BAB 37
“Jangan telat makan, susunya harus diminum, vitaminnya, diusahakan sebisa mungkin harus tetap diisi perutnya biar dekbaynya tetap sehat. Jangan maen ludo terus sama Evan, aku tak mau dekbaynya besok jadi ngitungin dadu terus.”
Aku tersenyum geli mendengar ocehan Vian, saat ini dia akan ke rumah sakit lagi menjaga papa. Semalam Vian benar-benar belum bercerita apapun kepadaku. Tapi aku tahu ada yang mengganggu pikirannya.
Saat jam 3 dini hari tadi aku terbangun dari tidur dan terlihat suamiku itu tengah menunaikan sholat tahajud, selalu senang melihatnya begitu taat. Tapi setelah itu kudengar dia terisak dalam doanya. Hatiku terasa teriris pilu mendengar tangisannya. Beban berat pasti sekarang yang menjadi pikirannya.
Ingin kurengkuh tubuhnya itu, ingin kupeluk, dan kutenangkan suamiku tercinta. Tapi aku tahu dia tak ingin membuatku ikut bersedih, dia menjagaku dengan tak menceritakan apapun kepadaku. Aku tak mau merusak usahanya untuk tak membuatku ikut masuk ke dalam masalahnya. Aku pura-pura tidur kembali. Dan saat kurasakan dekapan hangat dari belakang, aku menangis dalam diam. Suamiku memang sangat rapuh tapi dia menjaganya agar aku tak melihat kesedihan di dirinya. Aku semakin dan semakin mencintainya. Pria ini benar-benar patut untuk diperjuangkan, dan dicintai.
“Fey, tuh kan kenapa melamun? Pasti tak mendengarku lagi?”
Tunggu dia memanggilku apa? Kukerjapkan mataku
ke arahnya. Dia sudah tersenyum manis dan mengecup pipiku.
“Fey?” ulangku dan menatapnya.
Vian menyeringai dan menepuk-nepuk rambutku.
“Fey itu dari wiFey, hehehe romantis bukan? Aku tak mau memanggilmu mbak lagi, kau ini istriku, jadi panggilanku sekarang Fey, manis kan?”
Aku tergelak mendengarnya dan kutepuk pipinya . “Ngaco ah, mana ada Fey? Manis?” Vian memberengut ke arahku.
“Tadinya mau panggil Ai, tapi bule sarap itu sudah mendahuluinya, tak rela aku tapi mau bagaimana lagi jadi aku ganti saja Fey, ok, Sayang panggil aku Bee, ya?”
“Bee? cicitku lagi, heran dengan ucapannya pagi ini.
“Hubby kan kepanjangan, jadi Bee saja, ya?”
Dan tawaku kembali berderai kali ini membuat Evan yang tengah menyantap nasi gorengnya ikut tersedak mendengar tawaku.
“Mbak Aline, ish, berisik,” sungut Evan dari meja makan.
Vian langsung membekap mulutku dengan bibirnya, nah loh aduh pagi ini Vian benar-benar membuat wajahku semerah tomat.
“Vian ihhh, malu.” Kudorong tubuhnya untuk menjauh sementara ia kembali menyeringai lucu. Persis seperti anak kecil yang diberi permen.
“Tak mau dipanggil Vian, panggil Bee pokoknya ...”
Aku menggelengkan kepala. “Bee kayak lebah aja, ehmm atau itu kayak robot kuning kesukaan Davy, anak tante Tari tetangga sebelah,” ucapku ke arah Vian.
Dan kurasakan jitakan pelan di kepalaku.
“Itu BumbleBee, robot, enak saja, pokoknya Bee tetap Bee biar beda gitu ya, Fey, udah ah, nanti aku pulang, kok. Ini cuma gantiin mama karena mama mau pulang sebentar, ingat pesanku loh ... ” Vian mengecup bibirku sekali lagi dan kini beranjak masuk ke dalam mobilnya.
Yup kami memang sejak tadi berada di depan mobil Vian ... dia mulai menggunakan mobilnya lagi untuk keperluan bolak-balik ke rumah sakit.
Kulambaikan tangan saat mobil mulai melaju meninggalkan halaman rumahku. Kubalikkan badan dan melangkah kembali menuju rumah.
“Rosaline.” Suara seorang wanita menghentikan langkahku yang sudah sampai di ambang pintu.
Ketika kubalikkan badanku, kulihat di sana, di depan pagar rumah telah berdiri wanita yang sejak dulu terlihat cantik dan anggun, bahkan sekarang makin terlihat cantik.
Tapi wajahnya sekarang muram dan tak bercahaya.
“Fransisca?”
Wanita itu melangkah ke arahku dan meninggalkan mobil warna merahnya.
“Bisa kita bicara berdua?” ucapnya tanpa basa basi.
Aku mengangguk. ”Silakan masuk!” Aku mempersilakan nya masuk ke dalam rumah tapi dia menggeleng.
“Kita butuh bicara berdua, Aline, hanya berdua,” ucapnya.
