BAB 13
“Yan, aku bawakan fish and chip, kau belum makan kan?” Aku mencoba mendekatinya yang saat ini terlihat berbeda. Tak ada senyum manisnya setiap kali melihatku seperti biasanya. Bisa kubayangkan betapa kecewanya dia saat aku nekat pergi berdua dengan Ryan walau dia awalnya tak mengizinkanku.
“Aku puasa,” jawabnya datar tanpa menoleh dari bukunya dan tak mau melihatku.
Sabar Line, sabar. Aku tahu dia merajuk. Kujatuhkan tubuhku di sofa di depannya sambil meluruskan kakiku yang terasa pegal setelah lama berjalan tadi.
“Owh puasa? Puasa apa?” Aku mencoba memancing pembicaraan di antara kami, aku tahu dia kecewa denganku.
Uh Aline, kau memang bodoh.
Akhirnya dia mengangkat wajahnya dan menatapku.
“Mbak Aline sholat duhur dulu sana,” perintahnya yang sukses membuatku menatap jam di tangan.
“Owh sudah masuk sholat duhur, ya?” tanyaku kaku. Vian hanya mengangguk dan kembali menekuri buku di depannya.
Aihh ada apa dengannya hari ini? Iya aku memang salah tapi dia tak boleh begitu dong. Aiihhhhh pusing pusing.
Beberapa menit aku masih berdiam diri di depannya tapi dia tetap bergeming, asyik dengan bukunya itu. Ingin aku protes tapi teringat dia sedang puasa akhirnya kuangkat tubuh untuk berjalan menuju kamar. Biarlah, aku akan mandi dan sholat terlebih dahulu, mendinginkan otak yang terasa panas ini.
Kuseret langkah menuju kamar, segera mengambil handuk dan melangkah ke arah travel bag yang dibawa Ryan kemarin. Aku memang belum membuka isinya, hanya tadi pagi menarik asal sebuah gaun yang kali ini kupakai. Mama memang membawakanku beberapa pakaian yang entah apa itu.
Kubuka travel bag itu tapi astaga aku ternganga saat melihat apa yang ada kutemukan. Ini tak salah? Kenapa isinya hanya lingerie dan juga berbagai jenis gaun yang berpotongan seksi begini? Mama tak tahu apa di sini udara sangat dingin dan aku harus memakai semua ini. Aishh mertuaku itu memang membuatku pusing. Kututup dengan kesal koper itu, ragu aku melangkah ke arah lemari pakaian milik Vian. Kubuka dengan cepat dan memilih secara acak apapun itu yang penting bukan gaun seksi atau lingerie kurang bahan itu.
Kutarik saja kemeja putih besar dari lemari Vian dan memilih celana piyama yang tampak kebesaran juga tapi yah bisa aku akali.
Dengan cepat aku keluar dari kamar dan melangkah ke kamar mandi. Vian masih duduk di sana dan masih asyik dengan bukunya. Hari ini Vian benar-benar tak mengacuhkanku.
Setelah berendam air hangat di dalam bath up yang tersedia tubuhku mulai rileks. Aku pakai kemeja milik Vian yang sukses menenggelamkan tubuhku ini, dan juga celana piyama panjang yang kedodoran kupakai ini. Untuk mengakalinya aku beri jepit di salah satu sisi celana dari jepit rambutku.
Segera aku keluar dari kamar mandi dan kini tak kudapati Vian ada di tempatnya semula. Aku menghela napas dan beranjak ke kamar. Biarlah mungkin Vian butuh waktu. Segera kutunaikan kewajibanku sholat duhur, tapi sebuah celetukan membuatku terkejut saat aku telah menggunakan mukena.
“Sudah memasuki waktu ashar, Mbak,” ucap Vian yang ternyata sudah berada di sampingku masih dan masih dengan muka datarnya.
“Owh iyakah?’ tanyaku malu.
Vian hanya mengangguk dan berlalu pergi
Aih irit sekali hari ini dia ...
Bingung apa yang akan kulakukan setelah sholat, aku putuskan melangkah ke arah balkon yang berada di dalam kamar ini, yang aku baru sadari saat ini. Kugeser pintu geser yang ada di depanku dan sebuah pemandangan balkon yang indah tertanam di mataku. Di sana ada sebuah sofa lingkar berwarna merah yang nyaman. Membuatku ingin menjatuhkan tubuhku di sana, aku bergelung di atas sofa empuk itu.
Masih terngiang dengan jelas ucapan Ryan tadi,
”Aku akan terus mengganggumu kalau kau belum hamil dengan Vian, Line,” ucapnya membuatku gerah.
Hamil ... Vian ...
Hamil ...
Vian ...
“Ahhhhhhhhhh!“ Seketika aku menjerit, dan tiba-tiba membuka mataku, aihhh rupanya aku tertidur di balkon. Hawa dingin mulai menyeruak membuatku segera beranjak dari sofa dan segera masuk ke dalam kamar.
Suara sayup-sayup adzan maghrib dari aplikasi jam yang berdiri di atas nakas membuatku teringat, Vian kan puasa dan dia pasti sedang berbuka.
