Tangisan Siapa

Drama Series 3289

Rasa lelah dan kangen kepada istriku, setelah seharian bekerja di kantor memaksaku untuk melajukan mobil lebih cepat.

Maklum, aku baru sebulan menikahi Widuri Astari-istriku. Empat puluh lima tahun usianya jauh lebih tua dariku.

Namaku Destra Bramasta 27 tahun, anak seorang pengacara terkenal, ketiga dari enam bersaudara. Aku menikah dengan Widuri, wanita yang kukenal lewat dunia maya setelah membuat postingan tentang sakit Papaku.

Perlu waktu dua setengah jam untuk sampai di rumah. Aku segera memasukkan mobil ke dalam garasi. Sepi, seperti tidak ada orang.

Padahal biasanya selalu ramai, di rumah milik Papa yang besar dan megah dengan tujuh kamar tidur, empat kamar mandi, dua ruang tamu inilah aku tinggal bersama Bibi serta suaminya, juga ketiga adikku.

Kedua kakakku sudah menikah, sedangkan dua adikku masih kuliah dan yang bungsu baru naik kelas tiga SMP.

Aku tidak melihat Widuri ke luar menyambutku. Mungkin dia sedang sibuk bersolek hingga tidak mendengar suara mobil.

Aku segera mematikan mesin mobil, lalu masuk tanpa sambutan sang istri langsung menuju kamar pribadi kami.

Namun di kamar pun tidak aku temukan, lalu kulangkahkan kaki menuju kamar Papa. Biasanya istriku ada di sana merawat Papa yang sedang sakit dan dalam penyembuhan setelah koma hampir dua bulan.

Aku mendekati kamar Papa, tetapi tiba-tiba terdengar suara tangisan yang mendayu.

Karena penasaran, kupercepat langkah menuju pintu kamar Papa dan menempelkan daun telinga. Tangisan itu semakin nyata terdengar dengan suara yang terbata.

"Mas, kenapa kamu jadi seperti ini? Kamu harus kuat dan cepat sembuh. Jangan buat aku khawatir, kamu lihat aku, Mas! Sekarang aku ada di sini untuk merawatmu sampai sembuh. Aku tidak menyangka, Mas. Setelah hampir dua puluh tahun aku menantikanmu, dua puluh tahun merindukanmu, dua puluh tahun menangisimu, aku terus menjaga hati dan cinta ini, walaupun pada akhirnya aku luluh di hadapan Destra. Destra yang ternyata ...." Lirih suara itu terjeda bercampur tangis. "Mas! Bangun! Lihat aku yang sedih melihat keadaanmu seperti ini." sambungnya.

Tangisannya semakin jelas, membuat aku mengernyit dan bertanya. ' Suara tangis siapa itu, apa maksudnya?' gumamku.

Sedangkan semua orang dari pagi sudah pergi dengan kesibukannya masing-masing dan belum ada yang pulang. Aku juga sudah hapal betul suara siapa saja yang ada di rumah ini? Untuk meyakinkan aku mengintip dari lubang kenop kunci, di situlah dadaku berdetak tidak karuan.

Aku melihat istriku sedang memegangi, mengelus dan mencium tangan Papa lalu di tempelkan di pipi halusnya itu. Dia sandarkan kepalanya di dada Papa yang sedang tertidur.

Darahku terasa bergejolak, rasanya ingin kudobrak pintu kamar Papa. 'Ini ada apa sebenarnya, kenapa istriku menangis sampai sesenggukan seperti itu? Sangat terlihat jelas rasa kesedihannya terpancar dari raut wajahnya. Apa jangan-jangan dia sudah mengenal Papa sebelumnya? Ah, tidak mungkin!' Aku terus membatin.

Tetapi ada satu hal yang membuatku penasaran, saat mendengar dia mengatakan dua puluh tahun yang lalu sambil menyebut namaku. ' Ini ada apa? Siapa sebenarnya Widuri? Sayangnya ia tidak meneruskan kata-kata itu.

Aku kembali menempelkan daun telinga di pintu, ku ambil ponsel untuk merekamnya dari celah lubang kunci.

"Mas, jujur. Sebenarnya aku sakit hati sama kamu! Aku kecewa setelah kamu tinggalkan tanpa kabar, aku selalu mencari keberadaanmu sampai seperti orang gila! Tapi sekarang, kamu ada di hadapanku seperti ini, aku sedih. Kamu harus kuat, aku yakin kamu bisa melewati semuanya. Cepat sembuh Mas. Cepat sembuh, aku akan terus merawatmu dan terus berada di sini." Lirihnya.

Lagi, kata-kata itu membuat jantungku berpacu semakin tidak karuan, aku melihat istriku menyeka air matanya. Segera kumatikan ponsel, melangkah ke kamar dengan sejuta tanya. Membanting tas jinjingku, membuka jam tangan dan kancing baju, membiarkannya terbuka sambil berusaha merebahkan tubuh yang terasa lelah dengan beralaskan kedua tangan.

Pikiranku terus di selimuti rasa penasaran, benci, muak juga jijik mulai menyelimuti pikiranku. Ada apa dengan wanita itu? Cuih! Aku terasa ingin meludahi wajahnya yang terlihat sok lugu.

Tiba-tiba istriku datang, dia langsung masuk dan terlihat sangat terkejut saat melihatku. Kelopak matanya sedikit bengkak dan sembab, mungkin dia terlalu banyak menangis untuk Papa yang entah ada hubungan apa dengan mereka?

"Y--yang, ka-kamu sudah pulang? Maaf, aku tidak mendengar kalau kamu akan pulang secepat ini." Ucapnya gugup.

"Oh, jadi Ibu tidak suka aku pulang lebih cepat!" Jawabku sinis.

Itulah aku biasa memanggilnya dengan sebutan Ibu, lalu bangkit mengambil posisi duduk.

Hampir saja aku tidak bisa mengendalikan diri, tetapi aku tidak mau gegabah sebelum tahu yang sebenarnya, setidaknya harus menunggu sampai semuanya terungkap.

"Bu-bukan begitu, aku senang kok kamu pulang lebih cepat. Sebentar, aku ambilkan air minum dulu." Jawabnya dengan wajah gusar.

Widuri berlalu dari hadapanku dengan salah tingkah, aku tidak menjawab. Mendadak rasa benci saat melihat dia ada di depanku. Terbayang bagaimana ia memperlakukan Papa tadi.

Tidak lama istriku datang dengan segelas air putih dan menyodorkannya kepadaku yang masih diam.

"Ini, Yang. Minumlah, apa mau langsung di siapin makan atau mandi dulu?" Tanyanya dengan lembut.

Lagi, aku tidak menjawabnya. Melainkan membuang muka dengan wajah kecut, membuat wanita yang ada di hadapanku itu merasa heran.

Jujur, sebenarnya aku sudah lapar, kangen dengan masakannya yang sangat enak itu. Dia bukan hanya pandai mengurus keluargaku, tetapi juga pandai memanjakan lidah kami.

Sebenarnya aku tidak meminta istriku untuk mengerjakan pekerjaan rumah, seperti memasak. Aku hanya memintanya untuk pokus merawat Papa dan keperluan adik-adikku. Tetapi dia memaksa dengan alasan, memasak adalah kesukaanya.

Biasanya jam setengah empat pagi istriku sudah bangun menyiapkan semuanya untuk sarapan pagi, makan siang dan hidangan untuk malam dengan menu yang berbeda-beda membuat kelurga kami sangat menikmatinya.

Dia bukan hanya cantik, tetapi juga pandai mengurus kami. Usianya yang tidak muda lagi, ia seperti Ibu buat adik-adikku.

"Yang, kamu kenapa? Kok diam saja, apa ada masalah di kantor?" Tanyanya dengan wajah cemas.

Aku masih diam saat istriku mendekat dan bertanya, memilih pergi dari hadapannya membuat ia terpaku dengan sikapku.

"Yang, kamu belum jawab pertanyaanku. Kenapa diam saja? Kamu mau ke mana? Apa aku sudah buat salah? Aku minta maaf. Tapi kesalahan mana yang sudah aku lakukan sama kamu, Yang?"

Widuri terus mencerca dengan pertanyaan, aku tidak menghiraukannya. Bahkan hanya sekadar untuk menanyakan kondisi Papa saja aku enggan.

Entah apa yang sudah di lakukannya bersama laki-laki yang bernama Papa dalam tidurnya?

Maaf, sebenarnya cerita ini sudah tayang. Tapi karena tangan jahil tidak sengaja memencet tombol hapus.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience