja di lenganku, dan seperti biasanya memainkan kancing kemejaku.

“Habisnya, masalah wanita lagi, capek, Bee .. tak bisa tenangkah? Kemarin juga baru selesai sama si Vani itu, eh ini malah kayak gini.”

Kuhela napas lalu kucium keningnya, ”Sabar Sayang, ya gitu resiko punya suami keren.”

Kurasakan cubitan keras di perutku. Tuh kan, kejam deh ini nyonya besar.

“Aduuuhhh Fey jahat, kok nyiksa, mau tuh aku siksa juga?”

Wajah Fey tampak kebingungan. Kucondongkan tubuhku ke arahnya lalu meniup telinganya. Benar saja, dia langsung menjauh dariku.

“Jangan macam-macam!” Kulihat dia menutup dadanya dengan kedua tangannya, aiihh lucu.

“Lah kusiksa biar kau, mendesah sini.“

“Ehhhh ... Bee ... no no noooooo,” pekiknya saat kurengkuh dirinya dan kuciumi wajahnya.

*****

Fey masih sibuk di kamar mandi saat masku pagi ini mengetuk pintu kamarku. Semalam aku dan Fey akhirnya tertidur setelah acara bergulat di atas kasur. Bukan, jangan menganggap kami melakukan sesuatu karena Fey meminta aku menjauh darinya katanya ingin tidur berjauhan denganku, demi dekbay gitu katanya. Tersiksa kan, ya, dedekku yang lain.

Dan di sinilah aku berada, duduk di sofa dengan

menyesap kopi buatan mama tercinta. Mama memang the best kalau membuat kopi.

“Ini tak mudah, Yan. Keluarga Soni tak terima, apalagi papanya orang berpengaruh di kota ini,” ucapan masku membuatku menghentikan menyesap kopi hitamku.

“Aku sudah tahu itu, keluarga Sonia memang orang kuat di kota ini, tapi hukum kan harus ditegakkan, Mas,” jawabku membuat masku mengangguk.

“Aku bisa, bisa memasukkan Soni ke penjara ... tapi ini butuh waktu yang lama. Kita harus bertarung matimatian di sini, kau siap, kan?” Kini masku menatapku serius

Like a Rose dan aku mengangguk mantap.

“Aku siap kapan pun itu, Mas.”

“Tapi Yan, aku takut Aline akan tertekan jika mendengar ini, apalagi dia masih hamil muda begini, bagaimana kalau dia pulang ke Yogya dulu, demi semuanya demi kebaikannya juga.”

Ucapan masku masih membuatku tertegun saat tiba-tiba kudengar teriakan Fey dari dalam kamar. Aku pun langsung berlari ke arah kamar, dan mendapati Fey sudah pucat pasi.

“Sayang, ada apa?” Kulangkahkan kaki ke arahnya dan merengkuhnya, erat.

“Yan, ada bercak darah di celanaku.”

*****

“Ini wajar Aline, tak ada apa-apa, hanya luka karena sel telur yang sudah dibuahi menempel di dinding rahim. Ini wajar untuk kehamilan muda sepertimu. Tapi ingat setelah ini kau harus istirahat, tak boleh kelelahan dan tak boleh banyak pikiran. Vian, jaga istrimu jangan sampai stres, ya,” dokter Ratna menatapku dan Fey bergantian.

Setelah tadi Fey mengatakan kalau dia mengalami flek, aku langsung membawanya ke rumah sakit dan keputusanku kali ini sudah bulat.

“Jadi ini tak apa-apa ya, dok?” Fey kini bertanya kepada dokter Ratna yang diangguki oleh dokter Ratna.

“Asal jaga kesehatan dan tak boleh stress, ya?”

Kami akhirnya mengangguk dan segera berpamit setelah mendapatkan resep obat dari dokter Ratna.

Fey masih terus mengusap-usap perutnya saat kami sudah berada di dalam mobil.

“Fey, sekarang juga Fey pulang ke yogya bersama mama, dan papa sama Evan, ya?”

Fey memberengut lalu menggelengkan kepalanya.

“Kamu mau membuangku?” ucapnya membuatku langsung mengusap rambutnya.

“Hey ini mulut, ya, minta dicium deh. Siapa juga yang mau membuang cewek cantik begini? Ini semua demi dekbay dan juga Fey. Di sini nanti Fey bisa stress”

Kulihat dia menatapku lekat, lalu menggenggam salah satu tanganku dan menciuminya.

“Aku ingin di sini bersamamu, aku tak mau berpisah denganmu.”

Hatiku menghangat mendengar ucapannya.

“Aku kan selalu bersamamu, Fey. Di mana pun walau jarak memisahkan kita, jaga hatiku, Fey.”

“Tapi?” Fey kini tampak akan membantah tapi akhirnya dia menghela napasnya.

“Baiklah terserah kamu aja deh, Bee.”

******

Setelah mengutarakan niatku kepada mama dan papa yang langsung disanggupi oleh keduanya, dan juga Evan, di sinilah kami berada sekarang.

Kuciumi pipi gembil Kavi, yang berada dalam gendongan mama. Aku juga akan merindukan Kavi tapi ini demi kebaikan mereka—Kavi, Fey dan juga dekbay.

“Jagain Mama dan calon adek, ya,” bisikku ke arah Kavi, dan Kavi pun menepuk-nepuk pipiku dengan tangan mungilnya.

Lalu aku beralih ke Fey yang kini tampak menyusut air matanya. Dia memang dari tadi hanya terus menangis.

“Hey, jangan cengeng! Fey, semakin berat aku melepasmu,” kutarik tubuhnya ke dalam dekapanku.

“Kau yakin merelakanku ke Yogya?” ucapnya lirih. Dan kuangkat wajahnya lalu dengan cepat. Fey sudah mengecup bibirku sebelum aku mengecupnya. Aku sebenarnya tak bisa melepasmu, Fey ... tapi aku tak mau kau ikut resah menghadapi kasus ini.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience