BAB 8
Kusesap cappucino panas yang mengepul di depanku. Tadi setelah heboh sendiri, akhirnya Christian menjemput dan mengajakku ke coffe shop di sebelah hotel tempat biasa Tian mentraktirku kopi atau pun pancake sepulang kerja. Coffe shop di kawasan bunderan kampus UGM ini memang menjadi langgananku. Aku memang berdomisili di Yogyakarta tempat kelahiran bunda. Setelah ayah meninggal, bunda memutuskan pulang ke rumah eyang yang ada di Yogya ini dan kebetulan Evan juga mendapatkan beasiswa dari Universitas Gajah Mada. Lengkap sudah akhirnya aku dan keluargaku pindah dari Jakarta tempat domisiliku semula ke kota pelajar ini. Walau memang dari kecil aku dibesarkan di Yogya ini, aku pun lahir di sini,sekloah dari TK sampai SMA juga di Yogya ini. Walau setelah lulus ayah mengajak kami pindah ke Jakarta karena pekerjaannya. 5 tahun kami di Jakarta, sampai ayah terkena serangan jantung dan akhirnya meninggalkan kami semua.
“Line, kau benar-benar mantap? Yakin?” Suara Christian pertama sejak dia duduk di depanku 15 menit yang lalu.
Kuhela napasku, ”Memang kenapa?” Aku mengangkat alisku tak paham dengan pertanyaannya, sudah dari 5 hari yang lalu sikapnya benar-benar aneh.
Tian tersenyum, ”Kau ini menikah tak memberitahuku, sekarang juga mau pergi mendadak begini, sebenarnya efek apa yang diberi bocah itu, Line?” ucapnya tapi kali ini dengan senyum tipis di bibirnya.
Kuputar bola mataku bosan dengan pertanyaannya tapi memang aku juga tak mempunyai jawabannya tentang yang satu itu.
“Sudah bukan waktunya kau menanyakan itu, sekarang bisa membantuku tidak?” ucapku tak sabar.
Tian menghela napasnya dan menyeruput kopi hitamnya.
“Kau punya paspor?” Aku segera mengangguk dan mengaduk-aduk isi tasku, lalu kuambil paspor dan kutunjukkan kepadanya.
“Ini dulu Nadia membuatkanku saat tahun lalu dia memaksaku menemaninya ke Singapura hanya untuk berbelanja dasi buat Rio.”
Tian melihat pasporku dan mengangguk-angguk.
“Jadi kau sudah mengurus visamu ke Skotlandia?” tanyanya lagi dan kali ini membuatku melongo.
“Owh, harus pakai Visa, ya? Aiiihhhh kenapa aku lupa ya,“ ucapku sambil menepuk dahiku sendiri.
Tian mengekeh, lalu kurasakan dia mengacak rambutku— kebiasaan kalau dia merasa geli dengan sikapku.
“Tiaaaaaannn, apaan sih, ini rambut udah aku sisir, habis ini juga aku masuk shift siang, mau resepsionismu berantakan?” sungutku kesal ke arahnya.
Tian menjulurkan lidahnya. Lalu menyesap kopi hitamnya itu.
“Jadi kau mengganggu tidurku pagi-pagi hanya untuk bilang kau ingin ke Skotlandia, tapi belum mengurus Visa? Ckckckkc benar-benar seorang Aline Prameswari yang selama ini kukenal penuh perhitungan kini bisa bersikap konyol begini karena seorang bocah.”
“Kalau tak mau bantu ya sudah, tapi jangan mengejekku, dan satu lagi jangan pernah menggodaku,” aku langsung beranjak dari kursiku.
“Eh eh eh ... diiiihhh gitu aja ngambek nih! ... Iya iya ... Aku bakal bantuin, duduk dulu donk, Ai,” ucapnya merajuk kali ini menatapku dengan serius.
Kuhempaskan lagi tubuhku ke atas kursi dan kini mulai menatap Christian.
“Jadi memang tak bisa, ya?” ulangku ke arahnya.
Dia mengangguk, ”Semua ada prosesnya, ya minimal satu minggu kalau untuk membuat Visa apalagi tujuanmu juga untuk apa ke sana? Berkunjung? Atau belajar? Atau bekerja, itupun kalau berkunjung ke keluarga kau harus menerima undangan dulu dari keluarga yang akan kau kunjungi ... tak bisa seenaknya. Skotlandia itu termasuk ketat mengeluarkan Visanya,” jelasnya panjang lebar membuatku kini makin melongo.
“Jadi??? Susah, ya?“ ucapku putus asa.
Tian mengangguk dan kini menunjukkan sesuatu dari layar Ipadnya .
“Ini biaya Visanya, dan juga syarat-syaratnya dan juga tiket pesawat ke sana lengkap,” ucapnya menunjukkan tulisan dari google.
Aku megap-megap membaca semua syarat dan rincian biaya di sana. Visa berkunjung pun aku harus mempunyai rekening minimal 3 bulan dengan nominal sekian belum lagi biaya untuk sekali terbang ke Skotlandia paling murah lebih dari 10 juta.
Kutatap Tian yang kini menatapku tajam, dia mengerti dan kini mengusap kembali rambutku
“Line, aku bisa meminjamimu uang untuk ke sana, ikhlas malah kuberikan kepadamu kau tak usah membayarnya tapi coba kau pikir dua kali, Line, kau ke sana cuma untuk berkunjung? dan kembali ke sini lagi? Atau kau memang mantap ingin ikut suami kecilmu itu? Apa kau bisa beradaptasi, Line? Bagaimana Bunda? Evan? Yang masih membutuhkanmu?” ucap Tian bijak.
Kuhela napasku sekali lagi dan menatap Tian.
“Aku terlalu gegabah, ya? Aline bodoh, paboya.“ Kupukul-pukul kepalaku sendiri, hanya karena mendengar Vian sakit dan ada wanita di flatnya membuat logikaku tak bekerja dengan baik.
Tian terkekeh lagi dan mengacak rambutku lagi. Dasar dia dan Evan sama saja selalu megacak-acak rambutku ini. Memangnya aku anak kecil yang harus diacak-acak?
Dan akhirnya di sinilah aku berada, sejak pembicaraanku yang gagal terbang ke Skotlandia dengan Tian 2 hari yang lalu, kucoba untuk menormalkan kembali hatiku. Dan si tengil Vian itu makin membuatku khawatir karena dia tak menghubungiku lagi, aku ingin menghubunginya tapi gengsilah lagipula mahal. Pelit ya aku? Hehehehe
Aku bergelung malas di atas kasur, biasa pulang kerja masuk kamar dan membaca novel kesukaanku. Novel karya Johanna Lindsay yang baru saja aku beli kemarin. Tapi lagilagi aku tak bisa konsentrasi dengan baik. Pikiranku masih melayang ke Vian, dia sakit dan wanita, sakit dan wanita, wanita, wanita.
“Ahhhhhhhhhhhhh.” Kuacak rambutku kesal bersamaan dengan itu ketukan di pintu mengagetkanku.
“Mbak Aline, ada mas Ryan di depan,“ teriakan Evan sukses membuatku membeku.
Haisshhhh buat apa lagi dia ke sini. Kuseret langkahku malas ke arah pintu kamar dan kulihat Evan sudah menyeringai di depanku.
“Bilang aku sudah tidur, malam-malam kok bertamu,” ucapku jutek ke arah Evan.
“Line, mama ingin kau menginap di sana sekarang.“ Tiba-tiba wajah orang yang paling tak mau kutemui itu sudah berdiri di belakang Evan.
Kukernyitkan keningku tak paham. Tapi bunda tiba-tiba muncul dan melangkah ke arahku.
“Sana Line, kunjungi mertuamu kasihan,” ucap bunda membuatku seketika mengangguk. Entah kenapa aku selalu patuh dengan bunda.
Tak ada pembicaraan selama aku berada di dalam mobil Ryan. Dia hanya fokus ke jalan, yang kini melewati Malioboro yang masih rame meski jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Di pangkuanku ada tas selempang dan jaket yang tak sempat kupakai tadi, karena Ryan sudah menarikku masuk ke dalam mobil sesaat aku baru saja berpamitan dengan bunda. Aku pun juga tak sempat ganti baju. Kalian tahu aku masih memakai piyama kebesaranku, piyama warna pink dengan gambar cupcake besar. Sungguh memalukan, menantu mana yang berpenampilan seperti ini kalau bukan Aline Prameswari.
Kurasakan mobil BMW Ryan berbelok dan memasuki sebuah pintu gerbang dan masuk ke halaman rumah yang bergaya Eropa itu. Megah, hanya itu yang sempat terlintas di pikiranku.
“Sampai, maaf ya aku tak bisa mengantar masuk, aku masih harus menemui klien,“ ucapnya ke arahku saat aku melepas seat belt.
Aku hanya mengangguk dan keluar dari mobil.
“Line,“ panggil Ryan menginterupsiku membuatku menoleh ke arahnya.
Detak jantung makin kencang saat kutatap mata elangnya itu yang sedari dulu menyiksaku.
.“Tidur yang nyenyak, ya,“ ucapnya serius lalu tersenyum ke arahku, senyum yang sama dari dulu yang sempat membiusku untuk beberapa saat.
“Aiihhh, Aline sudah datang, ya?“ Tiba-tiba suara wanita di belakangku membuatku menoleh.
“Ma, Mas tak bisa mampir, ya,” pamit Ryan ke arah mamanya yang kini telah berdiri di sampingku.
“Hati-hati ya, Sayang, jangan lupa besok jangan terlambat,“ ucap mama.
Ryan mengangguk dan melambaikan tangannya ke arahku sebelum akhirnya melajukan mobilnya meninggalkan kami berdua.
“Ma ...” Kusalami perempuan yang masih begitu cantik ini walaupun sudah separuh baya.
Mama tersenyum dan memelukku hangat. Aku memang belum begitu mengenalnya, saat menikah kemarin hanya sedikit berbincang-bincang dengannya.
‘Maaf Ma, Aline berpenampilan begini,” ucapku malu melihat penampilanku sendiri. Mama tersenyum lembut.
“Mama yang minta maaf, malam-malam begini memintamu ke sini tapi ini amanat dari Vian,“ ucap mama membuatku mengernyit.
“Yuk ah, masuk, Mama sudah menyiapkan kamar buatmu.” Tarik mama dan menghelaku masuk ke dalam rumah yang sangat besar itu.
“Sini, Sayang.” T.arik mama saat aku mulai menaiki anak-anak tangga setelah tadi melewati ruang tamu yang begitu luas.
Aku jadi merasa bukan apa-apa melihat rumah yang begini besar dan indah. Keluarga Atmawijaya memang keluarga kaya, papa Vian sendiri pemilik beberapa rumah sakit besar di kota ini.
Mama membuka sebuah kamar yang berwarna putih bersih itu.
“Selamat datang di kamar Vian,” ucap mama menarikku masuk.
Kuamati seluruh ruangan itu, simpel. Sangat simpel dan rapi. Tak banyak ornamen berarti, hanya ada kasur
king size, lemari pakaian, meja belajar hanya itu.
“Sini Line, duduk.“ Mama mengajakku duduk di tepi tempat tidur.
Aku hanya menurut dan duduk di sebelah mama. Mama tersenyum dan mengusap rambutku dengan sayang.
“Mama bahagia, Line, kamu mau menerima Vian ...,” ucap mama membuatku tersipu malu.
“Ma ... tapi Aline dan Vian, jarak usia kami sangat jauh Ma? Mama tak masalah?“ tanyaku lirih.
“Ihh Aline ini, kenapa memang? Kau ini cantik, dan dua orang putra mama tergila-gila kepada Aline semua, tentu saja mama tak masalah.”
Deg deg deg.
“Maksud Mama?” tanyaku bingung.
Mama tersenyum, ”Mama tahu lagi, Line, dulu Ryan pernah curhat sama Mama, tentang gadis yang selama ini di cintainya, dan Vian juga curhat sama mama kalau dia mencintai wanita yang ternyata sama dengan masnya.” Aku melongo dan menatap kaget ke arah mama.
”Mama tahu semuanya?“ tanyaku benar-benar gugup.
Entah apa yang kurasakan kini.
“Yang penting kan salah satu dari mereka sudah mendapatkanmu, Line, jadi tak ada yang bergalau-galau ria lagi, menceritakan seorang Aline Prameswari kepada Mama, meski Mama tahu, Ryan juga belum menerima kalau kau menjadi adik iparnya, tapi mama yakin Ryan tahu apa yang terbaik buatnya.”
Cesssss hatiku benar-benar seperti disiram air dingin mendengar ucapan mama. Sekarang aku tahu sifat bijak Vian menurun dari mamanya.
“Sekarang tidur, ya, sudah malam,” ucap mama. Sebelum aku menjawab mama sudah mencium keningku dan berjalan pergi dari kamar.
Kurebahkan tubuhku di atas kasur, dan mencoba meringkuk di sini. Kasur yang biasa ditiduri oleh Vian, entah kenapa hatiku terasa menghangat dan membuatku nyaman.
Usapan halus di pipiku membuatku terbangun dan kudengar sayup-sayup suara adzan subuh membuatku membuka mataku.
“Line, bangun yuk, sholat, dan mandi lalu turun ke bawah ya, Mama menunggu.” Ucapan mama yang kini sudah duduk di tepi kasur membuatku bingung.
“Iya, Ma.” Tapi akhirnya aku menurut saja dan melakukan semua perintahnya. Dengan kilat setelah sholat aku mandi meski masih dingin. Kulihat di atas kasur sudah ada beberapa helai pakaian. Tadi mama sempat berteriak dari luar kamar mandi kalau ini baju yang harus kupakai.
Entah apa yang kupakai ini tapi segera kusambar jaketku karena tubuhku tiba-tiba menggigil karena hawa dingin dari AC kamar ini. Dasar orang kampung, tidur di kamar ber-AC membuatku kedinginan. Dengan cepat kulangkahkan kaki keluar dari kamar dan mencoba mengusap usap telapak tanganku karena masih dingin. Kulangkahkan kakiku menuruni tangga yang menghubungkan ke ruang keluarga.
Tapi saat kutapakkan kakiku di anak tangga terakhir tubuhku benar-benar membeku. Melihat sosok laki-laki yang kini sudah berdiri di depanku.
“Morning Aline,“ ucapnya membuatku terkesiap.
“Sudah siap?“ Ryan melangkah ke arahku.
Kulirik Mama yang baru saja keluar dari kamarnya dan mendekatiku.
“Aline, maaf ya Mama tak bilang kepadamu tadi malam ... pagi ini kau akan terbang ke Skotlandia dengan Ryan, harusnya Mama yang akan mengantarmu ke sana sekalian menjenguk Vian yang sakit, tapi Ryan akan ada seminar di Glasgow dan papa juga tak bisa Mama tinggal jadi Aline diantar Ryan, ya? Kasian Vian sudah merengekrengek katanya kangen dengan kamu,” ucapan mama tak dapat kucerna karena lututku benar-benar sudah lemas. Harus pergi hanya berdua dengan Ryan??? Tak salah???
“Tapi, Ma?” Ucapanku terpotong karena Ryan sudah menarikku.
“Line, kita harus ke bandara Adi sucipto dan terbang ke Jakarta lalu langsung Skotlandia. Kita tak ada waktu, Line. Ma, mas pamit, ya,“ ucap Ryan dan langsung menyeretku melangkah keluar rumah dan menuju mobilnya. Mama melambaikan tangannya.
“Mas jaga menantu Mama, loh,” ucapnya saat mobil melaju meninggalkan pekarangan rumah.
Kulirik Ryan kini dengan kesal.
“Ini ada apa sih kenapa aku seperti barang ditarik sana sini dan sekarang harus mengikutimu?”
Dia mengangkat bahunya dan kini mulai menarikku
ke arah loket, dan lagi-lagi menarikku dengan cepat untuk memasuki pintu yang akan menghubungkan dengan pesawat yang akan membawa kami ke Jakarta.
Entah sikap diamnya Ryan sejak semalam membuatku curiga.
Aku benar-benar kesal, tadi selama perjalanan ke bandara dia juga hanya diam dan kini saat aku sudah duduk manis di sebelahnya dia masih juga diam. Enak saja sudah memaksaku .
“Tidurlah lagi kalau masih mengantuk,” ucapnya menginterupsi lamunanku. Aku mendesah dan tak menjawab karena masih kesal.
Satu jam perjalanan dari Yogya ke Jakarta menguap begitu saja. Aku yang masih kesal dan Ryan yang lagi-lagi diam seribu bahasa.
Sampai mendarat, turun dan kini dia lagi-lagi menyeretku untuk melakukan check in untuk terbang ke Skotlandia. Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi bunda saat Ryan sibuk di loket. Tapi alangkah terkejutnya aku saat tahu bunda ternyata sudah tahu kalau aku pergi ke Skotlandia dan herannya bunda malah titip oleh-oleh keju khas negara kerajaan itu. Duh bunda ini, anak gadisnya diculik orang malah asyik pesan keju. Kumatikan teleponku dengan sebal. Kekesalanku sudah sampai ubun-ubun kalau begini.
“Line, ayo.“ Ryan memanggilku lagi dan menarikku lagi. Duh ini tangan dari tadi ditarik-tarik tak tahu apa situ masih dan masih memberikan efek yang sangat dalam kepada hati ini. Dasar Ryan tak peka.
“Waooowwwwwwww,“ pekikku terkejut saat masuk ke dalam maskapai penerbangan Emirate ini. Kutoleh ke arah Ryan, ”Ini tak salah? First class?”
Kulihat Ryan tersenyum, “Iya Aline, adik iparku Sayang, sudah kalau mau tidur ya tidur kau pasti mengantuk, lagipula tujuh belas jam kita di sini, nanti transit di Dubai selama tiga jam dulu baru langsung menuju Glasgow.“ Ryan menunjuk kasur yang sangat nyaman.
Aku masih benar-benar melongo melihat fasilitas yang ada. Dulu ke Singapura bersama Nadia, kami hanya berada di kelas ekonomi jadi duduk di bangku dengan 3 penumpang itu.
Pramugari menjelaskan beberapa intruksi kepadaku dan aku hanya ber owh owh saja. Ryan melirikku di seberang dan terkekeh geli. Dasar dia mengejekku rupanya. Huh biarlah kucoba menikmati fasilitas yang ada dan tak terasa aku terlelap. Saat kurasakan sebuah tepukan di pundakku aku baru tersadar.
“Sayang.“
“Sayang.“ Suara itu kembali menyeruak di antara telingaku menembus gendang telinga dan diproses melewati saraf-saraf motorik dan langsung diterima otak, membuat reflek mataku langsung terjaga.
Aku benar-benar terkejut saat menyadari hembusan napas seseorang menerpa wajahku hangat. Jantungku langsung bekerja ekstra. Saat aku sudah benar-benar tersadar dari tidurku, sepasang mata elang kini menatapku tajam lengkap dengan aroma tubuhnya yang khas sejak dulu.
Reflek kudorong tubuh Ryan yang tengah membungkuk di depanku,
“Kau mau apa?” ucapku tergagap.
“Sayang.“ Eh kutatap Ryan horor, tapi dia menyeringai dan tersenyum geli menatapku.
Suara itu tapi mulut Ryan tak mengatakan apapun.
Lalu Ryan menunjuk dengan tangannya ke arah telingaku.
Share this novel