Rate

BAB 3

Drama Completed 304

“Melor, tidak ada Ibu yang membenci anaknya. Tapi setiap orang punya cara yang berbeda untuk menunjukkan rasa sayangnya. Saya mau kamu juga melihat dari posisi Ibu kamu. Saya anggap kamu sudah cukup dewasa untuk mengerti permasalahan ini, Melor.”
“Masalah apa pak?” Pak Bukhari berbicara begitu berbelit-belit. Aku benar-benar kebingungan. Apa inti dari semua ini sebenarnya?
“Yang sebenarnya, Ibu kamu meminta saya menyampaikan hal ini dan dia bukan bermaksud dia berbuat begini kerana tidak sayang dengan kamu. Juga bukan kerana dia tidak bertanggung jawab ataupun tidak dewasa. Tapi ada kalanya seorang Ibu memilih cara dan waktu yang bagi kamu mungkin tidak tepat, tapi tetap yakin hanya begitu caranya agar dia dan kamu boleh bertahan.”

Otakku bekerja keras mencerna segala hal yang disampaikan oleh Pak Bukhari . Namun aku masih belum tahu ke mana arah pembicaraan ini.
“Sebenarnya ada apa, Pak?” aku berusaha menenangkan diriku. Aku tidak ingin terlihat begitu stress kerana kebingungan. Boleh -boleh Pak Bukhari tidak jadi menceritakan maksudnya padaku.
“Ibu kamu selama ini bukannya tidak peduli dengan kamu, dia hanya menjaga jarak.”
“Menjaga jarak?”
“Ya, membiasakan dirinya berada jauh dari kamu. Dia tidak boleh bicara terlalu lama dengan kamu kerana itu akan menunjukkan emosinya.”
“Tapi kenapa, Pak?” Kali ini aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi. Ibu? Menjaga jarak?
“Ibu kamu terkena barah hati, Melor. Sudah dua tahun ini. Dia tidak boleh mengatakannya langsung dengan kamu kerana rasanya sudah cukup berat saat Ayah kamu pergi. Kemudian kamu menghadapi masa-masa sulit di sekolah, dan semua akan semakin berat jika kamu tahu yang sebenarnya.”

Berita tersebut memang sangat mengejutkanku. Tapi aku tidak menangis. Aku tidak boleh menangis. Perasaanku kosong. Rasanya seperti telah di bom atom dan meninggalkan lubang yang besar di sana.
“Saya permisi, Pak.” Fikiranku tidak lagi ada di ruangan ini, sudah melayang pada hari-hari ketika Ayah baru saja pergi meninggalkan kami. Bagaimana Ibu mengurung diri di kamar selama berhari-hari. Bagaimana ia tidak lagi tersenyum apalagi tertawa saat kami kami menonton serial komedi hingga akhirnya aktivitas itu sama sekali tidak kami lakukan lagi.
“Melor,” Pak Bukhari membawa kembali kesadaranku ke bumi.
“Hari ini Ibu kamu berangkat ke Singapura untuk menjalani rawatan. Aunty kamu dari Solo akan datang nanti sore untuk menemani kamu selama Ibu kamu ada di sana. Kalau kamu butuh sesuatu, apapun itu, kamu boleh cerita ke saya ya, Melor.” Aku mengangguk pelan.
“Terima kasih, Pak.” Kemudian aku berjalan kembali ke kelas.

Ketiga sahabatku mungkin merasa aneh kerana sepanjang pelajaran aku hanya diam. Tapi mereka tidak bertanya setidaknya hingga saat bel pulang berbunyi.
“Kamu kenapa, Mel?” Kiki yang memberanikan diri untuk bertanya padaku lebih dulu.
“Cuma cape. Aku beneran harus pulang. Aku duluan ya.” Tanpa berani memandang wajah khawatir mereka aku berjalan ke luar kelas, tapi aku mendengar langkah mengejarku.
“Biar aku antar.” Tanpa sempat aku menjawab, Farid menarik tanganku dan menggenggamnnya erat. Seperti janjinya waktu itu.

Jalan menuju rumahku tidak melewati jalan raya, hanya jalan-jalan kecil dari satu komplek ke komplek lain. Sepanjang perjalanan di atas motor Farid, tangan kami masih saling bertautan. Aku merasakan kehangatan di hatiku dan kehangatan itu menjalar hingga ke mataku. Aku tersedu di punggunggnya. Kami masih saling tidak bicara, ia membiarkanku melepas segala emosi yang sudah ku tahan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience