Welcome to the world of imaging

Drama Series 387

-Selamat datang di dunia penuh pencitraan,  dimana penampilan, prestasi dan kekayaan adalah hal utama-

Seperti permainan waktu yang tiba-tiba dihentikan, semua orang di kantin menghentikan aktivitasnya dan lebih tertarik melihat aku dan Kalvin yang duduk di meja terlarang. Termasuk teman sebangkuku-Cilla.

Aku yang sadar akan tatapan banyak mata memilih menyembunyikan wajahku ke arah Kalvin. Tanpa mempedulikan sekeliling,  Kalvin dengan santainya melahap roti bakar milik ku.

"Vin," kata ku pelan yang ingin menyadarkan Kalvin bahwa kami sekarang di posisi yang tidak tepat.

Kalvin yang melihatku gusar di hadapannya,  menegur ku sambil menyuapkan roti bekas gigitannya ke mulut ku "Malah bengong,  ini makan!"

Ingin ku menampar Kalvin di saat itu juga,  agar dia sadar. Apa daya gak mungkin aku lakuin itu. Aku hanya bisa melototi Kalvin mengisyaratkan agar dia melihat sekeliling kami.

Mengerti akan arti pelototan mata ku,Kalvin melihat seisi kantin. Kalvin terkekeh sesaat kemudian menatap ku sambil tersenyum seperti tidak ada hal yang aneh, dia kembali melahap roti yang dia pegang.

Suasana keramaian kantin kembali seperti semula. Seolah saat Kalvin melihat seisi kantin adalah tombol menekan waktu agar kembali seperti semula. Entah sejak kapan keakraban kami kembali ada. Tetapi suasana ini berjalan begitu saja.

"Lo kenapa?" tanya Kalvin.

"Gue gak nyaman ada di sini," ucap ku terus terang.

"Cuekin aja,  nih makan. Gue mau beli minuman dulu." Kalvin menyodorkan kotak makan milikku yang direbutnya dan pergi menuju salah satu penjual minuman di kantin.  Dia kembali membawa dua botol air mineral.

Bangku anak famous pun lama-kelamaan penuh dengan penghuninya. Hilir mudik mereka datang satu persatu dan pergi juga satu persatu,  termasuk kakak Kalvin si Bagas. Kak Bagas duduk bersama Kak Silvia di bangku pojokkan depan penjual Bakmie. Mereka berdua memperhatikan kami.

"Vin,  Bagas itu kakak lo?" tanya ku setelah melihat ke arah Bagas dan Silvia.

"Kenapa?  Lo suka sama dia?" dia lebih memilih balik bertanya kepada ku dari pada menjawab iya atau bukan.

"Gak! Masalahnya kalian gak mirip," jawab ku.

"Oh ya? Baru lo aja yang bilang gue gak mirip si Bagas." ucap Kalvin senang.

"Dari segi wajah sekilas mirip,  cuman perilakunya gak mirip."

"Jadi apa yang  menurut lo antara gue dan Bagas itu beda?" tanya Kalvin yang sekarang bersikap sebagai pendengar setia.

"Kakak lo lebih ramah,  murah senyum,  baik sepertinya. Sedangkan lo dari dulu dingin,  mudah emosi, meskipun lo terkadang lucu," ucapan ku kali ini membuat Kalvin tiba-tiba ketus. Sepertinya ucapan ku ada yang salah,  atau memang dia yang sekarang berubah menjadi super sensitif.

"Lo belum kenal sama dia,  jadi bisa berucap kayak gitu. Terkadang lo jangan kelewat polos.  Menilai orang jangan cuman dari covernya. Masuk di dalamnya biar lo tau gue siapa, dia juga siapa!"

Kalvin mengambil botol mineral miliknya kemudian meninggalka ku.

Aku yang merasa bersalah berucap seperti itu,  segera berlari menuju Kalvin. "Vin, gue mau ngomong."
Usaha ku menghentikan langkah kaki Kalvin sedikit cepat gak berhasil. Dia mengacuhkan ku. 

"Vin,  gue serius. Gue mau ngomong," usaha ku kali ini sepertinya berhasil. Langkah kaki Kalvin yang awalnya sedikit cepat sekarang mulai melambat.  Tetap dalam langkahnya yang mulai stabil,  dia melihat ke arah ku.

"Tapi gak di sini," ucap ku.

Langkah kaki Kalvin sekarang terhenti, dia memberikan botol air mineralnya kepada ku dan berucap, "yaudah sepulang sekolah,  gue tunggu di lapangan basket. Bel masuk sekolah habis ini berbunyi, sono balik ke kelas lo."

Baru saja dia mengingatkanku untuk kembali ke kelas, sedetik kemudian bunyi bel masuk kelas berbunyi. Kami masing-masing kembali ke kelas. Aku duduk di bangkuku di ikuti Cilla yang baru aku sadari mengikutiku sejak aku pergi dari kantin.

Cilla gak ngucapin satu kata pun. Dia memasang wajah jutek kepadaku. Lantas aku yang diperlakukan seperti itu tidak nyaman sama sekali. Aku menyiapkan buku tulis untuk pelajaran selanjutnya karena memang kami belum memiliki buku pegangan disetiap mata pelajaran. Pelajaranpun dimulai dengan berkenalan dengan teori dasar atau mengulang pembelajaran di masa SMP.

Aku yang semakin merasa gak nyaman akan sikap Cilla yang membisu memilih membuka pembicaraan. Karena aku juga merasa salah,  dia menungguku di kantin malah aku memilih bersama Kalvin.

"Cill, maaf ya."

"Maaf buat apa?" tanya Cilla ketus.

"Maaf gue tadi di seret Kalvin,  karena memang ada hal yang perlu di omongin," jawabku canggung.

"Udah jujur aja deh Ar,  sebenarnya ada hubungan apa antara kalian berdua?" tanya Cilla lagi. Apa sekarang waktu yang tepat untuk membuka kisah lamaku pada Cilla? Menurutku belum saatnya. Kondisi sekarang Cilla sedang mengagumi Kalvin. Jika dia tau tentang hubungan kami yang dulu,  Cilla pasti marah besar.

"Gak ada,  cuman kita lagi akrab aja. Dan kebetulan kita ada urusan." ucapku dengan wajah seolah-olah meyakinkan.

"kalau gitu kasih tau gue urusan kalian apa?" tanya Cilla mencari kebenaran.

"Itu rahasia Cill, maaf gue gak bisa kasih tau."

Aku minta maaf Cill,  gak semua privasiku bisa aku buka seenaknya. Semoga kamu mengerti jika aku sudah siap memberi tau mu. Aku memilih untuk diam. Cilla pun sama dia sibuk bermain smartphone selama menunggu guru masuk ke kelas.  Hingga pelajaran selesai Cilla tidak berkata apapun,  dia mengambil tasnya kemudian pergi meninggalkan kelas.

Aku mengerti perasaan cilla pasti kecewa denganku. Tapi aku belum ingin menceritakannya. Aku berjalan ke luar kelas sendiri. Aku melihat Kalvin di tengah-tengah lapangan basket bersama teman-temannya dari depan kelasku. Gak begitu ramai kondisi sekolah setelah bel pulang sekolah berbunyi. 

Kakak Kalvin juga ada di lapangan bersama senior yang lain. Bedanya kelompok Kak Bagas berada di pinggiran lapangan duduk di kursi bawah pohon.

Lokasi lapangan basket sekolahku berada di tengah dari semua kelas. Lapangan ini di kelilingi kelas-kelas yang membentuk huruf O. Jadi keluar dari pintu kelas siswa langsung disodorkan lapangan basket. Ini juga mempermuda kami jika ada perlombaan basket. SMA gemilang memang terkenal akan prestasi perlombaan Basket antar sekolah.  Salah satu pemain terbaiknya yaitu Kak Bagas.

Aku memutuskan menunggu di pinggiran lapangan tepat di depan kelasku.  Berteduh di bawah pohon karena hari ini panas sekali. 

Kalvin yang sadar akan kehadiranku di pinggiran lapangan kemudian berpamitan kepada teman-temamnya. Kalvin berjalan ke arahku.

Kalvin tersenyum ke arahku. "Udah dari tadi di sini?"

"Gak."

"Jadi,  mau ngomong dimana?" tanya Kalvin lagi.

"Emm...." aku menunduk dan menyibukkan tanganku untuk menutupi kegugupanku. Dalam hati aku mengumpat 'kenapa sih di saat begini aku bertingkah koyol dan lupa mau ngomong apa.'

Bersama dengan itu, aku mendengar Kalvin berbicara, "Yaudah ikut gue aja. Gue tau tempat yang cocok buat ngomong berdua."

Tanganku mematung mendengar ajakan Kalvin.  Tangan Kalvin kemudian menggandeng tanganku menariknya menyuruhku mengikuti dimana dia akan pergi. Jantungku berdetak kencang.  Perasaan ini kembali muncul setelah sekian lama. Jantungku berdetak kencang seperti dentuman drum.  Aku memandangnya dari belakang.

Laki-laki ini dulu selalu memegang tanganku begini. Jika aku menolak di genggam tanganya dia selalu bilang 'biar gue jagain lo'

Tanpa dapat dicegah,  aku berbunga-bungan dan menciptakan senyuman manis meskipun Kalvin gak akan tau perasaanku sekarang ini.

Beberapa pasang mata melihat kebersamaan kami. Ada yang berbisik iri kepada temannya,  ada juga yang menatapku iri,  dan ada juga yang masa bodoh dengan kehadiran kami kemudian pergi meninggalkan sekolah bersama dengan motor sport milik Kalvin.

Setelah sampai di  taman kota dekat sekolah, Kalvin mengajakku duduk di bangku taman. Tanpa aku memulai pembicaraan terlebih dahulu,  Kalvin membukanya tidak sabaran.

"Lo mau ngomong apa?" mata kami saling bertemu,  disaat itu juga aku kembali gugup.

"Eh.. mm.. i-iya." Aku gelagapan menjawab pertanyaan akibat sepasang mata itu menatapku penuh pertanyaan. Wajahku kontan bercucuran keringat meskipun tidak banyak.

Akhirnya aku memberanikan diri untuk berucap sesuatu, "g-gue cuman pengen nanya,  kenapa lo tiba-tiba baikin gue lagi?"

Mendengarkan ucapanku, Kalvin terkekeh seperti ada hal yang lucu. Aku mengerucutkan bibir sambil mencubit tangannya melihat respon Kalvin.

"Gue pengen balikan lagi sama lo."

Aku mendongak cepat setelah mendengar ucapan Kalvin. Belum sempat aku bereaksi lebih bodoh alias salting,  Kalvin berucap kembali.

"Bercanda,  gue cuman pengen baikan sama lo. Udah lama kita diem-dieman gak jelas. Ketemu lagi di sekolah baru seenggaknya suasananya juga baru. Capek diem-dieman mulu,  apalagi kucing-kucingan biar gak ketemu lo," terang Kalvin.

"Lo aneh,  dulu minta gue pura-pura gak ngenalin lo.  Sekarang lo baikin gue lagi. Apa lo bakalan minta gue pura-pura lagi akhirnya?" tanyaku lagi.

"Insyallah gak. Dulu gue janji sama lo buat jadi kakak lo yang lama-lama jadi suka. Eh gue langgar. Sekarang gue mau nebus janji gue lagi. Kita juga udah besar,  mengaku salah dan memperbaikinya itu lebih baikkan?" jawab Kalvin dilanjutkan dengan melontarkan pertanyaan kepadaku.

Kini aku harus bernapas lega mendengar jawaban Kalvin yang awalnya bikin aku tercengang. Akupun merasakan hal yang sama yaitu lelah tidak saling kenal padahal dulu lebih dari dekat.

Tanpa berkata apapun,  aku tersenyum mendengar hal yang baik ini. "Lo tau gak bangku yang kita duduki di kantin itu bangku apa?" tanyaku basah basih, melupakan topik pembicaraan pertama agar suasananya lebih friendly.

"Emang bangku apa?" Kalvin balik bertanya.