*****
Kusesap jus strawberry di depanku. Saat ini Sisca mengajakku duduk di sebuah Café. Aku akhirnya menuruti keinginannya untuk berdua saja. Setelah pamit dengan bunda yang sedang sibuk membuat pesanan cake, Sisca membawaku ke sini. Café yang berada tak jauh dari rumah sakit milik keluarga Atmawijaya. Entah kenapa dia membawaku ke sini.
“Ryan ingin aku bercerai dengannya,” ucapnya tiba-tiba membuatku menatapnya terkejut.
Sisca menghela napasnya, dia tampak rapuh. Hilang sudah sikapnya yang selama ini selalu terlihat percaya diri dan selalu angkuh itu.
“Cerai?” ulangku kemudian.
Dia mengangguk dan menyesap kopi hitam yang
tersaji di depannya. “Aku tahu aku ini bodoh sejak dulu, mencintai Ryan yang sejak dulu mencintaimu, tapi apa salahku? Aku hanya ingin memperjuangkan cintaku, lagipula aku dulu kasihan dengan Ryan, mencintaimu tapi kau tak peka, mencintaimu tapi kau tak pernah menyambut hatinya, aku, Line, yang melihatnya bersedih tiap kali kau selalu tak mengacuhkannya, 3 tahun, Line, aku melihatnya terluka karena sikapmu itu.” Slaap!!!
Hatiku seperti ditampar mendengar penuturannya itu. Benarkah seperti itu? Padahal dulu aku tak merasa memberikan sikapku kepada Ryan seperti itu, aku hanya malu, hanya itu.
Sisca kini menatapku lagi. “Tapi aku bersyukur karena kau tak menyambut hatinya ... bukankah itu memberi peluang kepadaku untuk mendekatinya? Meski aku dengan susah payah mengalihkannya darimu. 10 tahun, Line, bukan waktu yang sebentar untuk membuatnya menatapku, dan akhirnya setelah dengan gigihnya usahaku ini, aku bisa mengajaknya untuk menikah, memilikinya, tapi semuanya sirna karena kemunculanmu, kemunculanmu yang tibatiba di malam pernikahanku. Kau tahu setelah itu, setelah melihatmu, Ryan tak pernah mau menyentuhku, malam itu dia berubah lagi seperti Ryan 10 tahun yang lalu. Kau kejam, Line, kau kejam.” Kulihat air mata sudah membasahi pipinya.
Hatiku terasa sesak mendengar semuanya. Apalagi ini? Semuanya terasa begitu menyesakkan buatku.
“Sis, bukan maksudku untuk merusak kebahagiaanmu, bukan itu, aku minta maaf kalau aku menjadi benalu dalam pernikahanmu, aku benar-benar minta maaf, Sisca.”
Sisca menghapus air mata yang membasahi wajahnya dengan punggung tangannya. Dia benar-benar terlihat terluka.
“Sekarang Ryan amnesia, dia tak mengingatku aku harus bagaimana, Line? Kau egois! Kau bisa bahagia dengan Vian, tapi di sini yang terluka aku dan juga Ryan. Kami terluka karena kau sudah menikah dengan Vian dengan menjadi keluarga Atmawijaya. Kenapa, Line? Kenapa kau menyiksaku dan Ryan begini, tak cukupkah kau selama ini selalu menghantui hubunganku dengan Ryan?”
Tubuhku membeku mendengar ucapannya. Seburuk itukah aku di matanya? Benarkah aku yang menyakiti mereka semua dengan menikah dengan Vian? Sejahat itukah diriku?
“Sis, bukan maksudku seperti itu, aku juga tak tahu aku bisa menikah dengan Vian. Tapi aku mencintai Vian dan aku telah mengandung anaknya. Kalau kau merasa aku menyiksamu dengan masih berada di keluarga Atmawijaya aku minta maaf, tapi ini semua takdir, Sis, dan kita tak bisa mengubahnya.”
Sisca menatapku dengan tatapan yang entah, tak bisa dibaca.
“Kau bisa mengubahnya dengan meninggalkan keluarga Atmawijaya, dengan begitu Ryan tak lagi mengejarmu, menghilanglah, Line, hanya itu satu-satunya yang bisa kau lakukan kalau kau ingin melihat semuanya bahagia.”
Apa-apaan ini, kenapa dia sangat egois denganku? Bukan salahku juga kalau semuanya menjadi rumit begini tapi kenapa jadi aku yang terkena dampak dari ini semua?
Kepalaku mulai, terasa pusing, perutku sudah terasa mual. Baru kuingat aku baru makan bubur semenjak tadi. Dan kali ini aku benar-benar ingin muntah.
Aku menggelengkan kepalaku ke arah Sisca, dia menatapku tajam, Seperti benci sekali denganku.
“Aku tak bisa pergi dari keluarga Atmawijaya, aku istri Vian, dan aku mencintainya.”
“Kau egois,” ucap Sisca ke arahku.
Sudah cukup buatku saat ini, aku benar-benar mual. “Sisca, untuk apa kau di sini,” tiba-tiba suara yang kukenal membuatku terkejut.
Sisca juga membelalak melihat Ryan sudah berdiri tegak di depan meja kami.
