BAB 4

Drama Completed 1787

Dada Sahudah sesak. Matanya mulai basah. Tenaganya telah terkuras. Dengan gerakan lemahnya, dengan sisa tenaganya, ia terus meronta. Tapi, kelima lelaki itu sungguh kuat untuk membopong seorang gadis belia ke dalam kereta , sampai-sampai jilbab putihnya pun terlepas.

“Lepas! Lepaskan aku!” teriak Sahudah , sambil meronta-ronta. Lintasan sekolah di benaknya membuat ia semakin meronta. Ia kini duduk tersiksa di deretan kedua kursi kereta . Dua lelaki sangar tak henti menggenggam lengannya, walau Sahudah sedang berpuasa. Keringat dingin bercampur darah merah segar mengalir di wajah putihnya. Sayatan merah terpampang melintang di pipi dan dahinya. Jarum jilbabnya menyayat wajah ayunya ketika balutan jilbab terlepas dari kepalanya. Air matanya makin meluap-luap. Lukanya sungguh perih ditimpa air mata hangatnya. Kini, ia tak bisa lagi membendung isak tangis dan kepahitan di hari yang disebut suci ini.

“Dasar binatang kalian! Lepaskan aku!” teriak Sahudah lagi, dengan mata indah yang menyala-nyala pedih. Qamar, si Puteri Ketua Adat, tak menoleh sedikit pun ke belakang. Pemuda kerempeng berambut kribo itu tersenyum begitu sinis tapi manis. Dirogohnya sebatang rokok kurus serta korek api di saku depan jeansnya yang kebesaran.

“Jalan!” katanya santai menginstruksi supir di sampingnya. Si Qamar mulai menghisap rokoknya dalam, lalu meniupnya angkuh ke atas. ”Tenang bae Sahudah yaqt merariq doang, Ariq” ujarnya. Dalam bahasa Indonesia, Qamar itu mengatakan, ”Tenang saja Sahudah , kita pasti meraiq, Dik!”

Tak segan-segan Sahudah meludahi lelaki yang duduk agak kiri di depannya tersebut.

”Sompret! Kau berani meludahiku, Sahudah ?” teriak Qamar menghempaskan rokoknya yang masih menyala membara. Dilemparnya sehelai handuk putih kumal cukup panjang ke arah kedua sekutunya yang masih saja memborgol lengan Sahudah erat dengan tangan mereka yang berurat kukuh. “Ayo, sumpal mulut Sahudah !” ujarnya mengerling Sahudah lalu tersenyum begitu sinis disusul melajunya kijang itu.

Di jembatan besar jalan raya itu, tampak ratusan kendaraan berhenti. Ratusan orang berkerumun dengan mimik ngeri di pagar besi jembatan. Orang-orang itu melihat ke bawah, melihat ratusan orang lainnya yang berdiri di bebatuan pinggir sungai, juga melihat puluhan orang lainnya berlalu-lalang mengangkut manusia-manusia yang telah gosong serta berlumuran darah merah kelam. Satu per satu, mereka dengan kondisi yang amat mengenaskan dikeluarkan dari kijang hangus yang terbalik di tengah air sungai yang mengalir kecil. Para manusia berbaju putih-putih itu mengangkut korban ke kereta putih – ambulans, yang parkir di pinggir jembatan, sepuluh meteran di atas sungai.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience