E

Romance Series 49415

Selesai menidurkan Every, Love meletakannya ke box bayi. "Dia sudah tertidur lelap, Harv," ujarnya.

"Iya." Sebenarnya tidak perlu diberitahu juga Harvest telah melihatnya. Karena memang dari setengah jam yang lalu, ia sudah memperhatikan Love berinteraksi dengan Every. Bahkan tidak lepas sedikipun dari pandangannya. "Kalau boleh tahu, berapa usiamu, Love?" tanyanya.

Love berjalan menghampiri Harvest yang duduk di sofa. "Kenapa kau menanyakan usiaku? Apa penampilanku tak cocok menggendong bayi?" tanggapnya dengan pertanyaan balik. Ia memilih duduk di sofa tunggal.

"Bukan. Justru di mataku, kau terlihat keibuan. Apa usiamu 26 Tahun?" Harvest mencoba menebak dengan memperhitungkan tahun usia si anak perempuan itu dulu sampai tahun sekarang.

"Wah...," Love tampak tertegun karena tebakan Harvest tepat sasaran. "Bagaimana kau bisa tahu?" Matanya memicing tajam ke Harvest. "Kau menyelidiki aku ya?" Love menerka-nerka dengan nada curiga.

"Tidak," tepis Harvest. "Aku hanya menebak-nebak saja. Memangnya benar tebakanku?" tanyanya sekali lagi.

"Ayo-ayo, di minum dulu, Love!" 

Love menoleh kaget karena melihat Auntie Gaby datang membawakan minuman dan makanan kecil untuknya. "Lho, Auntie Gab?" Love mengerjapkan matanya karena terkejut. "Auntie bekerja di sini?"

"Iya," jawab Gaby. "Tadi Auntie sudah melihatmu saat kau datang dan berkenalan dengan Nyonya Brenda dan Tuan Malik. Hanya saja Auntie tidak keluar menemuimu karena itu tidak sopan."

"Ya ampun, Auntie." Love langsung memeluk senang Gaby. "Terima kasih karena semalam Auntie menyuruh Harvest untuk menyusulku," ujarnya.

"Sama-sama." Gaby menguraikan pelukannya. "Lebih baik kalian melanjutkan obrolannya. Auntie mau ke pasar dulu, mau menyiapkan bahan makan siang."

"Iya, Auntie. Hati-hati!" Love pun tersenyum.

Gaby pun membalasnya dengan tersenyum, setelah itu berbalik meninggalkan Love dan Harvest berdua lagi. 

Love kembali bersuara. "Kini aku tahu," jedanya sembari menoleh ke Harvest. "Kau pasti mengetahui usiaku dari Auntie Gab. Benar, kan?" terkanya lagi. "Soalnya hanya dia yang kuberitahu mengenai usiaku."

"Tidak," tepis Harvest lagi. "Sudah kubilang aku hanya menebak-nebak." 

"Aku masih tidak percaya," sahut Love.

"Hanya masalah umur, Love, kenapa kau jadi mempermasalahkannya?" sahut balik Harvest.

Eh? Benar juga, batin Love. Cepat-cepat Love mengalihkan topik. "Lalu, bisa kau ceritakan padaku tentang identitas Every? Warna matanya tidak sepertimu, apa dia mirip dengan ibunya?" Love mulai bertanya-tanya.

"Sekarang kau yang jadi bawel ya, Love," ujar Harvest sembari terkekeh.

"Cih!" Mulut Love mengerucut sebal. 

"Baiklah. Aku akan menceritakannya padamu. Tapi sebelum itu, berarti benar ya usiamu dua puluh enam tahun?" Harvest masih ingin meyakinkan.

Love melirik sebal Harvest. "Harv..., jangan mulai," serunya memperingati.

"He-he-he..," Harvest kembali terkekeh. "Aku hanya bercanda," ujarnya sembari menatap lekat ke arah Love. Setidaknya kini Harvest mendapatkan satu informasi lagi, yakni mengenai masalah usianya Love. Dan dua pertanyaan yang sudah menyerupai kemiripan si anak perempuan itu pun membuat Harvest mencurigai kalau ternyata Love itu adalah teman kecilnya. Tinggal satu pertanyaan lagi, yakni kisah pertemuannya. Harvest harus mencari pertanyaan pancingan yang pas agar ia bisa menanyakan masalah itu pada Love. Apa ya?

"Kok diam?" Love menatap balik Harvest yang malah melamun.

Bola mata Harvest pun bergerak, tanda dirinya terhentak dengan perkataan Love. "Maaf-maaf," ujarnya. "Tadi kau menanyakan tentang Every, kan?" 

Love mengangguk pelan. 

"Every adalah anak dari sahabat terbaikku, Bruce dan Amy. Bruce meninggal sebelum mengetahui kalau kekasihnya telah hamil. Dan tadinya Amy tidak mau melahirkan anak itu. Tapi, aku berusaha membujuknya sampai akhirnya dia mau untuk melahirkan Every. Lalu,....." Harvest menceritakan bagian di mana Amy pergi meninggalkannya dan surat peninggalannya ke Love.

Love mendengarkan sampai tidak bergeming sama sekali. Ia melihat perubahan warna mata Harvest yang kini menjadi merah. Ia menduga kalau Harvest sedang menahan tangis karena kesedihannya ditinggal oleh dua sahabat terbaiknya. Ditambah lagi ia dilimpahi tanggung jawab besar untuk membesarkan bayi yang bukan darah daging Harvest.

Sungguh cobaan yang berat buat Harvest. Jika ia yang diposisi Harvest, belum tentu ia bisa sekuat itu dan mau menerima bayi tersebut untuk ia rawat. Melihat Harvest berusaha untuk tidak menunjukkan air matanya, Love pun mendekatinya dengan duduk di sampingnya. Ia refleks merengkuh tubuh Harvest.

Harvest pun terkejut. Tak disangkanya Love akan menenangkannya dengan merangkulnya. "Aku hanya tidak tahu harus bagaimana ke depannya, Love. Apa keputusanku ini sudah benar dengan mengadopsi Every menjadi anakku? Menurutmu, apa itu adalah pilihan yang tepat?"

Love berpikir sesaat sebelum menjawab. Ia tak mau menjawab asal-asalan. Ia harus berpikir secara realita bukan logika. "Aku tahu ini masalah berat buatmu, Harv. Jika aku jadi kau pun, belum tentu aku bisa mengambil keputusan itu. Namun satu hal yang ku tahu, Harv," Love melepaskan rangkulannya dan menatap serius Harvest. "Every datang di kehidupanmu adalah bukan suatu kebetulan. Begitu juga dengan Bruce dan Amy. Tuhan memiliki caranya sendiri dalam menunjukkan rencana indah untuk hidupmu, ya melalui orang-orang yang hadir dan dipertemukan denganmu. Bisa jadi kan, dengan kehadiran Every ini kau akan mendapatkan keberuntungan yang sebelumnya tidak pernah kau dapatkan atau kebahagiaan yang tak akan kau sangka-sangka akan hadir segera dalam hidupmu," urainya.

Harvest tersenyum lega dan senang dengan rangkaian kata yang dilontarkan Love padanya. Setidaknya ini bisa menenangkannya, meskipun pertanyaan tadi--- apa keputusan yang ia ambil sudah tepat dengan mengadopsi Every menjadi anaknya--- belumlah terjawab semua.

"Masalah keputusanmu itu,"

Eh? Harvest termangu. Ternyata Love belum selesai bicara padanya.

Sambung Love, "Aku tidak bisa bilang kalau itu benar ataupun salah. Tapi karena Amy sudah menitipkan bayinya padamu, itu berarti dia percaya padamu. Dia merasa kalau dia sudah menitipkan pada orang yang tepat. Jadi kurasa, tak ada salahnya kau menerima kepercayaannya. Ditambah lagi, Every adalah bayi yang sangat cantik dan lucu. Kurasa semua orang pasti akan menyukainya, termasuk aku."

"Kau benar. Aku sangat menyukainya, bahkan mulai menyayanginya," sahut Harvest. "Thanks, Love, atas semua nasehat dan saranmu. Aku menghargainya. Tidak kusangka pemikiranmu jauh lebih dewasa dariku."

