Bab 12

Romance Completed 25593

BAB 12

“Siap?” Suara Ryan mengagetkanku dari lamunan. Aku hanya mengangguk kecil. Aku kini sudah rapi dan bersiap untuk pergi dengan Ryan. Setelah menangis tadi, Vian hanya berpamit untuk ke kampus. Dia hanya mencium keningku sekilas dan berpesan agar aku tak lupa makan. Aku tahu dia terluka tapi aku harus melakukan ini untuk membebaskan belenggu hati selama ini.

Ryan mengajakku naik kereta. Katanya hari ini dia akan mengajakku berkeliling Glasgow, aku hanya menurut saja meski agak canggung dengan kedekatan kami ini tapi aku harus mengubah semua perasaanku dan kini harus benar-benar menganggapnya saudara. Iya sebenarnya aku hanya menggertak Vian semalam, aku tak mungkin melepaskannya meski aku belum mencintainya tapi aku juga perlu merasakan kebersamaanku dengan Ryan untuk mengubah semuanya, mengubah rasa yang telah bersemayam lama dan mengendap di hatiku.

Tak berapa lama kereta kami telah sampai di stasiun QUEEN STREET. Ryan mengajakku berjalan menuju alun-alun cantik di tengah kota Glasgow yang bernama George Square. Itu katanya, aku hanya ber-owh owh saja mendengar penjelasannya.

Tapi tak bisa kumungkiri alun-alun ini sangat cantik dan dikelilingi sejumlah bangunan klasik berdinding batu berwarna cokelat/abu-abu dengan arsitektur yang menawan. Di tengah alun-alun berdiri menjulang tugu berukuran 24 meter dengan patung Sir Walter Scoot, sastrawan Skotlandia.

Suasananya makin semarak dengan kehadiran merpati- merpati putih yang berterbangan ke sana kemari dan menghibur para pengunjung termasuk juga diriku yang merasa sangat terhibur. Ryan hanya terkekeh geli saat aku menghindari beberapa merpati yang hinggap di bahuku.

“Jangan takut, mereka tak mengotori bajumu, kok ...,” sindirnya saat aku mengusap-usap jaket karena takut terkena kotoran merpati itu.

“Bukan itu, tapi aku agak bergidik aja kalau ada burung yang hinggap di badanku. Geli,” jawabku membuat Ryan kini mengangkat alisnya.

“Burung apa yang kau maksud?” tanyanya membuatku melongo tapi kemudian tawanya meledak saat menyadari apa arti ucapannya.

“Dasar, pengacara mesum,” sungutku lalu menoleh ke arahnya.

“Kau dari dulu tak pernah berubah, masih ingat dulu kau memberi kado ultah Putri apa?” sindirku mengingat dulu dia terkena amukan Putri, si bintang kelas yang terkenal centilnya itu karena Ryan memberinya satu pack pembalut. Gila memang dan mesum.

Kudengar kekehannya lagi, tapi kemudian kurasakan tangannya menarikku melangkah memasuki sebuah restoran cepat saji yang berada di sekitar alun-alun.

“Kita makan dulu, ya,” ucapnya lalu segera mengantre sedangkan aku mengambil tempat duduk di pinggir jendela restoran.

Beberapa saat kemudian dia sudah membawa nasi, ayam dan juga minuman. Makanan cepat saji dengan logo pak jenggot itu kini sudah berada di depanku.

“Line,” ucapnya sambil menyantap makanannya.

Kudongakkan wajahku menatapnya yang juga sibuk mengunyah makanan.

“Benarkah kau selama ini menungguku?’ ucapnya dengan lirih.

Kuhembuskan napasku. Aku tahu saat ini pasti terjadi, kumantapkan hatiku untuk jujur kepadanya, melepas semua rasa sesak yang selama ini menyiksaku.

“Ryan, maaf dulu aku tak pernah memberimu kepastian, maaf dulu aku selalu mengacuhkanmu, maaf dulu aku membuang buku berisi ungkapan cintamu, maaf dulu aku benar-benar membuatmu bingung dengan sikapku yang sepertinya menolak semua perhatian dan cintamu, tapi asal kau tahu selama 3 tahun itu aku juga tersiksa rasa ini cinta ini. Aku pikir kau sangat mencintaiku. Aku pikir suatu hari aku akan mendengar kau menyatakan perasaanmu kepadaku sendiri tanpa bantuan teman-teman. Aku tahu kau mencintaiku, aku tahu tapi aku butuh kepastian dari mulutmu sendiri.”

Ryan menghela napas demi mendengar penjelasanku dan kini menatapku penuh penyesalan.

”Line, andai waktu bisa berputar, aku ingin saat itu aku juga berani mengungkapkan semuanya, tak menjadi pengecut. Tapi entah kenapa dulu saat berdekatan denganmu aku juga tak mempunyai keberanian. Kau tahu aku selalu gugup kan saat berbicara denganmu. Aku pikir kau membenciku dengan semua sikapmu itu, Line. Tiga tahun aku ingin kau juga menatapku tapi yang ada kau semakin membentengi dirimu sendiri, kau tak acuh denganku, bahkan saat kelas 3 saat kelas kita terpisah, kau semakin jauh meski aku tiap hari menggodamu,tiap hari menatapmu, tiap hari memberimu isyarat kalau aku mencintaimu.”

Kusesap cokelat panas di depanku, hatiku terasa perih mendengar ucapannya itu.

“Aku dulu menjaga jarak denganmu karena aku tahu aku bukan apa-apa dibanding teman-temanmu yang berstatus sosial sama denganmu. Aku hanya cewek cupu yang tak gaul di sekolah, aku malu kalau sampai mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya,” ucapku membuat Ryan kini menatapku dengan mata berkaca-kaca.

Satu air mata lolos dari matanya membuatku merasa pedih. Dia langsung mengusapnya dengan punggung tangannya.

“ALINE PRAMESWARI, kalau tahu perasaan yang sebenarnya mungkin semuanya tak menjadi begini penyesalan itu yang membuatku kini mengutuki diriku sendiri karena aku terlalu pengecut, cintaku, Line, masih dan masih untukmu, Aline, I LOVE YOU,” ucapnya dengan suara serak.

Kupejamkan mata, mencoba mengambil udara yang terasa berkurang di rongga dadaku lalu kubuka mataku dan kugelengkan kepalaku.

“Semua sudah beda, Ryan, kau sudah beristri dan aku bersuami. Kita mencoba melepaskan masa lalu kita, selama 10 tahun ini aku terlalu terpaku dengan perasaan ini, berharap dan berharap kalau kau yang akan menjadi jodohku, berharap kalau kau juga mencintaiku, tapi kenyataannya hatiku terhempas remuk saat mengetahui kau menikah dengan Fransisca. Harapanku seketika putus waktu itu Ryan, tolong lepaskan aku. Lepaskan aku untuk membuka hatiku memberi ruang di hatiku ini untuk seseorang yang lain. Meski aku tahu aku juga masih sangat mencintaimu, tapi tak ada salahnya kan kalau aku mencoba membuka hati ini,” ucapku pilu.

Ryan tertegun mendengar ucapanku.

Dibuangnya pandangan ke arah jendela di dekat kami. Terdengar betapa dia mencoba mengatur napasnya, tangannya memutih dan wajahnya terlihat pias. Lalu kembali menoleh ke arahku.

“Aku coba, Line, aku coba, tapi aku beri kau waktu kalau selama satu bulan ini kau berhasil hamil dengan Vian aku akan mundur, Line, itu berarti kau sudah bisa melupakanku dan aku akan melepaskanmu,” ucapnya membuatku terkejut.

“Apa maksudmu? Hamil dan tak hamil itu urusanku, Ryan!” ucapku sengit kali ini aku benar-benar kesal dengan ucapannya.

Ryan menyeringai.

“Kita buktikan kalau kau sudah benar-benar move on dariku Line,” ucapnya.

*****

Aku melangkah mantap setelah turun dari bus yang mengantarkanku kembali menuju flat milik Vian. Hari memang masih siang, karena Ryan berpamit ke Edinburgh dan tak jadi mengajakku berkeliling Glasgow. Hal itu membuatku lega karena aku juga berpikir tak mungkin berlama-lama berada di dekat Ryan. Ini salah ingin menyelesaikan masalah tapi malah membuat makin rumit karena Ryan pun tak bisa diajak berkompromi.

Kutenteng 1 box kotak berisi fish and chip yang sempat dibelikan Ryan tadi di alun-alun. Dan aku berniat untuk memberikannya kepada Vian, entah kenapa aku teringat bocah itu. Hatiku menghangat ketika menggumamkan namanya.

Tanpa butuh waktu lama aku sudah sampai di lantai dua tempat flat Vian berada, tapi dahiku mengernyit melihat pintu sudah terbuka.

“Assalammualaikum,” ucapku saat kubuka pintu, dan senyumku tersungging saat melihat Vian berada di sana, duduk di sofa berwarna biru tua itu dan tampak sibuk membaca sesuatu.

“Waalaikumsalam,” ucap Vian datar, menyambut kedatanganku.

Kusunggingkan senyumku lagi tapi Vian sudah menundukkan wajahnya dan kembali menekuri buku di depannya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience