EXTRA PART 2
Aline pov
Saat ini kami semua akan menghadiri pernikahan Rasya, tepatnya lusa, dan hari ini semuanya sepakat untuk pergi ke Bandung menggunakan mobil. Sebenarnya kami semua bisa naik pesawat biar cepat, atau pun kereta biar tak lelah. Tapi Vian mempertimbangkan kondisi anak-anak yang baru pertama kali ini akan bepergian ke luar kota. Jadi kalau naik angkutan umum, dia khawatir anak-anak akan rewel dan tak nyaman. Oleh sebab itu dia meminta untuk memakai mobil ke Bandung.
Aku, Vian, anak-anak dan juga Evan dan Nadia jadi satu mobil di mobil kami. Mengantisipasi agar Vian bisa bertukar menyetir dengan Evan. Sedangkan mama, papa di mobil yang satunya dengan Ryan, dan Sisca dan juga Kanaya, buah hati mereka yang baru berusia 3 tahun. Mereka selama ini memang menetap di Singapura. Karier Ryan cemerlang di sana, Sisca sendiri membuka butik.
Dan kemarin selain menyempatkan hadir di acara pernikahan Rasya, mereka juga mengunjungi Indonesia lagi setelah 3 tahun sebelumnya kami hanya mendengar kabar mereka.
“Mommyyyyyy ... Kak Al nich, cana-cana.”
“Peyyyyy ... sempit ... gendut cie. El ini penuh, hust hust.”
Aku menoleh ke jok belakang melihat Evan memijat pelipisnya, dan Nadia terkekeh geli melihat dan mendengar celoteh Al dan El di belakang duduk bersama mereka. Sedangkan aku di jok depan menemani Vian menyetir, dan Aby berada di gendonganku.
Pagi ini kami mulai perjalanan ke Bandung. Mobil yang dikendarai Ryan dan mama papa berada di belakang ... mengikuti mobil kami. Baru juga setengah jam perjalanan, tapi Al dan El sudah mulai ribut di belakang.
“Al, mengalah sama adiknya, ya,” kutolehkan wajah ke arah belakang, dan melihat Al kini mendesak duduknya Evan yang tengah memangku El. Tubuh Al yang gendut memang membuat jok yang mereka duduki jadi sempit.
“Al, jangan nakal, hayo. Duduknya kan udah segitu luasnya, kenapa ingin mendesak ke arah om Evan terus, hayo?” Vian mulai ikut menceramahi Al.
“Pey, Bee ... Al tak mau duduk deket tante Nad.” Terdengar Nadia terkekeh geli., lalu mencubiti pipi Al membuat Al ribut lagi.
“Lah kenapa?”
“Nih, pipi Al jadi sakit, tante Nad udah 10 kali cubitin pipi Al teyus.”
“Diiiihhh, salah sendili pipi situ gembil kayak bakpao,” Nadia kini mulai,mencubiti pipi Al lagi.
“Ndaaa udah udah ... nanti dia rese lagi, tuuuhh.”
Evan ikut menengahi ... selalu begitu kalau Nadia bertemu dengan Al. Nadia yang gemas dengan Al yang gendut dan Al yang tak mau dicubiti dan diciumi Nadia yang gemas dengannya.Sedangkan El sendiri tampak lebih akrab dengan Evan. Manjanya juga sama seperti El dengan Vian.
“Peyyyyy ... Al duduk depan aja, ya...,” rengek Al lagi membuatku menoleh.
“Lah, dedek Abynya kasian ini.”
“Pokoknya Al mau di depan, di sini ada Tante Nad, Al emooohhhh.” Tuh kan, rewel lagi.
“Ya udah, sini Abynya sama Evan aja, Mbak. El duduk di tengah, ya, dekat tante Nad,” rajuk Evan ke arah El yang tengah duduk di pangkuannya.
“Ya udah, Bee menepi dulu biar Aby aku pindah ke belakang,” ucapku yang diangguki Vian. Mobil kami akhirnya menepi, mobil Ryan di belakang akhirnya ikut menepi juga.
Aku turun dan membuka pintu belakang, Nadia sudah akan menggendong Aby. Al langsung melesat keluar dan masuk ke depan. El sendiri nampak asyik bermain dengan boneka barbienya.
“Nda, tak boleh gendong-gendong jangan bandel itu kandungan kan harus dijaga baru juga 1 bulan lho, Nda.” Aku tersenyum Evan begitu protective dengan Nadia. Yup, setelah penantian lama, akhirnya Nadia hamil, padahal mereka sudah merelakan kalau memang tak bisa mempunyai anak. Tapi Rezeki siapa yang tahu, Nadia dinyatakan positif hamil di usianya yang sama denganku 35 tahun, usia yang rawan untuk melahirkan, maka dari itu Evan dengan sangat hati-hati menjaga Nadia.
“Ai ... kenapa tak boleh, Aby tu masih kecil juga ga ngaruh kali.” Evan melotot ke arah Nadia membuat dia akhirnya mengalah. Dasar manisnya mereka.
Akhirnya aby berada di dalam gendongan Evan, dan Nadia mulai menciumi pipi Aby lagi. Dia ini selalu saja begitu, katanya tak tahan kalau dekat dengan pipi yang chubby.
“Ada apa sih ini?” tiba-tiba Ryan keluar dari mobil diikuti Kanaya, putri kecilnya yang sangat cantik itu.
“Big uncle ...” Al sudah berteriak-teriak dari kaca depan. Ryan langsung mengacak rambut Al dengan gemas.
“Itu rewel biasa si Al, sama Nadia kan musuh bebuyutan,” kutunjuk Nadia yang menjulurkan lidahnya. Ryan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aya ... cini ... Aya cini aja.” El sudah melongokkan kepalanya melihat Kanaya yang baru dikenalnya kemarin, tapi mereka sudah begitu akrab.
“Pa ... Aya mau cama El, ya”Kali ini Aya ikut menarik-narik lengan Ryan.
“El aja ya yang ikut di mobil Uncle, tuh ada Uti ama Yang kung, ya,” rajuk Ryan ke arah El. Dia menatapku dan Vian bergantian.
“Boleh Mom? Dad?” tanyanya dengan mengedip-kedipkan matanya centil membuat Nadia mulai mencubit pipi El lagi dengan gemas.
“Diiihhh, genitnya ini, hayoooo. Aline banget, deh,” celetuknya membuat Vian mengacungkan jempolnya tanda setuju. Nah, aku lagi yang kena.
“Tapi El jangan rewel ya di sana.” Kuturunkan El dari mobil.
“Iya, dadah Mom, Dad ...” ucapnya lucu,
“Ehhh om Epan mana, ga dikasih kiss bye juga?” Evan kini ikut menggoda El yang centil itu.
El memiringkan kepalanya, menggoyangkan kuncir duanya yang bercabang-cabang hasil karya tangan Nadia itu lalu memonyongkan bibirnya ke depan,
“Muaacchhh buat om-ku yang paling anteeeennngg,” celetuknya manja.
“Evaaannn ini pasti kerjaan lu, ya?” Vian menjitak kepala Evan dari jok depan dan Evan kembali tergelak.
El langsung bergandengan tangan dengan Kanaya, menuju mobil Ryan yang langsung disambut oleh Sisca dan mama.
“Ya udah, lanjut, ya.” Ryan melangkah kembali ke mobilnya dan aku juga masuk ke dalam mobil lagi.
“Pangku, Pey,” rengek Al setelah aku duduk dan menutup pintu.
“Al, duduk deket Daddy saja sini, ikut menyetir, kasihan Fey-nya kalau harus ditindih perut Al yang gede itu.” Aku terkekeh geli mendengar ucapan Vian. Al memang sangat gendut.
“Nyetil ... ahhh mau, Beeee,” pekiknya girang dan mulai duduk mendekat ke arah Vian yang sudah menyalakan mobil.
*****
Akhirnya setelah menempuh perjalanan hampir 10 jam karena beberapa kali berhenti untuk istirahat, dan tadi Al dan El sempat mabuk juga karena ini perjalanan terjauh mereka, kami semua bisa sampai di Bandung dengan selamat. Pernikahan memang akan diadakan di rumah Bandung, di café milik Vian, karena keluarga Ratih sekarang juga berdomisili di Bandung sekarang ini.
“Line, Itu Al dan el sudah langsung bobok. di kamar atas, ditemani Rasya tuh, kamu pasti capek, mau Tante buatin susu hangat, ya? Sekalian mau buatin semuanya teh hangat.” Tante Rani menyambutku ketika aku baru saja keluar dari kamar mandi membasuh muka.
“Iya, Tante tak usah repot, nanti Aline buat sendiri, ini mau nidurin Aby dulu, masih ada box bayinya milik Al dulu, kan Tante di kamar?”
“Iya, masih, ga tak ubah-ubah, ya udah, Aby dikelonin dulu ya, Tante mau buatin semuanya teh dulu.”
Aku mengangguk, dan melangkah ke arah ruang tengah. Mama, papa, Ryan, Evan, Nadia, Siska, Vian berkumpul di sana dan juga om Dewa.
Aby tampak nyenyak tertidur di gendongan Sisca, sedangkan Kanaya tadi sudah ikut bergabung dengan Al dan juga El tidur di lantai atas ditemani Rasya yang saat mereka datang langsung menghambur ke Rasya. Apalagi Al yang sudah sejak dari dulu lengket dengan Rasya.
“Sini Sis, Aby aku tidurin dulu, kasian dia capek di gendongan terus.”
Sisca menciumi pipi Aby lagi dan kini menyerahkan kepadaku meski sedikit tak rela.
“Pengen gendong dedek lagi, Piiiii buat lagi, yuk,” rengek Sisca manja ke arah Ryan membuat Ryan tersedak minumannya.
“Tuh, yang udah meslaaaaaaa,” celetukan Vian membuat Ryan makin malu.
“Dek, kamu ini, godain terus, iya Mi, iya buat tiap hari tapi kalau belum dikasih,” ucapnya ke arah Vian dan sisca.
“Iri tuh ma Aline, udah 3 aja resepnya apa toh,” Sisca membuat mama papa dan juga semuanya ikut tergelak dan kini memandangiku dan Vian bergantian.
“Resepnya itu, tanyain ke Radit ntar, ya dia yang pinter kalau soal resep,” jawab Vian yang langsung terkena lemparan bantal duduk dari Evan.
“Dasar gemblung ... resepmu tak ada yang manjur buatku.” Evan kini mencibir dan membuat Ryan kini tergelak.
“Heeehhhh ... dokter gigi sama dokter umum itu beda resepnya tanya tuh ma Papah, iya toh, Pah?”
Jawaban Vian makin membuat percakapan ini makin absurd. Dasar mereka kalau sudah berkumpul. Kulangkahkan kaki menuju kamar, biarlah mereka melepas kangen mereka.
*****
Kecupan-kecupan basah membuatku menggelinjang dan membuka mataku yang sudah berat ini.
“Feyyy....”
Ketika kubuka mata, Vian sudah menyurukkan wajahnya di lekukan leherku.
“Apa sih, Bee? Sudah malam, bobok ah, capek ini.”
“Fey ... kangen.”
Lah mulai lagi ini bocah mesumnya. Kubalikkan tubuhku dan kini menghadapnya yang sudah memakai piyama tidurnya.
“Tak capek apa? Tadi kan udah nyetir lama?”
Vian menggeleng, ”Tak pernah capek, nih, dedekku kalo deket kamu.” Dia memelukku erat lagi.
“Dasar, ya mesumnya.” Dia terkekeh dan mulai menciumi wajahku lagi, tapi tiba-tiba pintu diketuk.
“Peyyyyy ... Al bobok ama Pey, ya.” Pintu terbuka dan Al berlari ke arah ranjang kami.
“Maaf, Mi, itu Al rewel minta bobok sini.” Rasya melongok dari pintu.
Aku mengangguk dan tersenyum menyambut Al yang sudah berbaring di tengah-tengah kami. Rasya menutup pintu kamar dan berlalu.
“Yaaahhhh, Al ... udah gendut gini, kok minta bobok sama Pey?” Kali ini Vian mencubiti pipi Al.
“Bialiiinnn .. bial Bee tak bisa peyuk-peyuk Pey. Hueee.” Al menjulurkan lidahnya ke arah vian membuat Vian membelalak terkejut. lalu Al dengan cepat memelukku. Tubuh gendutnya tentu saja membuat Vian jadi tersingkir di ujung ranjang.
”Fey ... ini bagaimana ini?” Dia menunjuk-nunjuk bagian bawahnya, aku hanya terkekeh geli melihat raut wajahnya itu.
“Masa aku harus mandi air dingin malam-malam gini?” bisiknya lirih tapi bisa kudengar dan membuatku tersenyum. Dasar Vian.
Vian suami berondongku yang selalu manis dan mesum itu.
Share this novel