Aku berlari keluar dari kamar dan mendapati Vian telah meneguk air putih dari kulkas.
“Ehm aku buatkan teh hangat, ya,” ucapku mendekatinya.
Tapi tak ada reaksi darinya, dia masih berdiri mematung dengan botol air dingin berada di tangannya.
Aku mencoba mencari cangkir, teh dan juga air hangat yang langsung aku temukan. Ini pasti penataan Sonia mengingat Vian tak mungkin melakukan ini.
Saat aku selesai membuat teh, Vian tengah bersedekap di depanku dengan tubuh menyandar di pinggiran meja pantri.
“Nih diminum!” perintahku dan meletakkan cangkir teh di meja di belakangnya.
Vian masih terdiam dan menatapku tajam. Aih aku
jadi kikuk dan serba salah.
“Mau aku masakan apa? Ada bahan makanan kan, ya?” ucapku untuk mencairkan suasana.
Tapi Vian masih terdiam dengan wajah datarnya. Aduh dia benar-benar marah, ya?
“Aku masakan omlet saja, ya?” ucapku untuk mengurangi ketegangan yang ada dan mulai melangkah ke arah kulkas dan membukanya. Aku menatap takjub isi di dalamnya, hampir isinya penuh dengan sayuran, telur, daging dan bahan makanan lainnya.
Kuambil 2 butir telur, dan juga beberapa sayuran. Vian masih bergeming dari tempatnya. Sejenak Vian menyesap teh yang kubuatkan.
Kuambil teflon yang ada di atas meja dan kubawa ke atas kompor. Tapi kemudian tubuhku benar-benar menegang saat merasakan tubuhku menghangat.
Vian mendekapku dari belakang, memeluk pinggangku dan mengecup tengkukku yang membuat tubuhku meremang dan ada gelenyar panas mengaliri liran darahku.
“Yan,” ucapku gugup karena baru sekarang aku dan dia melakukan kontak fisik.
Kurasakan Vian mengecupi leher dan tengkukku yang membuat kakiku terasa lemas.
“Mbak, jangan pernah tinggalkan aku lagi, jangan pernah bilang akan pergi dari hidupku dan jangan pernah lagi pergi berdua dengan mas Ryan. Aku tersiksa, Mbak,” ucapnya membuatku merasa makin bersalah atas apa yang kulakukan tadi.
Aku jadi seperti istri yang berselingkuh dari suamiku.
Aku masih diam membeku, dan Vian pun masih memelukku erat. Takut kalau aku benar-benar akan pergi lagi.
“Yan lepaskan, aku tak bisa bernapas,” ucapku membuat Vian kini melepaskan pelukannya tapi kemudian membalikkan tubuhku dengan cepat dan membuatku menghadap ke arahnya.
Kurasakan dahinya menempel di keningku. Aku membeku merasakan napas hangatnya menerpa wajahku. Harum tubuhnya yang khas menguar di antara penciumanku. Jantungku berdetak lebih kencang saat ini. Entah apa ini, perlakuannya benar-benar membuat otakku membeku.
“Saranghae,“ bisiknya lalu melepaskan pelukannya membuatku mengernyit.
Tapi kemudian kudengar tawanya berderai membuatku makin mengernyit.
“Aku pintar bahasa korea kan, Sayang?” ucapnya membuatku tersadar, dia baru saja mengucapkan i love you dengan bahasa Korea. Aiihh dia tahu saja kalau aku penyuka drama korea.
Tiba-tiba kurasakan pipiku memanas membuat Vian mengangkat satu alisnya.
Kututupi pipiku dengan kedua tanganku. Malu benar-benar malu saat ini bocah ini membuatku tak bisa berkutik.
“Ehmm, Sayang merindukanku, ya? Sampai bajuku kau pakai?” ucapnya telak membuatku tersadar aku masih memakai piyama dan kemeja kedodoran miliknya.
“Ihhh siapa coba, aku tak bawa baju dan mama membawakanku ... aih tak usah disebut,“ ucapku malu.
“Lingerie?” jawabnya membuatku menatapnya kaget.
“Kau tahu?” pekikku,
Vian tertawa lagi dan kali ini lebih keras hingga membuatnya memegangi perutnya.
“Sayang, yang berwarna ungu bagus juga, kok,” ucapnya menggodaku.
“Dasar bocah mesum.” Aku maju ke arahnya dan mencubit perutnya. Ia meringis kesakitan tapi kemudian menggenggam jemariku.
“Sayang, tadi apa keputusanmu dengan Ryan?”
ucapnya membuatku kini menatap wajahnya.
Matanya menatapku tajam menenggelamkanku ke dalam manik matanya yang berwarna cokelat itu.
“Dia, ehmm dia ....” Aku ragu untuk mengucapkannya.
Vian mengerutkan keningnya, lalu mengatupkan gerahamnya.
“Jangan bilang dia masih ingin mengganggumu?” ucapnya tepat sasaran.
Kutelan ludahku susah payah.
“Cinta, jawab!” ucapnya tak sabar.
Share this novel