"Aku jadi penasaran dengan usiamu, Harv." 

"Kau mau mencoba menebaknya?" Harvest menggodanya.

"Hem...," Love tampak berpikir sejenak. "Tiga puluh? Tiga lima?" tebaknya coba-coba.

"Apa aku terlihat setua itu?" sungutnya. Harvest mendengus sebal. "Bagaimana kalau aku memberikan jawabanku melalui telepati?" Harvest memasang pose dengan mengangkat kedua tangannya dan menaruh kedua jari telunjuknya ke sisi samping kening.  

Love terkikik geli. "Ya sudah, karena aku sangat baik hati, aku akan menguranginya dua tahun. Jadi, dua puluh delapan tahun gimana?" 

Harvest terhentak. Kedua jari telunjuknya terlepas karena terkejut. "Aku belum mengirimkan jawabanku, tapi kau bisa mengetahuinya. Hebat sekali!"

"Oya? Jadi jawabanku benar?" Love terperangah. "Padahal aku asal tebak doang." Ia pun tertawa senang. 

Melihat Love tertawa, membuat Harvest terpukau dan terkesima sesaat. Menurutnya, tawa Love sangat manis dan ia merasa terhipnotis. Detak jantungnya pun mulai berubah irama menjadi berdebar-debar. 

"Kau mau makan malam denganku, Love?" Tiba-tiba Harvest menyeletuk ajakan dinner pada Love.

Tawa Love pun berhenti. Ia menatap ke Harvest yang sedang menatapnya intens. "Kenapa kau jadi serius begini, Harv?" dalihnya cepat-cepat, "Lebih baik aku pulang sekarang." Love tidak tahan ditatap olehnya. Tiba-tiba rima jantungnya ikut berdebar kencang. Buru-buru Love bangkit berdiri dari duduknya. 

Harvest pun ikut berdiri. "Maafkan aku, Love. Mungkin aku terbawa suasana saja." Harvest mencoba mencairkan suasana yang canggung itu dengan tertawa sumbang. "Mau kuantarkan pulang?" tawarnya.

"Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Lagipula ini masih siang dan ramai orang. Jadi tidak mungkin ada serigala jahat," tolaknya halus dan masih terselip candaan. 

Harvest pun mengganti tawanya dengan terkekeh pelan. "Ya sudah. Hati-hati ya!" pesannya.

"Oke," jawab Love dengan tersenyum. "Bye!" Love melambaikan tangan perpisahan pada Harvest, kemudian ia beranjak pergi. 

Kepulangan Love, Harvest pun kembali duduk. Ia merutuki dirinya yang begitu bodoh tadi. Siapa juga yang akan mau diajak dinner kalau baru beberapa kali bertemu? gumamnya menggerutu. Kalau begini yang ada akan tercipta jarak antara aku dengannya, pikirnya sembari mengacak rambutnya frustasi. "Aarrghh, bodoh-bodoh!!!"

"Siapa yang bodoh, Harv?" celetuk sang Mama yang datang menghampiri Harvest sembari membawa sesuatu di tangannya.

Mendengar suara mamanya dan kedatangannya, buru-buru Harvest merubah sikapnya menjadi biasa lagi. "Bukan apa-apa, Ma. Kenapa, Ma?" tanyanya.

Mama duduk di samping Harvest. "Ini, Harv," Mama memberikan sebuah ponsel. "Ponsel adikmu. Kata Papa, anak temannya baru bisa memperbaikinya. Itupun tak semua yang kembali karena memorinya rusak parah. Tapi ada sebagaian data yang masih bisa diselamatkan seperti kontak, pesan dan panggilan--,"

"Tidak apa-apa, Ma. Harv justru mau melihat pesan," potong Harvest sembari menerima ponsel Almarhum Adiknya itu dari tangan Mamanya. "Nanti Harv akan cek. Harv harus tahu, siapa wanita yang akan dilamar oleh adikku sampai dia sudah membelikan cincin. Harv takut, jika benar dia memilik kekasih, sudah pasti kekasihnya bakal kelimpungan mencarinya sampai sekarang."

