SIDE STORY VIAN FAMILY
Waktu terus berjalan, semuanya begitu cepat, sangat terasa, kuusap nisan yang yang kini berada di depanku. Orang-orang yang sangat kucintai sudah pergi. Aku kembali menitikkan air mata jika di sini, berada di antara gundukan tanah yang tertata rapi.
“Mom, sudah yuk hari sudah sore.” Suara buah hati kesayanganku kini menyeruak di antara telinga. Kavi, alias Al yang selalu menjagaku, selalu memberiku kekuatan di saat aku terpuruk karena bersedih kehilangan orang-orang yang kusayangi.
Aku mengangguk dan beranjak dari atas rumput. Kavi membantuku berdiri. Tubuhku ini sudah terasa begitu rapuh, kupikir. Kami melangkah dalam hening, hanya gemerisik angin yang membuat suara berisik di antara rimbunnya pepohonan kamboja di areal pemakaman ini.
Al akhirnya membukakan pintu mobil dan membantuku masuk, aku jadi tersenyum. Masa itu, masa di mana aku terus dimanja dan diperlakukan penuh kasih oleh Vian, Bee, suamiku tersayang, ah aku merindukannya.
“Kenapa Mom? Ikhlaskan, ya.” Al mulai menjalankan mobilnya, menembus rimbunnya pohon yang menaungi area pemakaman ini. Kutolehkan wajah ke arah belakang, ke arah batu-batu nisan tempat bersemayamnya semua orang yang kucintai dan kusayangi. Damai di sana semoga.
*****
“Mommy ...” Seorang gadis cantik kini menubruk tubuhku yang baru saja turun dari mobil.
“Eh, El sudah sampe, ya.” Kuusap rambutnya dengan sayang, dan El pun menganguk dan mencium pipiku.
“Baru saja, tuh nungguin di stasiun dari tadi jam 3, Mom, eh si Aby jemputnya jam 5, laaahhh kita nungguin 2 jam di stasiun Tugu, untung om Evan, sama tante Nad ikut nemenin, kan kali ini pulang, kalo ga ya, bosen,” ucapnya manja dan kucium lagi pipinya yang putih itu. Persis Vian, benar-benar, duplikat Vian. Dia ini menginjak dewasa, dia memang lebih dekat dengan Nadia dan juga Evan. Bahkan, El ini mengikuti jejak tantenya, Nadia, menjadi anggota kepolisian. Sudah sejak lulus SMU, El akhirnya melanjutkan pendidikan polisi di kota Semarang, dan dia ikut tinggal di asrama selama ini, meski sering pulang ke Banyumanik, ke rumah Evan dan Nadia. Yup, Evan mendapat tugas bekerja di rumah sakit di Semarang sejak 5 tahun yang lalu. Nadia pun akhirnya bisa ikut pindah juga dan bertugas di sana. Dan tentu saja ditemani dengan 2 putrinya yang hanya berjarak 1 tahun. Naomi Larasati dan juga Laudya Narendra Putri. Yup, dua putrinya hanya berjarak 1 tahun dengan Aby, sekarang mereka berumur 14 tahun dan juga 13 tahun.
“Mamiiiii, udah datang, ya.” Suara Rasya kini mengagetkanku, dan ketika kutolehkan ke arah pintu samping, ada Rasya dengan Ratih yang tampak mungil tapi sangat cantik itu. Mereka hanya dikaruniani 1 orang putri yang kini baru berusia 6 tahun, Raisa namanya.
“Sya, jam berapa dari Bandung?” Rasya menjabat tangan dan mencium tanganku, diikuti Ratih dan juga Raisa yang berada di gendongan Rasya.
“Udah dari kemarin, Mi, tapi ke Solo dulu mampir ke rumah, papa dan mama Reni pengen ketemu Raisa. Lagipula itu si Nayla juga harusnya ikut kemari sekarang tapi dia kan ga bisa ninggalin kerjaannya jadi besok deh baru ke sini,” jelas Rasya panjang lebar.
“Mbak Aline, udah lama ga ke Bandung ya, tengokin cafénya, Mbak. Menunya makin beragam itu,” jelas Ratih yang kuangguki dengan senyuman.
“Udah, ga ada waktu, Tih, lagipula makin maju kan, ya dikelola kalian. Itu café udah lama banget maju di tangan Rasya kok.” Ratih tersenyum, tapi Rasya sudah berlari mengikuti Raisa yang kini sudah mengejar balon yang tadi dipegangnya. Ratih juga akhirnya berpamit mau mandi dulu. Aku pun juga ingin segera masuk ke dalam rumah.
Al masih sibuk dengan mobilnya. Kulangkahkan kaki menuju ruang depan. Rumahku, tepatnya rumah peninggalan Bunda dan Ayah yang masih kurawat dengan baik. El sudah sibuk membawakan tas dan koperku yang baru saja dikeluarkannya dari mobil. Kuedarkan pandangan ke arah seluruh ruangan.Rumah ini masih tampak sama. 15 tahun bukan waktu yang sebentar, semuanya kutinggalkan begitu saja dan baru 1 tahun kemarin rumah ini ditempati oleh Al kembali. Al yang baru saja menyelesaikan pendidikannya sebagai seorang chef. Nah jangan heran kenapa Al lebih memilih mengambil jurusan itu, padahal otaknya seencer Vian. Bahkan saat dulu Al merengek tak mau kuliah sebgai dokter, aku hanya tersenyum geli saat Vian mengimingiminginya dengan fasilitas yang ada. Agar Al mau menjadi dokter, tapi dia bersikeras mengambil pendidikan chef dan akhirnya menempuh pendidikan di Amerika. Tadinya Vian kecewa, tapi begitu melihat prestasinya, bahkan kini Al sudah bisa mempunyai restoran bintang 5 di sini dengan hasil jerih payahnya itu bersama beberapa temannya, aku patut berbangga hati.
Sedangkan aku sendiri memang ikut Vian, ke Dubay, dia mendapatkan kesempatan bekerja di sana. Hal itu membuatku kerepotan merawat Al, El, dan juga Aby. 10 tahun kami menetap di sana, sampai akhirnya 5 tahun yang lalu kami mendapat kabar kalau papa mendapatkan serangan jantung dan meninggal. Vian mengambil langkah untuk pulang ke Indonesia, merawat mama dan juga mengurusi rumah sakit di sini. Dan selama 5 tahun itu aku tak pernah ke sini, karena kami tinggal di rumah keluarga Atmawijaya, menjaga mama yang sudah sakit tua juga. Akhirnya 1 tahun yang lalu, mama menyusul papa, orang yang selama ini menyayangiku telah tiada.
“Jadi semua sudah datang, ya?” Kutatap Al yang kini sudah berdiri di sampingku.
“Sudah, itu kak Aya dan Danu juga udah datang, tinggal pakde Ryan dan Bude Sisca yang katanya tadi mampir ke rumah sakit kakung.” Kuanggukan kepala.
“Lahhh, Tante Putri dari London katanya juga udah datang Al, lha mana?”
Al menunjuk ke arah taman di belakang rumah, kulihat Tian yang tetap kelihatan tampan itu meski usianya juga sudah setengah abad sepertiku, dan aku tersenyum geli melihat Putri yang makin cantik dan tampak seperti anaknya Tian, padahal di pangkuan Putri sudah ada Alice, putri ketiganya yang baru berusia 8 bulan, sedangkan kedua putranya kulihat sedang berlarian di taman belakang dengan Aby. Tuh kan, Aby ini, si Nicholas yang baru berusia 7 tahun, dan Michele yang baru berumur 4 tahun sudah diajak berlarian di taman belakang. Haduh, anak bule pasti di sana jarang itu main layangan.
“Aline.”
“Mbak.”
Dan saat kutolehkan wajahku, di sana sudah ada Nadia yang langsung menghambur ke arahku.
“Neee, calon nenek ya kita,” ucapnya lucu, membuatku terkekeh. Ya memang sudah nenek-nenek.
“Budeeee.” Evan didahului oleh dua orang putri yang sudah menghambur ke arahku. Lalu langsung mencium punggung tanganku.
“Duh, ponakan bude ini ya, udah gede-gede, ni Naomi persis bundamu banget, deh,” kulirik Nadia yang masih terlihat ramping dan tetap bugar meski usianya sudah tak bisa dibilang muda lagi, bahkan benar katanya kami sudah menjadi nenek-nenek, tapi badannya tetap terawat, bahkan tak disangka usianya sudah sama denganku. Seperti seumuran dengan Evan.
“Bude, Kak El udah punya pacar, loh,” celetuk Laudya lucu yang langsung mendapat pelototan dari El yang sedang menata meja makan.
“Ehhhhhh, hayooo ngadu deh, ya, sini besok ga tak beliin boneka barbie, loh.” El kini mulai mengejar Naomy dan Laudya yang sudah berlarian itu. Dasar kalau cewekcewek berkumpul pasti begitu.
“Aliiiiiinnnneeeee, Neneekkkk, ahhhhh, I miss you.” Suara Sisca yang masih centil membuatku dan Nadia langsung menoleh ke arah pintu, dan benar saja itu orang yang satu itu tetap terlihat cantik dan modis. Ryan dan Sisca memang tetap menetap di Singapura. Dan kehidupan mereka bisa dikatakan berlimpah harta. Butik Sisca sangat maju di sana. Profesi Ryan juga bisa diandalkan. Aya dan Danu untung saja tak jadi pribadi yang manja, mereka malah memilih hidup di Indonesia. Si Aya malah tinggal di pesantren, sedangkan Danu sepertinya akan masuk ke pesantren juga. Itu karena mereka dirawat oleh kedua orang tua Sisca, yang sangat taat menjalani agamanya.
“Nenak nenek, kamu sendiri juga mau jadi nenek!” Kucubit pipinya itu membuatnya mengaduh.
“Eh kita nenek cantik, ya, iya kan, Pi,” diliriknya Ryan yang hanya tersenyum itu, di usianya sekarang dia tampak begitu berwibawa.
“Eh tapi kan yang mau jadi nenek beneran, lah ini Al mau nikah, terus punya baby … aaahhhh Aline, sudah mau jadi nenek,” tawanya seketika berderai, dasar Sisca tambah membuatku geli.
“Heh, ketawanya itu loh Sis, duuuhhhhh.“ Tian yang baru saja masuk ikut nimbrung, Putri langsung melangkah ke arahku dan memelukku erat. Tian sendiri kini menggendong putri kecilnya yang gembil itu.
“Mbak Aline, kangen,” rengek Putri masih manja ketika berada di pelukanku.
“Eeehhhhhh, pakde Tiaaaann, wah itu putrinya sini sini aku gendong.” Sisca pun kini asyik dengan putri kecil Tian dan Putri. Nadia pun juga ikut menghambur ke arah Alice yang lucu itu.
“Aduh, Miiii, ini aku dikeroyok nenek-nenek,” teriak Tian ke arah Putri membuat Putri terkekeh, lalu kurasakan Evan menggamit lenganku dan menarikku dari keramaian.
“Mbak, itu Al udah beneran siap besok mau nikah?” Dia mengajakku untuk duduk di teras depan. Semilir angin menerpa wajahku.
“Lah, si Al udah siap, Van, dia bilang daripada dia membuat dosa, mending nikah gitu, padahal usia juga baru 20 tahun, tapi dia ngotot mau nikahin Ceryl yang baru saja dikenalnya lewat taaruf 3 bulan yang lalu.”
Evan tersenyum, selama ini dia memang sangat menjaga Al, mengingat dari dulu Al juga dekat dengannya.
“Al itu dingin, ya, sama cewek, heran padahal dulu papanya ramah banget deh sama cewek.” Seketika kucubit perut Evan membuatnya mengaduh.
“Ehhhhhhh ada yang bermesraan di sini, ya?” Aku tersenyum mendengar suara itu, suara yang hampir 20 tahun ini menemaniku. Aku melihat sosoknya yang kini masih berbalut jas dokternya, masih sangat terlihat tampan. Dan semakin berwibawa, dialah Vian Atmawijaya, suamiku. Evan hanya menyeringai saat Vian mengepalkan tangannya ke arah Evan, dasar mereka ini tak ingat umur sudah banyak.
“Fey, missing you.” Vian langsung duduk di sampingku dan mengecup keningku. Kebiasaan dari dulu kalau dia pulang kerja.
“Diiiiiihhh, udah mau jadi nenek-kakek saja masih, yaa,”ejek Evan membuat Vian malah merengkuhku makin erat.
“Biarinlah, nenek-kakek, kan wajahnya, laahh dalamnya masih gejolak remaja usia 17 tahun,” ucap Vian lalu mengecupku lagi. Dasar tak ingat umur masih saja mesum.
Share this novel