"Keluar, j4l4ng!"
Itu suara Mbak Wati. Kerasukan setan apa dia hingga mengataiku 'j4l4ng'? Perasaan hubungan aku dan dia baik-baik saja. Kenapa menyebutku 'j4l4ng'?
Gegas kubuka pintu dan menatap Mbak Wati yang berteriak-teriak di depan rumah, penampilannya enggak karuan. Enggak pakai sandal, rambutnya acak-acakan, berkacak pinggang menatapku tajam, dasternya robek di bagian bawah ketiak.
Ya, begitulah Mbak Wati. Enggak pernah memperhatikan penampilannya. Padahal orang kaya. Ia mampu membeli pakaian baru atau membawa dasternya ke penjahit untuk dibenarkan biar enggak robek begitu. Kalau jalan bersama suaminya, benar-benar enggak sepadan. Suaminya tampan dan suka dengan penampilan yang rapi, tapi Mbak Wati amburadul.
Belum tahu aja dia rasanya ditinggal suami pas lagi sayang-sayangnya. Seperti halnya dengan adikku yang dulunya enggak pernah mau merawat diri. Akhirnya suaminya selingkuh bersama wanita yang bisa dikata lebih cantik dan seksi. Sekarang di saat statusnya berubah baru mau merawat diri. Bukan terlambat, sih tapi coba sebelum ditinggal sudah merawat diri, kejadiannya enggak akan seperti itu.
Kita wanita memang susah-susah gampang menjadi seorang istri. Selain dituntut memenuhi kebutuhan suami, juga harus memenuhi kriteria istri yang diidamkan suami. Salah satunya adalah merawat diri biar suami makin cinta. Lain halnya jika sudah merawat diri tapi suami tetap memilih selingkuh. Itu murni suaminya yang kegatelan.
"Akhirnya kamu keluar juga j4l4ng!" ucapnya, kembali mengatai aku 'j4l4ng'.
Aku masih diam mendengar makian demi makian yang wanita seumuranku itu, lontarkan. Tatapannya yang tajam tak membuatku gentar sedikitpun. Toh, aku enggak punya salah apa-apa sama dia. Buat apa takut? Aku hanya enggak habis pikir, bisa-bisanya dia mengataiku seperti itu.
"Kamu wanita murah4n! J4l4ng!" Lagi-lagi Mbak Wati menyebutku 'j4l4ng'. Hal itu yang kemudian membuat sekujur tubuhku seakan terbakar. Terpancing juga untuk meladeni.
"Salahku apa, toh Mbak? Perasaan aku enggak pernah mengganggu kehidupan Mbak Wati, loh. Kenapa Mbak menyebutku seperti itu?" protesku, akhirnya ikut marah.
"Jangan sok-sokan, deh! Pura-pura enggak tahu lagi. Ngapain menggoda suami aku? Kamu 'kan punya laki. Buka saja jilbabmu. Berjilbab, tapi murahan!" Mbak Wati masih berkacak pinggang dengan emosi yang enggak bisa dikontrol.
"Jangan bawa-bawa jilbab Mbak. Menutup aurat itu wajib. Emang situ? Islam tapi hanya di KTP," balasku, menyindir.
"Itu urusanku. Jangan bawa-bawa agama. Pelakor!"
"Tutup mulutmu Mbak Wati! Aku bukan pelakor!"
"Ibarat maling, mana ada yang mau ngaku? Camkan, ya Arna ... kalau sampai suamiku beneran tergoda sama kamu, aku akan memberimu pelajaran! Punya suami kok menggoda suami orang? Enggak malu apa?!"
"Mbak, ak–"
"Cukup!"
Bersamaan dengan itu Bang Andi keluar dari rumah. Terkejut mendengar penuturan Mbak Wati. Ia lalu menanyakan perihal kebenarannya padaku. Tentu saja aku menyangkal, karena memang aku enggak pernah menggoda suami Mbak Wati. Buat apa coba?
Meskipun suamiku dinyatakan mandul oleh dokter, tapi aku enggak pernah sedikitpun ada niat untuk menggantikannya dengan pria lain. Aku sangat bersyukur bisa menjadi istrinya. Mas Andi enggak pernah menyakiti hati aku. Mas Andi baik dan pengertian. Buat apa aku menyakiti hati suamiku?
"Dusta! Bang Andi, istrimu itu menggoda suamiku saat kamu enggak ada. Dia seperti itu karena kamu enggak bisa memberinya keturunan." Mbak Wati memanas-manasi.
"Kamu yang dusta Mbak! Aku enggak pernah menggoda Wira—suamimu," balasku membela diri.
"Lalu kenapa Mbak Wati menuduhmu seperti itu Na? Abang yakin yang dikatakan Mbak Wati itu benar. Ya, abang memang enggak sempurna buatmu, tapi kenapa sampai menggoda suami tetangga? Di mana harus abang simpan ini muka? Malu abang, Na. Malu," tekannya di akhir kalimat. Bang Andi beneran marah.
Abang Andi sangat kecewa padaku. Padahal sudah aku jelaskan semuanya, tapi tetap saja Bang Andi enggak percaya.
Ya Rabbi, jangan biarkan suamiku mempercayai ucapan tetanggaku yang sinting itu.
****
Setelah sarapan, aku meraih tangan Bang Andi untuk aku kecup punggungnya. Akan tetapi, Bang Andi malah menarik tangannya hingga terlepas dari tanganku. Semalam juga sikap Bang Andi berubah seperti ini. Saat aku peluk dari belakang, ia malah menepis tanganku kemudian pindah tempat tidur ke ruang tamu. Aku sedih. Bang Andi langsung pergi begitu saja.
Satu hari aku enggak bisa fokus melaksanakan pekerjaan rumah. Pikiranku hanya tertuju pada Bang Andi yang tiba-tiba berubah hanya karena omongan Mbak Wati. Suamiku mudah terperdaya. Mungkin juga karena dinyatakan mandul hingga ia percaya aku menggoda suami tetangga. Padahal sudah aku jelaskan kalau aku enggak akan berpaling darinya. Tetap mencintainya apapun keadaannya. Soal keturunan, aku yakin suatu saat Allah akan mempercayakan kami untuk memilikinya. Yang penting tetap ikhtiar dan berdoa pada-Nya.
"Abang sudah pulang?"
Tepat jam tujuh malam, suamiku sudah pulang dari tempat kerjanya. Bukannya menjawab pertanyaan dariku, Bang Andi malah menatapku semakin emosi dari sebelumnya.
"Kalau kamu enggak mencintai abang, harusnya ngomong dong Arna?! Abang memang bukan suami yang sempurna. Enggak bisa memberimu keturunan, tapi seenggaknya jika sudah bosan, katakan sama abang. Bukan malah mengajak selingkuh suami tetangga. Lama-lama aku talak juga kamu nanti!" Usai berucap seperti itu, Bang Andi langsung ke kamar.
Aku berdiri gemetar di depan pintu utama. Talak? Lima tahun usia pernikahan, alhamdulilah Bang Andi enggak pernah mengeluarkan kata talak padaku. Tapi kali ini tiba-tiba mengeluarkan kata tersebut. Apa yang terjadi? Kenapa menuduhku mengajak selingkuh suami tetangga? Dapat gosip dari mana lagi?
Tanpa berpikir panjang, aku langsung ke rumah Mbak Wati yang berada di sebelah kanan rumahku yang sederhana ini. Aku sangat yakin pasti dia lagi yang memperdaya suamiku hingga hatinya goyah.
"Mbak, Mbak enggak boleh seenaknya masuk rumah orang. Nanti majikan saya marah," tegur Pak Sapto—satpam di rumah dua tingkat itu.
"Mana Mbak Wati, Pak? Panggil dia keluar!" sergahku, tak dapat menahan emosi.
Belum sempat Pak Sapto masuk rumah, Mbak Wati sudah keluar.
"Cari aku? Kenapa? Ditalak suami atau diceraikan langsung?" Mbak Wati tersenyum sinis.
Sedangkan di sini, aku enggak dapat membendung air mata. Cairan bening dari kedua mataku jatuh membasahi pipi. Enggak dapat aku bayangkan jika Bang Andi menjatuhkan talaknya padaku. Hidup tanpanya hanya akan menyiksaku.
"Kalau sampai Bang Andi menjatuhkan talaknya, akan kuambil suamimu! Camkan itu!" marahku sambil mengacungkan telunjuk ke arahnya.
Dapat kulihat bagaimana ekspresi takut Mbak Wati mendengar ancaman dariku. Enggak, bukan ancaman tapi ini benar-benar akan aku lakukan jika Bang Andi sampai menjatuhkan talaknya padaku.
Bersambung
Share this novel