Sisca berdiri dan kini mendekat ke arah Ryan.
“Aku hanya, mengatakan kepada Aline kalau aku tak akan melepasmu!” Dia lalu kembali menoleh ke arahku.
“Jangan harap kau bisa mendapatkan dua-duanya,” ucapnya tajam lalu segera berlalu dari hadapanku dan kulihat Ryan berlari mengejarnya.
Kuhela napas lega, karena dua orang itu sudah pergi dari hadapanku. Rasa mual kembali menyeruak. Keringat dingin sudah mulai bermunculan di keningku. Kepalaku juga terasa sangat pening. Segera aku beranjak dari kursi mencoba melangkah menuju pintu keluar. Saat ini aku hanya ingin tidur di kasur.
Tapi tiba-tiba, seseorang menghadang tubuhku yang sudah keluar dari café.
Aroma khas tubuhnya yang selama ini kuhafal dan sempat kusukai kini membuat rasa mual yang tadi mendera semakin terasa. Kututup mulutku. Aku ingin muntah.
Ryan menatapku khawatir dan langsung menarik tanganku.
“Kuantar kau pulang,“ paksanya.
Kukibaskan tangan dan mencoba mendorong tubuhnya. Kuambil minyak kayu putih dari dalam tas dan menghirupnya, mencoba mengurangi rasa mual ini.
“Pergilah aku ingin pulang,” ucapku malas, karena tak mau menanggapinya. Kepalaku berdenyut-denyut makin kuat.
“Aku antar kau.“ Ryan bersikeras dan menarik tanganku, lalu mendekapku erat dan saat itulah aku tak bisa menahan rasa mualku lagi. Dalam hitungan detik, aku akhirnya memuntahkan semuanya, dan mengotori baju Ryan.
Dia membelalak terkejut, tapi perutku makin bergejolak. Kudorong tubuhnya, dan aku segera berlari ke arah selokan di belakangku lalu memuntahkan semuanya. Perutku akan terus memuntahkan isinya sebelum semuanya terkuras. Sampai rasa pahit yang kini menderaku baru aku bisa berhenti. Usapan di punggungku membuatku menoleh dan Ryan menatapku khawatir lalu mengulurkan botol air mineral kepadaku. Kuminum dan segera kubasuh mulutku.
“Aline sakit?” tanya Ryan khawatir ke arahku, kulihat bajunya basah dan kotor.
“Maaf, jadi membuatmu kotor,” ucapku tak enak ke arahnya.
Dia tersenyum dan mengangkat bahunya, ”Tak apa bisa diganti, kok, ehmm kamu sakit, ya?” ulangnya.
Aku hanya menggeleng dan rasa pening kembali menderaku.
“Ayo aku antar pulang.” Dia menarik tanganku dan membuatku akhirnya menurut karena tubuhku sudah terasa lemas dan saat ini aku benar-benar ingin cepat sampai di rumah.
Ryan mengulum senyumnya saat aku sudah duduk manis di dalam mobil. Biarlah, yang pasti aku ingin cepat sampai di rumah.
“Al, tak bisakah kau memberiku kesempatan?” Tiba-tiba dia membuka mulutnya saat mobil sudah melaju.
Kutoleh ke arahnya, ”Jangan meracau, aku ini istri adikmu, dan kau milik Sisca, kasian dia sudah sangat setia, lupakan aku, aku mencintai Vian adikmu, ini takdir kita,“ ucapku lugas mencoba memberi pengertian yang gamblang kepadanya. Hatiku sudah lelah, dan aku juga sudah lelah selalu di salahkan.
Kurasakan mobilnya berhenti mendadak membuat kepalaku terantuk dashboard mobil di depanku. Kepalaku terasa sakit, berdenyut-denyut makin keras. Pening semakin terasa, perutku terasa mual dan bergejolak. Kuusap keningku dan terasa sangat sakit.
“Line, maaf.” Ryan ingin menyentuh keningku tapi
kutepis tangannya.
“Kau gila, aku tak bisa berada di sini denganmu, buka pintunya aku keluar,” teriakku ke arahnya.
Pandangan mataku mulai kabur. Ryan mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras.
“Line, apa sih hebatnya adikku itu? Kau mencintaiku! Dari dulu kau mencintaiku, aku akan menceraikan Sisca dan menikahlah denganku, Line?”
“Kau gila!” cecarku ke arahnya, pusing makin mendera, kepalaku makin berdenyut. Please bertahanlah, aku tak mau pingsan di sini. Kudekap erat tas selempangku, peluh mulai bercucuran.
“Aku gila karena kau, Rosaline,” ucapnya kini mulai maju dan mencengkeram bahuku.
“Yan, jangan gila, please hentikan semua ini!!! Hentikan!!!” teriakku ke arahnya membuat dia makin mencengkeram erat bahuku.
“Kau milikku, sampai kapanpun kau milikku, aku tak akan melepaskanmu meski kau tak bersedia,” ucapnya dan saat itulah pandanganku mulai kabur, semuanya terasa berputar di depanku dan semuanya gelap.
Share this novel