Suami Kak Denia dan Kak Denissa hanyalah benalu di rumahku. Maka dari itu Papa mempercayakan aku mengelola dan mengendalikan perusahan agar tidak ada orang yang merongrong serta penghianat dalam keluarga kami.
Kalaupun mereka perlu apa-apa semua atas persetujuanku. Bukan aku perhitungan, tetapi demi terkendalinya perusahaan. Aku tidak mau kecolongan lagi oleh suami-suami kakakku yang pernah korupsi.
"Bagaimana, Tante? Apa Tante setuju? Atau aku sama sekali tidak akan mencari perawat untuk Papa?" tanyaku mempertegas.
Terlihat Tante Kemala bingung, dia seperti sedang memikirkan sesuatu, di tariknya napas panjang dan mengeluarkannya perlahan.
"Baiklah, Destra.Tante izinkan kamu untuk menikahinya," jawabnya ragu.
Akhirnya Tante Kemala mengalah dan menyetujui, aku senang luar biasa. Satu tantangan sudah terlewati.
"Terima kasih, Tante." Ucapku dengan senyum mengembang.
"Tidak! Destra. Kakak tidak setuju kamu menikahi wanita itu. Kamu jangan gila! Bagaimana mungkin kamu bisa melakukan ini? Kalau memang mau menikah, menikahlah dengan gadis baik-baik. Bukan janda tua yang sudah punya anak cucu!" Seru Kak Denia tegas menentang.
"Benar, kata Kak Denia. Kamu adalah adik kami yang Papa andalkan. Kalau mau menikah, kamu tidak akan kekurangan gadis-gadis cantik yang berlomba ingin mendapatkanmu untuk kau jadikan istri." Timpal Kak Denisa.
"Kak Destra! Kita ini dari kelurga baik -baik dan terhormat. Bagaimana mungkin Kakak bisa melakukan ini? Kalaupun mau menikah, kenapa tidak menunggu Papa sampai sembuh? " sambung Devin nyaring.
"Keluarga baik-baik kamu bilang! Lalu, bagaimana dengan kelakuan Papa selama dalam hidupnya yang banyak mempermainkan wanita? Punya istri simpanan di mana -mana. Kalian tahu 'kan? Cuma almarhumah Mama yang sanggup bertahan, sedangkan yang lainnya hanya mau harta Papa dan semua meninggalkannya. Jangan-jangan ini semua juga akibat kelakuan Papa." Balasku sengit, karena ucapan Devin mampu menyulut emosiku.
"Cukup! Kak! Papa sekarang sedang sakit, tidak pantas Kakak bicara seperti itu." Deka menimpali dengan emosi.
"Kenapa?! Benar 'kan? Ini kenyataan." Balasku tidak kalah sama emosinya.
"Sudah! Sudah ... kalian tidak usah ribut." Timpal Tente Kemala menengahi. Kami semua terdiam.
Ada rasa kesal dengan kelakuan Papa di masa muda dan sehatnya. Banyak wanita yang menjadi korbannya karena tergoda dengan ketampanan serta bujuk rayu dan ketika Papa sakit mereka malah meninggalkannya.
"Kalau begitu terserah kamu saja, Destra. Kakak hanya mengingatkan. Kamu bukan anak kecil lagi, kamu sudah bisa memilih mana yang baik dan tidak." Ucap Kak Denia melemah.
"Destra, kami sebagai kakak-kakakmu hanya ingin yang terbaik buat kamu. Kami tidak mau kamu menyesal nanti." timpal Kak Denissa.
"Destra, karena ini sudah menjadi keputusanmu. Tante tidak akan menghalangimu lagi. Kalau menurutmu yang terbaik, silakan." Ucap Tante Kemala.
"Tapi Kakak jangan menyesal kalau nanti ada apa-apa dan jangan libatkan kami." Pesan Devin tegas.
Akhirnya setelah berdiskusi cukup panjang aku bisa menarik napas lega. Sekarang tinggal bagaimana meluluhkan hati Widuri? Wanita yang sudah mencuri hatiku dengan begitu mudahnya.
Padahal, tidak sedikit wanita mengejarku, tetapi tidak ada satu pun yang berhasil meluluhkan hatiku.
Aku yang tidak terlepas dari omongan negatif dari orang-orang. Mereka bilang aku playboy, mata keranjang dan suka mempermainkan wanita yang menurun dari sifat Papa.
Mereka selalu menyangkut pautkan aku dengan kelakuan Papa yang punya banyak wanita simpanan dan suka kawin cerai.
Aku bukanlah Papa yang mau mewariskan setigma buruknya. Aku ingin menghargai wanita seperti layaknya menghargai Mama.
Sungguh hal yang luar biasa ketika aku bertemu dengan Widuri bisa semudah itu jatuh cinta. Aku sendiri tidak habis pikir. Jelas-jelas usia kami terpaut sangat jauh. Pesonanya memang luar biasa.
"Kapan kamu mau memperkenalkan kami sama wanita itu, Destra? Siapa namanya?" tanya Tante Kemala.
"Secepatnya, Tante. Namanya Widuri. Nama lengkapnya Widuri Astari." Jawabku.
"Pekerjaannya?" Tante Kemala kembali bertanya.
"Itu tidak penting, kenapa Tante bertanya soal pekerjaanya? Bukankah seorang wanita ketika menikah tidak harus bekerja?" Tanyaku heran.
"Iya, itu memang benar. Maksud Tante, bagaimana dengan pekerjaannya kalau dia menikah lalu kamu bawa dia ke rumah ini? " tanya Tante Kemala.
"Aku belum bertanya sejauh itu, Tante." jawabku.
"Jangan tunggu lebih lama lagi, Destra. Kasihan Papa." pesan Kak Denia tidak sabar.
"Iya Kak," jawabku.
Kembali kami terdiam. Ada rasa marah kala teringat dengan perlakuan istri muda Papa. Dia pergi meninggalkan Papa ketika sedang koma.
Kalau saja dia masih ada bersama kami, mungkin keadaannya tidak akan seperti ini. Ketika semua anak-anak Papa berkumpul dan khawatir dengan kondisi beliau ,dia malah memilih meniggalkan Papa dengan pria lain. Sungguh itu pukulan berat bagi keluargaku.
"Destra, kok kamu malah melamun, apa kamu telah berubah pikirkan untuk tidak menikahi wanita itu?" tanya Kak Denia membuyarkan lamunanku."
"Tidak Kok, Kak. Aku tetap mau menikahi Widuri."
"Jadi, kapan kamu mau membawa dia kemari." Tanya Tante Kemala
"Belum tahu, Tante. Ini sedang aku pikirkan bagaimana caranya biar dia mau menikah denganku?"Jawabku sedikit pusing.
"Lho, kamu ini gimana? Ya, kalau kamu serius pasti tahu caranya." ucap Kak Denissa.
Sejenak aku berpikir untuk mencari cara supaya Widuri mau menerimaku.
"Kalian juga bantu aku mikir, Kak, Devin, Deka." Pintaku kepada kakak dan kedua adikku.
"Ogah, ngapain kami harus mikir, Kak? Yang mau kawin 'kan Kakak." Balas Devin.
"Iya, tuh, pikirin aja sendiri. Kenapa juga harus kita? Kak Devin, ayok kita pergi." Balas Deka yang ikut-ikutan dengan mengajak Devin pergi ke kamarnya.
"Ich, kalian begitu sama Kakak sendiri. Awas ya." Balasku dengan mata mengiringi langkah Devin dan Deka. Mereka berdua memang selalu besama -sama.
"Bagaimana, Destra? Apa yang kamu rencanakan untuk menikahi Widuri? Bagaimana kalau dia kembali menolak. Tante Kemala bertanya.
"Belum tahu, Tante. Nanti aku pikirkan dulu. Begini saja Tante, aku punya ide. Tante, juga yang lainnya harus membantuku. Lusa aku akan membawa Widuri dan orang tuanya ke sini. Tante dan yang lainnya tinggal menyiapkan semunya. Jadi, kita punya waktu dua hari, semoga rencana ini bisa berhasil." Balasku, sambil menceritakan menyusun rencanaku kepada mereka.
"Kamu yakin dengan cara itu akan berhasil?" tanya Kak Denia.
"Aku yakin, Kak. Sekarang aku permisi mau ke kamar untuk menghubungi Widuri."
Tanpa menunggu jawaban Tante Kemala dan kedua kakaku, aku melangkah dengan hati luar biasa senang. Meninggalkan mereka yang sibuk dengan rencaku dan pikiran akan keputusanku menikahi Widuri.
Setelah di kamar aku segera membuka baju dan melemparnya ke tempat tidur, lalu duduk di tepi ranjang sambil memikirkan rencana selanjutnya.
Share this novel