Cerita Masa lalu 2

Action Completed 58672

"Aku tak pernah berpikir kalau mereka semua akan berakhir tragis seperti ini.." ucap Renata.

Trisya memandang sahabatnya itu. Ia masih terlihat sangat shock dengan berita yang ia terima beberapa jam lalu.

Rumah itu sudah sepi, tidak ada lagi orang lain selain mereka.

"Aku memang sakit hati dengan beberapa ucapan tante dan anak-anaknya, tapi aku tak pernah berpikir mereka akan meninggalkan aku dengan cara seperti ini".

"Aku belikan makanan.. pasti semua belum sempat makan kan?" Robby datang menghampiri.

"Aku tidak lapar," tolak Renata.

"Makanlah, Re.."

"Aku memang pernah berucap sangat membenci mereka, tapi bukan dengan kehilangan mereka seperti ini.." isak Renata.

"Aku suapi ya?" tawar Trisya.

"Kamu juga belum makan Trisya?" tanya Robby.

Trisya menggeleng.

"Makanlah.. Nanti kamu bisa sakit jika tidak makan".

"Kamu belum makan, Cia?" tanya Renata.

"Aku makan kalau kamu makan".

"Cia..." Renata langsung memeluk Trisya.

"Atau kamu mau makan apa? Biar om yang carikan.." tawar Richard.

"Tidak usah, om.. Biar makan apa yang sudah dibelikan Robby saja," Renata menghapus airmatanya.

"Papa dan om Arya juga belum makan," ucap Trisya.

"Ayo, makan sama-sama di lantai ini saja," ujar Arya.

"Ayo.." Richard setuju.

Beberapa saat kemudian..

"Papa dan om Arya duduk diluar ya?"

"Mau Cia buatkan kopi, Pa?"

"Boleh.." Richard berjalan keluar diikuti Arya.

"Aku ke belakang, kamu temani Rena.." Trisya melangkah ke dapur.

"Kenapa melamun lagi?" tanya Robby.

"Aku masih belum percaya semua ini.." Renata kembali menangis. "Sekarang benar-benar sebatang kara, Rob.."

"Masih ada kami semua yang akan menemanimu dan menjagamu".

Tangis Renata semakin pecah.

Robby perlahan mengulurkan tangannya memegang pundak Renata.

Tiba-tiba Renata menangis menjatuhkan diri dalam pelukan Robby, melepaskan tangisnya di dada lelaki itu.

Trisya melangkah masuk ke ruangan itu melihat Renata yang masih menangis dalam pelukan Robby.

Robby memandang Trisya yang menatap dengan dingin. Mencoba melepaskan pelukan Renata yang justru semakin erat memeluknya.

Trisya melangkah keluar, menemui Richard dan Arya.

"Maaf, Pa.. ternyata tidak ada gula. Tidak bisa membuat kopi".

"Tidak apa-apa".

"Cia ambil tas dulu, sudah sangat malam. Mama dan Tante Naia pasti masih menunggu di rumah".

"Kamu pulang?"

"Ya, harus istirahat. Besok pagi ada kelas".

"Papa pikir kamu akan disini menemani Rena".

"Ada Robby yang pasti lebih bisa menjaga Rena".

Trisya masuk tanpa menunggu jawaban Richard.

"Putrimu sedang tidak baik-baik saja," Arya mengingatkan.

"Aku pulang,"pamit Trisya.

"Lho, tidak menemani Rena?" tanya Robby sambil melepaskan pelukan Renata.

"Kamu saja.."

"Masa aku? Nanti apa kata orang?"

"Kalian kan berteman.. Besok aku kesini ya Re, maaf malam ini aku harus pulang. Masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Besok pagi harus ke kampus.. Nanti kalau ada apa-apa telpon saja ya?"

"Cia.."

"Bye.." Trisya melangkah meninggalkan ruangan itu.

"Cia mungkin merasa terganggu saat melihatku memelukmu. Maafkan aku Rob.."

"Tidak apa-apa, aku akan bicara dengannya".

"Pulanglah.. Aku sudah merasa lebih baik".

"Ok.." Robby segera keluar.

Melihat mobil Richard sudah meninggalkan pekarangan rumah Renata.

Segera ia naik ke motor dan memacunya menuju rumah Trisya.

Mobil Richard terlihat masih di halaman rumah Trisya.

Bergegas Robby menghampiri Trisya yang baru keluar dari mobil, menarik lengannya.

"Kamu kenapa kesini?" tanya Trisya. "Lepaskan!"

"Bang, izin bicara sebentar dengan Trisya.. sebentar saja," pinta Robby. "Janji tidak akan terjadi apapun. Aku tak akan berani melakukan apapun selagi abang dan bang Arya disini".

Richard hanya tersenyum tipis.

"Ok, 5 menit".

"Terimakasih bang.. Ayo," Robby menarik Trisya mengikutinya

Berhenti di bawah sebatang pohon yang tak jauh dari tempat Richard memarkir mobil.

"Kamu kenapa?"

"Tidak apa-apa?"

"Marah? Cemburu?"

"Kamu pikir kamu siapa hingga aku harus marah dan cemburu?"

"Pacarmu!" jawab Robby cepat.

Trisya tertawa.

"Pacar? Kapan aku bilang kalau kita pacaran?"

"Apa?"

"Sudah malam!"

"Tapi katamu ingin aku datang melamarmu?'"

"Aku hanya bercanda!"

"Aku tidak bercanda, Trisya!"

"Terserah".

"Trisya!" Robby menarik Lengan Trisya.

"Lepaskan! Papa bisa menghajarmu jika berani kasar padaku!"

"Aku tidak akan kasar padamu".

"Pulanglah!" usir Trisya.

"Aku tidak ada apa-apa dengan Renata. Dia hanya teman".

"Suka juga gak papa.."

"Hei, jangan seperti ini! Jangan bermain-main denganku! kamu benar benar membuat aku bingung, begitu acuh, tiba-tiba begitu mesra, lalu dingin.. Aku tak bisa menebak sikapmu!"

"Sudah 5 menit, kamu hanya diberi papa waktu 5 menit!"

"Aku tidak peduli! Dalam pertandingan saja ada babak pertambahan waktu saat seri".

"Pertandingan? Kau anggap aku ini sebuah pertandingan?"

"Kamu yang memulainya, Nona! Mengajakku bermain maka aku harus memenangkannya!"

Tiba-tiba Robby menarik Trisya dan diluar dugaan ia langsung mencium bibir Trisya.

Trisya awalnya menolak dengan mencoba mendorong tubuh Robby, namun ia teringat akan Arya yang masih berada di dalam mobil bersama Richard. Dipasrahkannya diri membiarkan lelaki itu menaklukkan dirinya dengan mengalungkan lengannya dipinggang Robby.

"Kau sudah gila!" ucap Trisya saat Robby melepaskan ciumannya. "Kau tahu papa dan om Arya masih disini".

"Kamu tidak menolakku".

"Kamu memaksaku!"

"Aku akan melamarmu, lihat.." Robby mengeluarkan sebuah box kecil.

"Apa ini?"

Robby membuka box itu sambil menunjukkan cincin di dalamnya.

"Wah.."

"Suka? Boleh aku memakaikannya untukmu?"

Trisya mengangguk.

Robby meraih jari Trisya dan menyematkan cincin itu di jari manisnya.

"Bukan cincin mahal, tapi kuharap bisa untuk meyakinkanmu kalau aku yang gajinya bahkan mungkin tak sebanyakmu ini serius ingin menjadi pendamping

hidupmu".

"Hei.. ini sudah lebih 5 menit!" panggil Richard. "Sudah 15 menit!"

"Papa pasti marah".

"Dia tidak marah, buktinya dia membiarkan waktu berjalan lebih dari yang ia berikan. Dan yang pasti dia membiarkan aku menaklukkan putrinya".

"Kamu memang gila!"

"Ayo," Robby menarik Trisya menghampiri mobil Richard.

"Pa.." Trisya menunjukkan cincin di jarinya. "Robby memberiku cincin ini.."

"Masuklah, Trisya.. Sudah malam".

"Aku bukan anak kecil.. Lihat, Om.. Cantikkan?"

Arya tersenyum.

"Selamat, Trisya ."

"Besok saja bicaranya. Trisya masuk".

"Masuklah.." kata Robby.

Trisya melambaikan tangan sebelum berjalan ke teras.

"Kamu pulang, Rob!" kata Richard.

"Iya.."

"Aku akan melihatmu pulang sebelum meninggalkan tempat ini".

"Galak sekali calon bapak mertua ku ini.." canda Robby.

"Kamu sudah berbuat asusila di dekat ayah perempuanmu," Arya tertawa.

"Masa mencium bibir pacar dianggap perbuatan asusila?" gerutu Robby.

"Akan jadi perbuatan asusila ketika setan menggiringmu untuk berbuat lebih jauh!" tukas Richard.

"Baik, aku pulang. Sampai jumpa besok bapak Mertua.. Yuk bang Arya.."

Robby segera memacu motornya meninggalkan tempat itu.

"Berani sekali dia menggoda anakku di depanku?"

Arya tertawa.

"Kenapa begitu sewot? khawatir dia akan mengambil putrimu yang baru beberapa waktu di dekatmu? Usia Trisya sudah sangat dewasa untuk menikah".

Richard memandang Trisya yang berdiri di teras.

"Kenapa keluar lagi? Masuklah, papa pulang.." pamit Richard.

"Pa.." panggil Trisya sambil berjalan menghampiri mobil Richard.

"Ada apa?"

"Boleh ikut pulang ke rumah Mama?"

"Apa?"

"Malam ini.. ingin tidur di rumah mama".

"Benarkah?"

"Tidak boleh?"

"Naiklah..Kita antar om Arya dulu".

"Terimakasih.." Trisya langsung masuk ke dalam mobil.

"Om, benar ya.. resepsi pernikahan kami nanti di hotel om, dan janjinya om akan berikan kamar terbaik," ucap Trisya.

Arya memandang Trisya dan tersenyum.

"Siap".

"Jadi salah satu saksi pernikahanku juga ya?"

"Siap, nona.."

Trisya tersenyum.

"Terimakasih, om Nuggie.."

"Nuggie?" Arya terkejut.

"Kenapa, om?"

"Tidak, merasa aneh saja dipanggil dengan nama itu".

"Tidak boleh memanggil dengan cara yang berbedakah?"

"tentu saja boleh.."

"Aku pikir dipanggil seperti itu mengingatkan om satu hal.."

Arya tertawa.

"Sial! Dia masih tidak ingat siapa aku meski aku memanggil dengan om Nuggie? Dia tidak ingatkah dulu pernah dipanggil seperti itu 17 tahun lalu? ayolah, Nugie. Kau tidak mungkin amnesia. Apa Naia sudah mencuci otakmu hingga lupa semuanya?"

Share this novel

Guest User
 

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience