Melewati semilir angin malam dengan sejuta kebisingan suara mobil ambulans membuat udara ini begitu sangat sesak. Ku termangu dengan ayah dalam meratapi ibu yang kini terbaring di atas ranjang dalam ambulans dengan gantungan infus di tangannya. Aku tak menginginkan semuanya pergi secara perlahan, termasuk ibuku. Terlalu banyak kenangan dan cerita yang telah aku, ibu, dan ayah rangkai dalam jagat raya ini.
Kini ibu dengan penyakitnya yang ganas menggerogoti seluruh tubuh ibu yang suci, barah payudara yang dihidapi di tubuh ibu sejak dulu sampai sekarang masih dirasakan, bahkan semakin parah. Aku sudah buntu dan tidak tahu buat apa, hanya mampu mengirimkan doa untuk sang ibu yang menjadi harapan dari setiap hari-hariku. Titisan air mataku terus mengalir dari kelopak mata yang kian sendu dengan ratapan hati yang sangat memilukan.
“ya Allah bantulah Ibuku dalam menyembuhkan penyakitnya.” Ujarku dalam isak tangis yang tak kunjung reda di dalam mobil ambulans. Suara ayah menghentikan isak tangisku, dengan penuh kelembutannya ia menasihatiku. “sudah nak, Ibumu akan sembuh, kamu harus sabar dan tabah, apa pun yang terjadi itu kehendak yang maha kuasa, kita hanya mampu terus berdoa dan ikhtiar dalam kehidupan ini.”
Memang benar apa yang dikatakan ayah, bahwa aku harus mampu menerima apa pun yang terjadi. Tapi bagaimana jadinya jika ibu benar-benar mendahulukanku dan ayah? apa aku harus menggantikan peran ibu sejak aku masih duduk di bangku SMP.
Ya Allah… aku tak mampu membayangkan kehidupan yang kelam di esok hari. Mampu jadi ayah akan memberhentikan pendidikan sekolahku saat ini kerana tidak mungkin ayah akan melanjutkan sekolahku dengan hasil dari kerja ayah sehari-hari sebagai buruh petani yang cukup untuk biaya makan kami saja. Aku terus memikirkannya selama dalam perjalanan menuju rumah sakit umum Raden Soedjono Selong. Ketika mobil sudah berada dalam halaman rumah sakit para perawat yang bertugas ke luar dari dalam seolah-olah tahu bahwa pertanda dari mobil ambulans ini. Mereka segera membawa ibu ke Ruang Gawat Darurat (UGD).
“Yah, bagaimana dengan biaya rumah sakit ibu? apa Ayah mempunyai uang untuk membayar semua perawatan Ibu di rumah sakit ini?” Ujarku dengan polos kepada ayah yang tengah duduk sambil menutup mata dengan kedua tangannya yang kasar bekas kerja keras yang terus menerus dilakukan di ladang.
“tenang saja Nak, demi kesembuhan Ibumu Ayah akan lakukan segala cara untuk membiayai pengobatan Ibumu. Selama pekerjaan itu halal dan baik.” Ucapan ayah memang selalu membuat hatiku selalu tenang di saat aku dilanda kepedihan yang mendalam.
Ayah seolah-olah tahu apa yang tengah aku rasakan saat ini, sikapnya yang bijak dan ramah dengan penuh kasih sayangnya kepadaku dan ibu serta kepada adikku yang masih berumur dua tahun yang dititipkan di tetangga sebelah, sebelum kami pergi ke rumah sakit tadi. Terkadang ayah juga seperti serigala yang mengaung kelaparan dengan amarahnya yang sering kali muncul dengan tiba-tiba. Tak peduli apa yang ada di depannya untuk diobrak-abrik bahkan sampai akan mencelakakan kami semua sekeluarga.
Waktu terus beranjak larut malam, para dokter yang menangani ibu tak kunjung-kunjung ke luar sejak pukul 21.24 WITA sampai saat ini jam menunjukkan pukul 22.10 WITA. Apa penyakit ibu sangat parah sekali sehingga mereka ke luar sangat lama sekali? Aku bertanya tanya pada hatiku yang sedari tadi mengikuti arah keadaanku yang pilu ini.
“Ayah… kenapa para dokter itu belum ke luar juga, Rina jadi kasihan pada Adek di rumah?” ucapku pada ayah.
“Sabar Nak, ayo kita salat isya di musala sembari berdoa pada Allah semoga Ibu cepat sembuh!” ujar ayah mengajakku dengan menuntun langkahku yang telah gontai dari tadi kerana merasa kelelahan.
“ya Allah ya Tuhan kami, bantulah hambamu yang tak berdaya ini. Tiada lain tempat kami mengadu selain kepadamu ya Allah. Engkau maha segalanya bagi kami, engkaulah yang berhak mengatur kehidupan di bumi ini. Berilah kami kekuatan dalam menerima segala keputusanmu yang telah engkau rencanakan wahai Tuhanku. Tabahkan segenap jiwa anak hamba dalam menerima semuanya.”
“Semoga engkau selalu memberikan keluarga hamba kehidupan yang jauh lebih baik dari kemarin, kami tak mampu membendung deraian air mata akan cobaan yang engkau berikan. Sembuhkanlah penyakit istri hamba, kasihanilah dia. Hamba mohon sungguh padamu ya Allah.” ayah meneteskan butiran air matanya sambil berdoa, aku pun ikut menangis dengan penuh harap kepada yang maha kuasa. Aku langsung memeluk ayah yang dari tadi tak henti meneteskan air matanya. Kami saling berpelukan dalam deraian air mata yang berlinang.
Di tengah-tengah kami sedang menangis, ibu di dalam ruang UGD sedang berjuang menempuh kerasnya alat-alat dokter yang tak henti-hentinya mereka luncurkan ke tubuh ibu yang lemas tak berdaya. Suara mesin detakan jantung pun terus berbunyi dengan normal pertanda bahwa nyawa ibu masih ada. Mungkin para dokter sudah tak kuat lagi sehingga mereka perlahan-lahan merapikan tubuh ibu yang terkulai lemah. Seluruh alat telah dibersihkan dari darah ibu. Dan akhirnya para dokter itu ke luar dari UGD. Aku dan ayah yang sudah dari tadi menunggu langsung menanyakan keadaan ibu.
“Dok, bagaimana keadaan istri saya. Apakah mampu teratasi penyakitnya?” tanya ayah dengan sopan.
Salah satu dokter menjawab pertanyaan bapak dengan bijaksananya ia berucap sepatah demi sepatah kata. “Istri Bapak Alhamdulillah, semoga pertolongan Allah masih ada ya Pak. Teruslah berdoa kepada Allah!” ayah pun tidak mengerti dengan perkataan dokter itu, dia mengatakan semoga pertolongan Allah masih ada.
Apa ibu masih belum baik? semakin hari pikiranku menjadi jadi dengan sejuta bayang bayang tentang ibu. Perlahan aku mulai memikirkan ibu yang telah tiada. Nasibku tanpa ibu masih dalam pertanyaan relung hatiku yang mendalam. “maksud dokter apa? Saya tidak mengerti.” Jawab ayah sambil mengejar langkah dokter itu.
“kita lihat saja besok Pak, untuk saat ini istri Bapak masih istirahat. Saya akan panggil Bapak besok pagi.” ujar dokter itu mengakhiri perkataannya yang membuat ayah bertanya-tanya.
Share this novel