BAB 47
EVAN POV
Misi pertama .... untuk mbakku tercinta .... dan juga
sahabatku yang kini juga menyandang sebagai kakak iparku. Tak menyangka sebenarnya, sahabat tengilku itu mencintai dan bahkan tergila-gila dengan mbakku tersayang. Tak menyangka juga kalau mbakku itu akhirnya bisa setuju menikah dan bahkan sepertinya sekarang dia cinta mati dengan Vian. Jodoh itu memang misteri, ya.
“Van, jadi besok ke Bandung jenguk mbakmu?” Bunda mengagetkanku dari lamunan.
“Iya Bund, ada sesuatu yang harus Evan kasih tahu ke Vian dan mbak Aline, penting Bun, kan Evan udah cerita semalam.”
“Itu benar, ya? Kamu mengetahui kalau Ryan sudah sembuh dari amnesianya?” Bunda kini memasukkan cookies buatannya ke dalam toples.
“Dapat dari mbak Nadia, dia pas kemari kemarin itu loh Bund, bilang ama Evan kalau dia bertemu mas Ryan di pengadilan, katanya mas Ryan sudah menjadi pengacara lagi, dan mbak Nadia curiganya itu terdakwa yang dibela sama Mas Ryan itu memang terdakwa yang diurusi oleh mas Ryan sebelum ke Glasgow dan kecelakaan, kasus itu kan yang menangani divisinya mbak Nadia jadi dia tahu kalau mas Ryan pengacaranya,” ucapku ke arah Bunda.
“Maksudnya?” Bunda mengerutkan keningnya.
“Intinya gini lho, Bun, mas Ryan itu kan amnesia, memorinya selama 10 tahun ini hilang, nah kenapa dia bisa ingat dengan kasus yang dibelanya sebelum kecelakaan?” Bunda mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ehm, jadi dia berpura -pura, ya, duh kok jahat banget, ya?”
“Ya karena anak Bunda tuh, yang buat dia jadi terobsesi.”
Bunda tersenyum bangga. “Aline kan cantik, ya? Kayak Bunda,” ucap bunda sambil mengedip-kedipkan matanya yang membuatku tergelak.
“Diiihh Bunda genit, mau cari berondong kayak mbak Aline, Bund?” Ucapanku sukses membuat bunda mencubit pipiku dengan gemas.
“Anak Bunda ini, ya, ga sopan godain bundanya, udah sana udah sore nanti putri marah belum kau jemput.”
Kutatap jam yang melingkar di tangan, astaganaga ini jam Putri sudah pulang les ini. Wah alamat dapat omelan dari dia.
*****
“Ciput, maafin Kakak, ya.. lupa,” ucapku memelas pada Putri, pacar manisku yang sekarang sedang merajuk karena aku telat menjemputnya di sekolah.
Yup, Putri ini masih 17 tahun hampir 18, 2 bulan lagi, dan masih duduk di bangku akhir SMU. Masih kecil dan imut-imut, tapi aku suka, aku cinta dan aku serius dengannya.
“Kak Evan ih, Ciput kan capek. Nungguin udah 2 jam lebih.” Putri manyun sembari memainkan kuncir rambutnya dengan kedua tangannya. Peluh mengalir di pelipisnya. Kuambil masker mulut yang selalu kupakai, dan mengusapkannya ke keningnya.
“Maaf deh, maaf, tadi Kakak sibuk nyiapin baju buat besok ke Bandung,“ ucapku mencoba meredakan amarahnya.
Kami sekarang duduk berselonjor di depan halte dengan si Beby, motor maticku yang sudah setia mengantarku ke mana-mana ini.
Putri mengerjap-kerjapkan matanya yang bulat penuh itu di depanku.
“Mau jenguk mbak Aline, ya? Ah, Ciput juga kangen sama mbak Aline, sayang Ciput ga bisa libur, ya,” ucapnya lucu.
Kucubit pipinya membuat dia mengaduh.
“Kakak bukan cuma jenguk, tapi mau ngirimin berita penting ke sana. Ciput bisa kan tidur di rumah bunda selama Kakak di Bandung? Kasian bunda ga ada yang menemani nanti Kakak minta izin ke papa sama mama Ciput,” ucapku.
Putri mengangguk antusias, dia paling suka kalau disuruh ke rumah apalagi minta diajarin buat kue sama bunda. Katanya buat bekal kalau jadi istriku kelak. Tuh kan manis banget pacarku ini, meski masih kecil dan terbilang ABG tapi dia sudah berpikir jauh lebih dewasa.
Tin Tin Tin.
Suara klakson mobil mengagetkanku dan Putri. Dan di depan kami sebuah mobil BMW warna hitam sudah bertengger.
“Evan sama Putri ngapain?” Mas Ryan melongokkan kepalanya dari balik kaca mobil yang baru saja dibukanya.
“Lagi ngadem, Mas,” ucapku ke arah mas Ryan, dan Putri juga mengangguk mengiyakan.
“Udah hampir maghrib gini, buruan pulang, gih, Van, ga baik loh nongkrong di pinggir jalan nanti kesambet,” ucapnya lalu dia tampak mengambil sesuatu dari sampingnya dan mengulurkan satu box Pizza ke arahku.
“Nih buat Evan sama Putri, apalagi Putri suka banget kan ya sama Pizza, tadinya mau Mas anter ke rumah tapi berhubung bertemu kalian sekalian aja deh,” ucapnya sambil mengulurkan pizza itu. Putri langsung berdiri dan menyambar pizza dari tangan mas Ryan.
“Wah Mas masih ingat aja, ya, kesukaan Putri,” ucap Putri membuat mas Ryan terkekeh.
“Ya tahulah orang kalian kalau main ke rumah pasti minta pizza sama Mas kan, ya, ya udah Mas duluan ya udah maghrib ini kalian juga harus pulang,“ ucapnya.
“Makasih, Mas,” jawabku ke arahnya, tapi kemudian dia menoleh ke arahku dari balik kemudinya.
“Van, kalau mbakmu kasih kabar jangan lupa beritahu aku, ya,” ucapnya sebelum akhirnya menutup kaca mobil dan melajukan mobilnya meninggalkan kami.
Putri kembali duduk di trotoar dan segera membuka pizza yang diberikan mas Ryan tadi.
“Tunggu Put, tunggu, ini aneh, mas Ryan ko bisa ingat ya sama kamu?” aku mengutarakan keanehan yang membuat Putri tersedak karena terkejut. Segera kuberikan air mineral yang selalu kubawa di dalam tas. Putri langsung meminumnya.
“Ehmm benar benar ... kan dia amnesia, ya, kenapa ingat dengan Putri, kenapa ingat juga kalau Putri doyan banget ama pizza,” ucapnya membuatku langsung membuat kesimpulan, berarti benar mas Ryan sudah sembuh total tapi berpura-pura masih amnesia, wah ini tak bisa dibiarkan.
Aku memang sering mengajak Putri ke rumah Vian, dulu sebelum Vian menikah dengan mbakku, dan mas Ryan dulu selalu ikut nimbrung kalau ada waktu, atau dia pulang dari kerjanya. Mengingat masa itu aku benar-benar tak menyangka hubungan Vian dan mas Ryan jadi buruk.
*****
Kulepas kaca mata hitam yang melindungiku, siang ini akhirnya aku sampai juga di kota Bandung. Tadinya ingin ke sini naik bus saja, tapi Vian ngeyel biar lebih cepat suruh naik pesawat, dikirimin juga tuh duitnya langsung dari sana. Duh itu orang ga bisa menghemat banget uangnya, kalau aku sih mending naik bus aja sama juga nyampe juga kan, ya.
“Kak Evan,” teriakan seseorang membuatku mengalihkan pandanganku. Seorang cowok dengan rambut merahnya tampak berlari-lari di depanku.
“Rasya, ya?” sapaku saat dia sudah sampai di depanku dan menyeringai lebar. Duh rambutnya yang merah membuatku tadi tak mengenalinya, dasar anak kecil.
“Yoi, Kak, yuk udah ditunggu mami cantik sama kak
Vian,” celetuknya lalu menarikku ke arah mobil.
“Heh? Mami cantik?” ulangku ke arahnya yang kini telah duduk di balik kemudi.
“Iya, Mami cantik tercinta, alias mbak Alineku sayang,“ ucapnya.
Dih ini memang sealiran dengan Vian deh, suka ama tante-tante. Heran-heran, mbakku itu pesonanya kok sama berondong-berondong gini. Tapi tak salah sih, mbakku itu kan emang imut-imut dan ngegemesin. Jadi kangen pengen ngacakin rambutnya, heeee.
*****
“Evaaaaaaaaannnnn!!!” Suara khas yang selama ini aku rindukan menyeruak saat aku baru saja turun dari mobil.
Mbakku menyambut di depan, ia terlihat makin cantik aja. Tubuhnya lebih berisi karena kehamilannya. Dan pipinya tambah chubby.
“Mbak kangen,” ucapnya yang segera memelukku saat aku sudah sampai di depannya.
Vian juga tampak sedikit berisi tubuhnya, ehmm, rupanya mereka sudah bahagia di sini, syukurlah.
“Iiihhhhhh, jadi chubby gini.” Kucubit dengan gemas pipinya itu membuatnya memberengut dan melepaskan pelukannya.
“Bee, sakit nih,” ucapnya manja yang langsung didekap oleh Vian. Demi apa coba, demi apa mbakku manja banget sama Vian.
“Evan jangan dinakali mbaknya,” ucap Vian yang langsung menepuk bahuku. Aku jadi terkekeh geli, rupanya sahabatku ini sudah benar-benar merebut hatinya mbakku ini.
Kuedarkan pandangan ke arah rumah yang sangat mewah dan luas ini. Dan aku berdecak kagum melihat suasana café yang kini lumayan ramai di depanku.
“Yuk ah, istirahat di dalam, ya, kamu pasti capek.” Mbak Aline kini berpindah menggandeng tanganku dan mengajakku masuk.
“Dapat oleh-oleh dari bunda, klapertart buat Vian sama nih popok bayi buat calon dekbay,” ucapku sambil mengangsurkan tas berisi oleh-oleh bunda saat kami sudah duduk di sofa di ruang tamu.
“Wah, bunda ini masih ingat aja aku suka banget klapertart. Kalau suruh buatin Fey, dianya ga mau,” ucap Vian sambil mencomot klapertart dari tempatnya.
“Dih, jorok Bee, cuci tangan dulu sana!” cegah mbak Aline.
Aku pun tersenyum saat melihat Vian dengan patuhnya segera bergegas menuju kamar mandi.
“Bunda sehat kan, Van?” Mbak Aline kini duduk di sebelahku.
Aku pun mengangguk dan bersandar di bahunya. Kebiasaan lama saat aku merasa lelah selalu nyaman jika berada di samping mbak Aline yang reflek langsung mengusap-usap rambutku.
“Mbak sehat juga, kan? Vertigonya masih sering kambuh ga? Jangan kecapean, Mbak,” ucapku ke arahnya karena khawatir dengan kondisinya yang memang sejak kecelakaan membuat tubuhnya kini tak boleh kelelahan.
“Enggak, mbak di sini bahagia kok, Van, tenang aja, gimana Putri?” tanyanya.
Aku pun tersenyum mengingat gadis itu semalam bilang kangen sama mbak Aline.
“Dia merengek-rengek pengen ikut semalam, katanya kangen sama mbak Aline,” ucapku.
Vian sudah kembali dan duduk di depanku. “Fey, itu sama Evan, kenapa ga bau?” tanyanya membuatku mengernyit.
“Enggaklah, Evan wangi gini,” ucap mbak Aline membuatku terkekeh geli.
“Tuh mbakmu, Van, sia-sia kalau ma aku, kalau aku mandi wangi dia langsung muntah tapi kalau aku ga mandi bau keringat dia malah pelukin aku terus,” ucap Vian membuat mbak Aline melempar bantal duduk ke arah Vian.
“Enak aja siapa yang pelukin, kamu tuh yang pelukin aku,” sungut mbakku.
“Miiiiiii, lihat celana dalamnya Rasya, ga?” Itu bocah kecil kenapa berteriak-teriak bikin berisik aja.
Rasya sudah terlihat segar dengan rambut basahnya. Mbak aline langsung bangkit dari sebelahku, dan beranjak menuju Rasya.
“Semalam habis dilaundry kan udah mbak kasih kelemari kamu, masak ga dilihat toh?“
“Udah Rasya cari, Mi, tapi ga ketemu yang itu loh, Mi yang kemarin Rasya beli baru yang gambar Sponsbob,” ucapnya membuatku melongo dengan tingkah aneh Rasya.
“Dih, bukannya yang itu udah kamu berikan kepada tante Anita yang kemarin mau cipok kamu itu, Sya.” Kini Vian menimpali.
Dan kulihat Rasya langsung menepuk keningnya, ”Duh, kok kak Vian kasihin sih? Nanti kalau Rasya digunaguna pake celana dalam gimana?” ucapnya lucu membuatku tergelak diikuti mbak Aline dan juga Vian.
“Itu kan celana baru, Sya, belum kamu pakai, mana mempanlah,” celetuk Vian membuat Rasya menganggukkan kepalanya.
“Ahh ... tapi harga diri Rasya sudah hancur nih masa tante itu bilang gini, nih calon bayinya perempuan loh, besok ditunggu ya, dedek Rasya, diiihhhh mana mau. Kalau mau juga aku mau nunggu dekbaynya mami cantik aja, ga dapat maminya kan dapat anaknya, ya,” ucapnya lucu yang langsung membuat Vian beranjak dari duduknya dan berlari mengejar Rasya yang sudah lari tunggang langgang.
Dasar kelakuan mereka bikin aku geli.
*****
“Benar kan dugaanku.” Mbak Aline kini nampak mengusap-usap perutnya.
Tadi setelah beristirahat sejenak, akhirnya malam ini setelah makan malam dan sholat, aku memutuskan memberi tahu semuanya tentang penemuanku. Kuceritakan semua tentang kecurigaan mbak Nadia, sampai kemarin aku bertemu dengan mas Ryan. Vian mengepalkan tangannya, saat aku selesai menceritakan semuanya.
“Jadi dia menjebakku. Sebenarnya dia sudah ingat semuanya, aku tak bisa biarkan ini,” ucapnya sedikit emosi tapi langsung ditenangkan oleh mbak Aline.
“Bee, sabar, sudahlah yang pasti dia belum tahu kita di sini, kan,” ucap mbak Aline.
“Dia beneran sudah bercerai sama mbak Sisca?” Kini Vian menatapku.
Kugelengkan kepalaku, ”Ehmm, mbak Sisca malah menghilang, Yan, kata mama pas aku ketemu kemarin mbak Sisca pergi ke Paris, entahlah.”
Mbak aline dan Vian kini saling bertatapan.
“Ehm, jadi apa hubungannya dengan Alya kemarin yang ditemui mas kemarin, Fey?” ucap Vian ke arah mbak Aline.
Mbak Aline mengangkat bahunya.
“Aku juga tak tahu, setahuku Ryan dulu benci banget sama Alya, dan Sisca. Aku ga nyangka dia bisa melepaskan Ryan begitu aja,“ ucapnya.
Aku jadi teringat saat mbakku dan Vian pergi.
“Saat kalian pergi, mas Ryan datang ke rumah hampir tiap hari katanya dia tetap akan menceraikan mbak Sisca walau mbak Aline sudah ditemukan atau belum, dia sering ke rumah tapi akhir-akhir ini kayaknya dia sudah mulai menyerah deh,” ucapku.
Vian mengerutkan keningnya, ”Dia menyerah begitu aja? Atau ini cuma taktik dia?” ucapnya memberi analisis.
“Ehmmm, menyerah tak menyerah juga tak masalah kan, Bee. Kan aku udah di sini, tak akan lari ke mana-mana,” ucap mbak aline membuat Vian mengalihkan pandangannya ke arah mbakku itu dan langsung merengkuhnya erat dan mencium keningnya.
Semoga kebahagiaan yang kulihat sekarang ini akan terus berlangsung. Aku tak tega melihat bila ada orang yang akan memisahkan mereka lagi. Pasti aku yang akan maju duluan melindungi kedua orang yang sangat kusayangi ini.
*****
Share this novel