"Kau benar. Ya sudah, nanti kasih tahu Mama jika kau sudah menemukan petunjuk."

"Baik, Ma. Kalau begitu Harv balik ke kamar dulu," pamitnya. 

"Oke." 

Harvest pun beranjak dari sana menuju ke kamarnya. Sampai di dalam kamarnya, baru ia akan mengecek ponsel tersebut, tapi tertahan karena ponsel miliknya berbunyi. Buru-buru Harvest meraih ponselnya yang berada di atas nakas dan menjawabnya. "Ya, Liz?" Ternyata yang menelponnya adalah Eliz, sekertaris atasannya. 

"Pak Harvest, saya mau mengabarkan kabar baik untuk Anda. Pengajuan Bapak untuk pindah cabang telah disetujui. Malah Anda akan langsung dipindahkan ke perusahaan utama di Kanada."

"Oh ya?" Harvest tampak senang.

"Iya, Pak. Jika Pak Harvest sudah setuju dan tidak ada kendala lagi, saya akan menyampaikannya pada Pak Andreas untuk dibuatkan jadwal kepindahan."

"Saya setuju, Eliz. Saya baru akan pulang minggu ini. Sampaikan pesanku pada Pak Andreas, kalau Senin besok saya akan langsung menemui Beliau," jawab Harvest.

"Baiklah, Pak Harvest. Saya akan menyampaikan pesan Anda pada Beliau."

"Thanks, Eliz." Harvest pun mengakhiri panggilannya sembari melompat kegirangan. Sudah lama ia mengincar kerja di perusahaan utama. Itu karena di sana lebih ada prospek ketimbang di anak perusahaan. Benar kata Love, Every membawa keberuntungan padanya.

Eh?

Saat Harvest hendak meletakkan ponsel miliknya, tangannya tertahan. Tiba-tiba nama Every itu muncul di benaknya. Harvest pun menghembuskan nafas kasar sembari duduk di pinggir ranjangnya. Bodohnya! Kenapa ia jadi melupakan Every? Akhirnya pikiran Harvest melayang ke mana-mana. 

Jika ia jadi pindah, banyak hal yang harus dipikirkannya. Contohnya saja orang tuanya. Ia harus siap bahwa ia akan jauh dari mereka. Karena sudah pasti ia akan jarang pulang untuk berkunjung dikarenakan jarak.

Lalu--, Every. Apa ia siap meninggalkannya? Apa memang ia harus membawa Every ke sana? Dan terakhir adalah Love. Harvest menghela nafas panjang. Akhirnya keputusan-keputusan juga yang jadi masalahnya sekarang. Ia di hadapkan lagi dengan sebuah pilihan. Menolaknya atau melanjutkan tawaran itu?

Harvest melempar asal ponsel yang tadi diberikan Mama padanya ke atas ranjang. Ia memegang kepalanya karena merasa bingung dan frustasi. Kali ini apa yang harus ia lakukan? Empat hari lagi ia akan kembali ke Washington. Itu berarti ia punya empat hari untuk memikirkannya dengan matang. 

*****

Setelah tiba di rumah, Love pun langsung mengunci pintu rapat-rapat. Ia membalikkan tubuhnya dan menyenderkan punggung belakangnya di pintu sembari mengatur nafasnya yang tersengal. Ia menelan saliva-nya kuat-kuat. Bukan karena jarak rumah Harvest dengan rumahnya yang jauh, melainkan karena tadi ia tak sengaja melihat Stanley dari jauh. Untung saja Stanley tidak melihatnya karena ia langsung berlari menghindarinya. Kenapa juga sekarang ia jadi ketakutan melihat itu orang? Ah, whatever!

Love langsung melesat menuju ke dapur untuk mengambil botol minum. Bibirnya menjadi kering karena kelelahan berlari. Setelah selesai minum, ia melanjutkan dengan rencana memasak untuk makan siangnya. 

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu mengagetkan Love dan hampir saja ia menjatuhkan piring yang sedang dipegangnya. 

Deg!

Detak jantungnya tiba-tiba bedenyut keras. Love berjalan perlahan keluar dari ruang dapur menuju ke arah pintu rumahnya. Tiba-tiba ia mencurigai kalau Stanley-lah yang datang berkunjung. Karena tadi memang terlihat Stanley sedang berjalan ke arah rumahnya. Gawat kalau dia, kan? Aku harus bagaimana? Apa kutelpon polisi saja?

Suara ketukan pintu kembali terdengar di dalam rumah. Ketakutan Love makin bertambah. Keringatnya mulai bercucuran. Sampai di pintu, ia tak langsung membukanya, tapi malah mendekatkan telinganya sejenak ke daun pintu. Sebenarnya tindakan bodoh yang ia lakukan. Mana mungkin juga ia bisa tahu siapa yang datang dengan mendekatkan telinganya ke pintu. 

"SIAPA KAU?" 

Eh? Love terkejut dengan seruan wanita yang keras. Love melebarkan telinganya agar bisa mendengarnya lebih jelas. 

"MAU APA KAU DI RUMAH LOVE?"

"Tidak, Nyonya! Saya hanya ingin..."

Itu suara lelaki. Berarti benar itu suara Stanley, soalnya lelaki mana lagi yang mengenal diriku. Tidak mungkin juga kan, kalau Harvest?! batinnya yang lagi bergumul.

"PERGI SANA!"

"Ba-baik!"

Karena tidak mendengar suara keributan lagi, ia pun mencoba mengeceknya dengan mengintip dari jendela samping pintu. Dilihatnya Auntie Gaby sedang berdiri membelakanginya. Ia bertolak pinggang sembari menatap ke arah lelaki yang benar dugaan Love adalah Stantey sedang lari terbirit-birit. Saat Auntie Gaby berbalik badan, buru-buru Love menyembunyikan kepalanya.

Tok! Tok! Tok!

Dan terdengar lagi suara ketukan pintu disertai seruan lantang. "LOVE!! KAU ADA DI RUMAH?"

Merasa sudah lega, Love langsung membuka pintu. Melihat sosok wanita yang ia kenali tengah berdiri di hadapannya, Love pun langsung memeluknya. "Auntie!" serunya sambil menerjangnya dengan pelukan.

"Astaga, Love, ada apa?" Gaby sungguh terkejut dipeluk tiba-tiba. "Apa ada yang menyakitimu?" tanyanya dengan nada panik.

"Saya takut, Auntie," jawab Love.

"Tenang ya. Ceritakan pada Auntie, ada apa denganmu? Atau kita bicarakan di dalam saja," usul Gaby.

"Iya." Love melepaskan pelukannya dan menuntun Gaby masuk ke dalam rumahnya. Ia pun tak lupa untuk mengunci lagi pintu rumahnya rapat-rapat.

Saat Gaby dan Love sudah duduk di sofa ruang tengah, Gaby kembali menanyakan perihal yang terjadi pada Love. Ia masih merasa panik. Karena tadi saat ia pulang dari pasar, ia melihat Love tengah berlari kencang. Ia pun berpikir pasti ada sesuatu yang membuatnya tergesa-gesa pulang ke rumah, ditambah firasat buruknya kembali muncul. Maka itu ia pun memutuskan untuk mengeceknya. Dan benar saja, ada seorang lelaki asing mendatangi rumah Love. "Tadi tak sengaja Auntie lihat kau sedang berlari tergesa-gesa. Kau tidak apa-apa?" 

Love menghembuskan nafas kasar. "Itu, Auntie, sebenarnya..." Love mencoba menceritakan tentang Stanley dan perihal pertemuannya malam itu, tadi pagi dan tadi saat ia pulang, lalu perkataan Harvest mengenai Stanley serta kedatangannya tadi.

"Jadi laki-laki tadi itu adalah Stanley?"

Love mengangguk pelan.

"Kalau benar lelaki itu ada niat mendekatimu ataupun menggodamu, berarti kau dalam bahaya. Apalagi sepertinya dia tahu kalau kau tinggal sendiri di rumah ini. Mana rumahmu ini lumayan jauh dari rumah yang lain. Kalau ada apa-apa pun, kau teriak juga percuma karena pasti tidak akan ada yang mendengarnya." 

"Ish, Auntie, jangan membuat saya takut."

"Auntie tidak menakutimu, tapi bicara apa adanya. Lebih baik kau tidak sendirian malam ini. Atau kau bisa menghubungi sanak saudaramu yang tinggal di daerah sini untuk menemanimu di rumah. Pokoknya kau jangan sampai sendirian. Auntie khawatir."

"Saya tidak punya siapa-siapa yang saya kenal di sini, Auntie Gab."

"Benarkah?" Gaby mengernyit bingung. Lalu Gaby berpikir sejenak.  "Kalau tidak begini saja, kau kemasi barangmu dan tinggal di rumah majikan Auntie untuk beberapa hari sampai keadaan aman. Gimana?" usulnya.

"Tapi, Auntie--," Love ingin menolaknya, tapi ia juga ragu untuk menerimanya.

"Tidak ada tapi-tapi, Love. Auntie tidak mau kau sampai kenapa-kenapa. Nanti masalah ijin menginapnya, Auntie yang akan bilang." Lagian sudah pasti Nyonya Brenda akan mengijinkannya. Bukankah dengan begitu, hubungan Love dan Tuan Harvest akan semakin dekat, batin Gaby.

"Baiklah," jawab Love dengan lemas dan terpaksa. Ia juga tak punya pilihan lain lagi. Salahkan dirinya yang datang sendiri. "Saya kemasi baju saya dulu sebentar," ijinnya.

"Iya."

Selesai berkemas, Gaby dan Love pun berjalan menuju ke rumah Harvest lagi. Jarak antara rumahnya dengan rumah Harvest memang tidak begitu jauh. Sekitar 10 meter. Dan setengah jam kemudian, mereka berdua pun tiba. Gaby langsung menemui majikannya untuk meminta ijin. Ia menceritakan perihal Stanley pada mereka. Dan sesuai dugaannya, majikannya pun mengijinkannya, malah terlihat sangat senang. 

Selesai meminta ijin, majikan Gaby sekaligus orang tua Harvest datang menghampiri Love dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Obrolan hangat pun terjadi di ruang keluarga. Orang tua Harvest banyak menanyakan tentang diri Love. 

Mendengar perbincangan seru di ruang keluarga mengusik Harvest yang tengah mengambil air minum. "Apa ada tamu?" gumamnya sambil menenggak minumannya. Rasa penasarannya timbul seketika. Selesai minum, ia pun berniat mengintip. Dan terkejutlah ia saat melihat sosok Love sedang duduk bersama orang tuanya. 

"Lho, Love?" Kedua mata Harvest melebar. 

Love dan kedua orangtuanya pun menoleh bersamaan ke arah Harvest yang sedang berdiri dengan wajah terkejut.

Ya, melihat raut wajah terkejut Harvest sudah bisa ditebak oleh Love. Sudah pasti Harvest akan terkejut akan kedatangannya~lagi. Padahal belum ada dua jam ia berpisah dengannya. 

Harvest memang terkejut, tapi sekaligus juga bertanya-tanya kenapa Love bisa datang lagi. Ditambah Love datang membawa koper. "Kau mau pergi, Love?" terkanya ragu-ragu. 

"Tidak, tapi--," jawab Love tersela oleh Mama.

"Dia akan menginap di sini untuk beberapa hari, Harv," ujar Mama.

Dan sekali lagi, Harvest dibuat terkejut dengan jawaban dari mamanya. "Menginap?" Matanya beralih ke Love mencoba bertanya lewat tatapan mata-- 'apa benar dengan perkataannya?'

Love hanya tersenyum kikuk. "Itu benar. Aku ingin menginap di sini. Boleh kan, Harv?"

Harverst termanga lebar, lalu kemudian tertawa kecil. Ia pun berjalan mendekati mereka semua. Entah kenapa, Harvest jadi merasa bahagia. Kekhawatirannya tadi tentang 'terciptanya jarak' ternyata hanya pikiran negatifnya saja. "Boleh saja. Kenapa juga aku harus melarangmu? Bukankah dengan menginap di sini, kau jadi lebih mudah untuk mengajariku mengasuh Every. Benar, kan?"

****

To be continued

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience