Hari minggu. Hari yang banyak disukai orang-orang. Kalian tau apa alasannya? Kalau menurutku, mungkin hari minggu itu digunakan orang-orang untuk waktu santai dan beristirahat. Tapi tahukah kalian kalau aku tidak begitu suka dengan hari minggu.
Alasannya sederhana.
Karena hari libur, aku tidak bisa melihatnya.
Bagi sebagian orang, sekolah bisa dijadikan alasan untuk bertemu sang pujaan. Begitu pun denganku. Salah satu alasanku pergi ke sekolah karena adanya dia. Makanya aku lebih suka di sekolah daripada di rumah.
Alasan lain karena telingaku sakit karena terus mendengar ocehan Kak Davin. Untung hari ini dia tidak ada di rumah. Jadi aku bisa terbebas dari gaungan si macan liar itu.
"Non Dira, mau dimasakin sarapan apa? Bibi baru beli ikan di pasar." tanya Bi Iyem dari arah dapur.
"Em.. buatin roti bakar aja, boleh?"
"Ya boleh dong, Nona cantik. Kalo gitu, Bibi buatin sekarang ya."
"Iya."
Aku tersenyum melihat tingkah Bi Iyem yang sangat perhatian padaku. Bahkan, kalau boleh jujur, perhatian Bi Iyem padaku melebihi perhatian Ayah dan Ibu. Aku tidak berniat membanding-bandingkan. Tapi, aku hanya merasa seperti itu.
Hanya butuh waktu tiga menit, roti itu sudah tersaji di atas meja. Bi Iyem langsung mengambil alih tempat duduk di hadapanku. Padahal aku sendiri tidak menyuruhnya untuk duduk.
"Non Dira belum punya pacar ya?"
"Uhuk..uhukk."
"Eh, pelan-pelan Non, makannya!" Bi Iyem mengambil tisu dan memberikannya padaku.
"Bi Iyem ngapain nanya kaya gitu?" tanyaku pada wanita tua itu.
"Ya nggak papa. Nanya aja. Emang nggak boleh Bibi nanya kaya gitu."
Aku melanjutkan aktivitas makanku tanpa menjawab pertanyaan Bi Iyem terlebih dahulu.
"Yang suka ngongkrong di warung Bibi banyak yang ganteng, Non. Mau bibi bawain ke sini?"
"Ih Bi Iyem apaansih. Aku belum punya dan lagi nggak mau nyari pacar. Lagian kan, Ayah juga ngelarang aku buat pacaran." jawabku dengan singkat.
"Heleh, ada aja anak jaman sekarang yang nurut sama ucapan orang tua. Emang Non Dira nggak malu dikatain jomblo di umur 17 tahun." ucap Bi Iyem. "Jamannya Bibi muda dulu, Bi Iyem sering dapet surat dari cowok-cowok di sekolah. Keren kan, Non?"
Aku terkekeh pelan. "Iya, keren."
"Non Dira pernah dapet surat dari cowok?"
Aku menggeleng kuat. "Nggak pernah. Emang kenapa?"
"Yah, kasian. Padahal Non Dira cantik, pinter, tapi kok nggak ada yang ngasih surat."
"Nggak penting lah, Bi masalah surat-suratan. Yang penting nilai-nilaiku di sekolah bagus. Biar bisa banggain ibu sama ayah."
Bi Iyem berhenti bicara saat aku mengucap kalimat itu. Raut wajahnya pun seketika berubah. Aku tidak terlalu peduli dengan hal itu dan langsung menyantap satu roti lagi. Aku bergegas pergi keluar karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Sudah waktunya untuk berolahraga.
Sebelum pergi, aku mengucap rasa terimakasihku dulu pada Bi Iyem yang dibalas anggukan kepala olehnya.
"Bahagia itu penting, Non." ucapan Bi Iyem itu membuat langkahku langsung terhenti.
"Bibi tau Non Dira nggak begitu bahagia saat ada di rumah. Makanya, Bibi berharap Non Dira bisa ketawa dan seneng di sekolah. Ya.. nggak mesti soal laki-laki juga."
Entah kenapa, ucapan itu sangat menohok ke dalam dadaku. Aku tidak tau bahagia itu apa dan seperti apa rasanya. Tapi menurutku, seperti ini saja sudah cukup.
Sudah berada di rumah megah berlantai dua. Sudah punya keluarga dan para asistennya yang siap mengurus segala kebutuhanku. Itu saja sudah cukup. Bahagia menurut kamusku ya seperti ini. Meski kadang aku sering menangis karena ulah kakakku. Tapi hidup berkecukupan seperti ini saja sudah cukup membuatku bahagia.
Dan aku tidak tau apa arti bahagia menurut orang lain.
"Non Dira juga harus jaga kesehatan. Jangan terlalu memporsir belajarnya karena Non Dira juga butuh menghirup udara luar."
"Aku tau apa yang harus aku lakuin. Jadi Bibi nggak perlu khawatir." ucapku dan langsung pergi ke luar.
Entah kenapa, ucapan Bi Iyem terngiang-ngiang di telinga. Kenapa, semua orang terus menyarankanku untuk seperti itu. Dari mulai teman-temanku hingga Bi Iyem. Jangan terlalu serius, jangan terus menghabiskan waktu untuk belajar. Memang apa salahnya dengan itu.
Memang hobiku belajar. Dan aku merasa nyaman jika setiap waktuku diisi dengan belajar. Bagiku itu akan terasa bermanfaat.
Ah.. ya sudahlah. Aku tidak peduli tentang apa yang mereka katakan. Bagiku, aku ya diriku sendiri. Apapun yang orang lain pikirkan tentangku, aku tetap tidak peduli.
Aku menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan keras. Hari yang baik ini tidak boleh aku lewatkan hanya dengan menangis seharian.
"Ayo Adira, semangat!" aku pun mencoba untuk menyemangati diriku sendiri sambil berlari pelan mengelilingi komplek perumahan.
Dan langkahku tiba-tiba terhenti saat sebuah sepeda pixie melaju dan berhenti tepat di hadapanku.
"Hai!" aku terkejut saat cowok itu berbalik badan.
"Athar."
"Mau ikut?" cowok itu mengajakku untuk naik ke atas sepedanya.
Aku tidak bisa menjawab lantaran masih berusaha menetralkan detak jantungku. Masih terkejut sekaligus tidak percaya. Untuk apa Athar ada disini. Bukankah rumahnya bukan di kompleks perumahan ini.
"Ayo, nanti makin siang." Athar lalu menggenggam tanganku untuk naik ke atas sepedanya.
Dia memasang penumpu kaki yang ada di roda belakang. Jadi, mau tidak mau, aku harus berdiri jika ingin ditumpangi olehnya. Aku menurut saja karena ini adalah kesempatan emas yang tidak akan datang untuk yang kedua kalinya.
Selama di perjalanan aku tidak bicara satu kata pun. Sulit rasanya menggambarkan perasaanku saat ini. Yang pasti, senyuman tidak pernah lepas dari wajahku.
Kalian tau, aku diam-diam menyukai Athar. Ya, perasaan itu bermula saat dua tahun yang lalu. Sudah lama bukan? Semuanya bermula saat dia menolongku dengan memberikan semua barang bawaannya agar aku tidak dihukum oleh kakak kelas.
Sejak saat itu, aku mulai mengagumi keberaniannya bahkan aku mengaguminya karena prestasinya yang cukup bagus di sekolah. Apalagi saat kami secara tidak sengaja dinobatkan menjadi pemimpin sekolah. Perasaanku padanya semakin tumbuh seiring berjalannya waktu.
"Kita mau kemana?" akhirnya aku bersuara. Penasaran juga, kemana dia akan membawaku pergi.
"Kemana-mana hatiku senang." Athar menjawabnya dengan santai.
Aku menjewer telinganya hingga sepeda yang aku tumpangi sedikit oleng. "Serius ih."
"Udah jangan banyak tanya. Nanti juga lo tau."
Sebenarnya tidak peduli juga kamu mau membawaku kemana, Athar. Karena aku tau kamu laki-laki yang baik. Kamu tidak akan membiarkanku berada dalam bahaya. Dan bisa dipastikan aku akan selalu tersenyum sepanjang hari ini.
Mungkin, hal ini juga ada dalam kamusku. Bahagia yang begitu sederhana. Saat aku bisa menghabiskan waktuku bermain bersamamu.
Bi Iyem benar. Aku tidak seharusnya menghabiskan waktuku hanya untuk belajar. Sesekali aku harus pergi keluar untuk sekedar refreshing.
"Dah, sampe..." laju sepeda yang aku tumpangi ini semakin pelan. Hingga akhirnya aku dan Athar turun dari sepeda.
Mataku menatap sekeliling. Tempat yang aku datangi saat ini terlihat cukup ramai karena sudah terbiasa dipakai untuk jalan santai. Tanpa menunggu waktu lama, kakiku melangkah untuk masuk ke dalam taman tersebut. Kebetulan, ada satu buah ayunan kosong dan aku langsung menempatinya.
Athar berlari menghampiriku. Cowok itu mengeluarkan mp3nya dan memasangkan earphone kepadaku. Aku hanya bisa memandangi wajahnya tanpa bisa berkata apa-apa. Lagu favoritku diputar.
"Lo juga suka lagu ini?" tanyaku yang dibalas anggukan kepalanya. "Kok bisa sama ya."
"Pertanyaan lo salah. Harusnya kenapa lo suka lagu yang gue suka?" dia sedikit mengoreksi pertanyaanku.
"Itu mah keribetan."
"Ya di dunia ini yang suka lagu true colors banyak, kan? Bukan cuma gue doang."
"Iya, iya. Kan cuma nanya." ucapku yang sudah malas untuk berdebat dengan Athar.
Aku melirik Athar yang kini sedang menatap jalanan. "Lo kok bisa ada di komplek rumah gue? Bukannya rumah lo jauh ya dari sini?"
"Emang. Tapi sekarang udah pindah."
Tunggu. Pindah katanya?
"Kenapa pindah?" tanyaku penasaran.
"Mau pindah aja. Emang nggak boleh?"
"Ish. Yang serius lah. Kenapa bisa pindah?" aku mengulang pertanyaanku.
Athar tersenyum. Pandangannya kembali ke arah depan. "Gue pengen deket sama lo. Makanya pindah."
Hanya dengan ucapan itu saja bibirku terasa kelu. Aku tau pasti dia tidak serius saat mengucapkan kalimat itu. Tapi aku sangat berharap Athar benar-benar serius mengucapnya.
"Idung lo makin panjang tuh. Bohong terus kerjaannya." aku mencebik kesal.
"Dih, kok gitu. Gue serius, Dir. Pengen banget deket sama lo. Berangkat bareng, pulang bareng, belajar bareng." Athar mengedipkan sebelah matanya. "Biar lo baper sama gue."
"Kenapa pengen buat gue baper?"
"Supaya gue tau, lo itu suka sama cowok apa enggak."
"Oh, jadi lo nganggep gue itu lesbi?" aku memasang tampang sangar agar dia menyesali perkataannya barusan.
"Nggak gitu." Athar menyilangkan tangannya di depan wajah ketika aku berniat memukulnya.
Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini. Moodku tiba-tiba jadi berantakan gara-gara Athar menganggapku suka dengan perempuan. Daripada aku menghabisi Athar disini, akan lebih baik jika aku berlari memutari lapangan yang ada di depan taman. Tujuanku kan ingin berolahraga. Kenapa jadi berantakan karena Athar.
"Hei, Adira! Gue minta maaf." teriaknya sambil mengikuti langkahku yang semakin menjauh darinya.
"Nggak."
"Maafin dong. Tuhan aja maha pemaaf, masa umatNya nggak."
"Tau nggak omongan lo nyakitin."
"Kan gue becanda, sayang."
Aku tetap mengabaikan cowok itu. Kini, Athar sudah berada di sampingku. Cowok itu terus merengek meminta maaf atas ucapannya barusan. Aku tetap bersikukuh akan terus mendiamkannya selama satu hari ini.
Memangnya kalau tidak pernah pacaran bisa dianggap suka sesama jenis? Tidak, kan. Aku tidak pernah pacaran karena satu alasan yang kuat. Yaitu karena Ayah tidak mengizinkanku untuk pacaran. Dan menurutku, pacaran itu tidak berguna, kan? Lebih baik mengejar impian daripada melakukan hal yang tidak bermanfaat seperti pacaran.
Oke, kembali ke situasi sekarang. Aku masih berlari mengelilingi taman itu. Athar masih terus merajuk. Orang-orang yang berada di dekat kami memperhatikan kami dengan heran. Karena tidak mau menanggung malu, aku akhirnya berhenti. Lalu menatap wajah cowok itu. Masih dengan raut kesal.
"Maafin yah." Athar memegang tanganku sembari mengedipkan sebelah matanya.
Aku menghela napas panjang. Sebenarnya, masih sedikit kesal. Tapi, ya.. kalian tau lah. Kita tidak akan bisa marah berlama-lama dengan orang yang kita suka. Pasti kalian seperti itu kan. Karena tidak ingin dia menjauh dari kita.
"Oke. Kali ini gue maafin. Tapi lain kali lo nyebut gue suka sesa--" belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Athar sudah lebih dulu memotongnya.
"Tadi kan gue nggak bilang lo lesbi. Cuma becanda doang lagian. Baper amat jadi orang."
Aku memutar kedua bola mataku dengan malas dan membiarkan kakiku melangkah menuju bangku panjang di dekat patung gajah. Angin pagi saat ini membuatku mampu memejamkan kedua mata.
"Lo kenapa nggak mau pacaran sih?" masih sambil berjalan, cowok itu bertanya padaku. Posisi Athar berjalan tepat di belakangku.
"Kan masih kecil." jawabku dengan polosnya. Aku sempat menggigit bibir bawahku setelah menjawab pertanyaan Athar. Takut kalau dia menertawaiku.
"Hahaha... tujuh belas tahun masih kecil?"
Aku berbalik badan. "Trus lo? Kenapa belum punya? Bukannya lo juga belum pernah pacaran?"
Athar menyunggingkan senyumnya, perlahan dia menghampiriku. "Gue rasa, orang itu belum siap jadi pacar gue."
Mata kami saling beradu. Perasaan aneh mulai berdesir dalam dadaku. Entah kenapa setiap melihat Athar, perasaanku padanya semakin kuat. Apalagi saat mata cokelatnya itu beradu dengan mata hitam milikku. Rasanya lutut terasa lemas.
Aku memaksakan diriku untuk tersenyum. Agar dia tidak tau bahwa aku sedang gugup saat ini. "Em.. siapa ya kira-kira calon pacarnya Athar?"
Cowok itu tertawa. Dia langsung menggenggam tangan kananku dan menyeretku untuk segera pergi dari taman. Aku kebingungan dengan sikapnya. Kenapa tiba-tiba seperti ini.
Dia berlari. Sontak, aku pun ikut berlari karena tanganku masih digenggam olehnya. Kami melewati beberapa pedangan di pinggir jalan. Hingga akhirnya, langkah Athar terhenti tepat di depan sebuah kedai ice cream yang ramai.
"Lo tunggu gue di kursi kosong ya!" titahnya dan langsung bergabung dengan puluhan orang yang sedang mengantre.
Setelah menemukan tempat duduk, aku memperhatikannya dari jauh. Kadang, aku tersenyum kecil melihat tubuhnya yang putih itu terkena panas matahari. Wajahnya langsung berubah merah seperti tomat.
Cukup sulit mendapatkan ice cream itu. Dan aku cukup tersentuh saat dia rela mengantre lama hanya untuk membelikanku ice cream.
Beberapa menit kemudian, Athar berlari-lari kecil ke arahku. Keringat bercucuran di keningnya dan jatuh ke pipi.
"Buat lo!" Athar memberiku satu scoop ice cream.
"Vanilla." ucapku dengan mata berbinar.
Athar mengacak rambutku. Mengusapnya dengan pelan sambil tersenyum. Aku ikut tersenyum karena tidak tahan melihat manisnya dia saat lesung pipi di wajahnya muncul.
"Udah nggak ngambek lagi kan sekarang?" tanya cowok itu dan langsung kubalas dengan anggukan kepala.
"Lo lucu."
"Apa?"
"Iya, lucu. Bisa langsung disogok sama es krim vanila." ucapan Athar itu membuatku tertawa. "Pantes masih kecil."
"Hehe.. siapa orang yang nggak mau disogok sih. Pake es krim yang harganya lima belas ribu lagi." ucapku sambil menunjukkan senyum gigiku.
Athar menopang dagunya. "Kenapa lo suka es krim vanila?"
"Em.. suka aja. Warnanya putih bersih gitu, Thar." ucapanku itu membuat Athar tertawa.
"Gemesin." cowok itu hendak mencubit pipiku, namun gagal karena aku menahan tangannya.
"Belum muhrim, Athar. Nggak boleh pegang-pegang."
"Iya, anak kecil."
Selebihnya, kami mengobrol santai di bawah pohon kelapa sembari menunggu ice creamku habis. Hari ini akan kutandakan sebagai hari yang indah. Tidak ada Kak Davin sepanjang hari, dan punya tetangga baru, yaitu Athar.
Tidak dipungkiri lagi kalau aku sangat senang. Dan tepat jam sepuluh pagi, kami beranjak meninggalkan taman itu. Senyum terus menghiasi wajahku. Andai.. hari ini akan terjadi lagi di hari-hari berikutnya. Hari dimana aku bisa tersenyum dan tertawa lebar tanpa adanya beban.
Aku bersyukur karena masih ada Athar yang setidaknya bisa menghiburku saat aku merasa sedih. Dan aku bersyukur karena sekarang aku diberi kesempatan untuk bisa melihatnya setiap hari.
Tuhan.. Terimakasih.
Terimakasih karena sudah mengirim Athar ke dalam hidupku. Untuk menjadi teman yang selalu ada di saat suka maupun duka. Menjadi teman yang siap menghiburku kala duka datang tanpa aba-aba.
Aku janji. Setelah ini, aku akan terus semangat. Tidak peduli apa yang orang lain pikirkan tentangku. Khususnya, jika Kak Davin mencelaku nanti. Aku janji aku akan kuat.
Share this novel