"Oh,  jadi gak tau ya.  Awalnya juga gue gak tau,  pas OSPEK temen gue yang super kepo dan nyinyir ngasih tau gue kalau itu bangku untuk artis sekolah. Dan itu ada batasan daerahnya loh," jawabku sepertinya terlalu berlebihan.

"Oh..." kata Kalvin sambil kepalanya manggut-manggut.  Kalvin mengubah posisi duduknya yang sekarang jadi menyandar pada bangku taman. Kedua tangannya diangkat kemudian digunakannya sebagai tumpuhan kepala.

"Tapi sebenarnya gue udah tau. bangku-bangku anak berprestasi,  punya penampilan yang di akui dan untuk orang-orang kaya. Tapi gue bodoh amat tuh," ucapnya melanjutkan kata 'Oh'.

"Terus-terus,  lo dudukin aja gitu?" tanyaku antusia setelah mendengar pernyataan Kalvin.

"Emang gue duduk ditempat yang gue suka itu salah?" Kalvin lagi-lagi bukannya menjawab malah memberi pertanyaan balik.

Aku diam sejenak,  kemudian aku menggeleng-gelenglan kepala tidak menyalakan tindakan Kalvin.

"Sekarang gue tanya sama lo. Pas kita duduk tadi,  adakah yang marahin kita berdua?  Atau ngusir kita?" tanya Kalvin lagi.

"Gak ada," jawabku.

Memang benar,  tidak ada yang memarahi aku dan Kalvin apalagi ngusir mereka bahkan diam saja. "Tapi mereka semua menatap ke arah kita, Vin. Tatapan mereka bahkan menakutkan.  Kayak mau menerkam dan ngasih tau kita kalau berani banget lu duduk di situ," aku melanjutkan jawabanku.

"Lo takut?  Kalau lo takut lo lemah!" Kalvin merubah posisi duduknya lagi yang sekarang menghadap ke arahku.

"Lo gak perlu takut.  Bahkan bangku itu disediakan buat kita semua. Kalau yang lo sebut artis-artis sekolah itu bawa meja dan kursinya sendiri untuk di kantin atau mereka yang beli baru lo gak boleh duduk di sana. Mereka cuman natap kita,  cuekin aja. Kalau lo gak berbuat salah ngapain lo takut. Kalau pun lo buat salah yaudah pura-pura gak buat salah dari pada di ketawain," ucap Kalvin sambil terkekeh.

'Bener juga yang dikatakan Kalvin. Ngapain gue takut.  Mereka siapa coba' batinku dalam hati.

Kalvin merangkul bahuku kemudian berkata lagi, "gue ingetin ke lo aja. Jangan menyusahkan diri sendiri.  Apa kata orang lupain aja. Pura-pura pasang kapas terus lo pergi yang jauh kek gini nih,"

Kalvin memperagakan saat memasang kapas tanpa ada kapas di telinganya. Kemudian dia berlari meninggalkanku sambil tertawa.

"AYO PULANG,  UDAH SORE!" teriaknya yang iseng meninggalkanku di bangku taman.

"Kalvinnnnnn,  rese' tungguin gue," akupun menyusul Kalvin.

Aku merasakan hadir Kalvin semakin nampak. Aku merindukan keadaan seperti ini. Saat kamu bisa menjadi penguatku,  menjadi tumpuanku,  menjadi teman sepermainanku bahkan menjadi cinta monyetku. Satu setengah tahun yang lalu aku merasa sepi. Meski ada satu sahabat yang tulus berteman denganku,  aku merasa ada sosok yang hilang. Hitungan satu tahun bersama itu memang waktu yang sedikit untuk bersama,  tetapi bersama kamu itu aku merasa waktu sangat lama sehingga aku terbiasa bersama mu. Saat berpisah itu baru yang dikatakan waktu kita sedikit sekali.

Kau tau Kalvin meskipun aku gak paham kenapa kamu berkata 'anggap saja kita gak pernah kenal' dan menyudahi hubungan kita yang dulu tetapi aku merasa terluka. Otomatis aku kehilangan sosok kakak, teman dan kekasih. Lebay?  Iya lebay, tapi dengan posisi aku anak tunggal aku merasakan kamu menjadi berbagai figur itu. 

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience