Terpesona

Drama Series 3289

Wajah Widuri sedikit memerah. Aku tersenyum dengan di iringi anggukkan kecil, berharap dia mau menerima suapanku.

Mungkin ini terkesan tidak sopan dan kurang ajar, karena kami baru pertama kali bertemu. Tampa ia menerima suapanku dengan malu-malu. Selanjutnya kamipun mencoba hidangan lain yang tersaji tanpa banyak bicara.

Setelah beberapa menit, kami menyuduhi sajian dan meneruskan pembicaraan akan rencanaku semula.

"Jadi, Ibu Widuri serius mau bekerja jadi perawat Papa?"

Aku kembali bertanya untuk lebih meyakinkan.

"Iya, Destra. Aku mau jadi perawat Papamu." Jawabnya tanpa ragu.

"Kira-kira, berapa bayaran yang pantas aku berikan untuk Ibu?" Tanyaku lagi, terlihat dia menatapku dalam.

"Maksudmu, bayaran? Maaf, aku tidak mengerti. Begini saja, kamu tidak usah memikirkan soal bayaran dulu. Kamu 'kan belum tahu pekerjaanku seperti apa?"

Aku sedikit merasa aneh dengan jawaban Widuri. Kalau yang lain sudah meminta fasilitas lebih dulu. Tetapi dia sebaliknya.

"Baiklah, Bu. Apa sepuluh juta cukup untuk bayaran setiap bulannya? Itu hanya gaji pokoknya saja. Untuk fasilitas lainnya, seperti antar jemput, uang belanja bulanan juga makan akan aku jamin, bahkan ada kamar khusus kalau Ibu mau menginap. Nanti kalau ada yang kurang, Ibu bisa memintanya dan juga ada bonus kalau Ibu merawat Papa dengan baik."

Aku kembali bertanya, hanya sekadar ingin tahu reaksi Widuri selanjutnya. Menawarkannya dengan nominal yang kuanggap cukup untuk gaji seorang perawat setiap bulannya dengan ditambah fasilitas.

"Maaf, Destra. Sebenarnya kamu mau mencari perawat atau apa? Aku belum bekerja, nanti saja kita bicarakan lagi kalau kamu sudah tahu cara kerjaku."

Jawaban Widuri semakin membuatku kagum, mungkin aku tidak salah memilihnya untuk menjadikan dia sebagai perawat Papa.

"Destra. Apa alasanmu mencari seorang perawat untuk Papamu? Dan berapa usianya sekarang?"

Widuri melontarkan pertanyaan seperti ingin tahu alasanku.

"Alasanku mencari perawat, biar Papa ada yang mengurusnya, karena kami semua sibuk. Aku enam bersaudara. Aku anak ke tiga, dua kakakku perempuan, mereka semua sudah menikah dan masing-masing punya anak kecil. Adikku tiga, dua laki-laki, mereka kuliah dan satu lagi perempuan, baru naik kelas tiga SMP. Kami kasihan sama Papa. Usianya lima puluh lima tahun."Jawabku sambil sesekali menarik napas.

"Anak Papa semuanya sembilan, satu dari mantan istri kedua dan dua dari istri ketiganya. Mereka juga punya kesibukkan masing-masing dan jarang menemui Papa." Lanjutku dengan di selingi menyeruput kopi yang kupesan sebagai minuman lanjutan.

Widuri mendengarkan dengan serius dan hanya diam seperti kebingungan atau keheranan, entahlah.

***
Tidak terasa waktu sudah menunjukan jam tiga sore, tetapi pengunjung semakin ramai berdatangan. Selain udaranya dingin juga nyaman. Suara anak-anak yang sedang berenang menambah kerasan untuk berlama-lama berada di tempat itu.

"Jadi, kapan aku bisa memulai bekerja?" tanya Widuri seperti tidak sabar.

"Secepatnya, Bu. Nanti aku mau diskusi dulu sama keluarga. Pasti aku kabarin Ibu lagi."

"Iya, baiklah. Kalau begitu kita pulang sekarang." Pintanya.

Akupun meng-iakan permintaanya untuk pulang karena hari semakin sore.

"Terima kasih untuk hari ini, karena Ibu sudah bersedia meluangkan waktunya. Boleh aku antar sampai rumah? Oh, iya, aku sampai lupa menayakan alamat Ibu." ucapku yang belum sempat menanyakan tempat tinggalnya.

"Aku dari Depok. Bagaimana kamu mau mengantarku? Aku bawa mobil dan terima kasih juga traktirannya."

Widuri tersenyum dan menolak halus niatku untuk mengantarnya pulang dan ada yang membuatku tercengang. Dia bilang dari Depok, bawa mobil sendirian sudah mau datang jauh-jauh ke daerah Bekasi atas permintaanku.

"Oh, jauh juga ya. Maaf, sudah merepotkan. Baiklah, sampai berjumpa kembali."

Widuri membalasnya dengan tersenyum sambil berkata. "Tidak apa-apa."

Setelah merasa cukup dengan pertemuan hari itu dan membayar semuanya. Kamipun pulang ke tempat masing-masing. Ada rasa berat untuk berpisah.

Entah kenapa aku begitu sangat merasa nyaman berada di dekatnya. Banyak hal yang bisa kulihat dari Widuri. Dia keibuan, baik dan cepat akrab, juga nyambung saat bicara.

***
Setelah bertemu dengan Widuri. Niatku untuk menjadikan dia sebagai perawat Papa kini berubah pikiran.

Hampir seminggu, semenjak bertemu dengannya aku tidak memberi kabar dan seperti menggantungnya. Aku menjadi ragu, merasa dia tidak pantas menjadi perawat untuk Papa.

Aku terus memikirkan hal itu, hingga lupa kalau tujuanku mencari perawat supaya Papa ada yang menemani dan mengurusnya.

Malam ini rasanya sulit untuk bisa tidur, lalu tanganku bergerak mengambil benda pipih itu. Kucari nomor Widuri untuk mengirim pesan lewati Whatsapp

[Assalamualaikum, Bu.] Kuucap salam lewat. telepon seluler.

[Waalaikumsallam, iya Destra, ada apa?] Jawabnya tanpa menunggu lama.

[Ibu Widuri, apa bisa kita bertemu di tempat yang sama?]

[Iya, bisa. Jam berapa kita bertemu?] balasnya.

[Seperti biasa, jam sepuluh. Aku tunggu, ya.] Pesanku dan dan mulai sedikit berbasa-basi, lalu kemudian menutup telepone dengan hati sedikit berdebar.

***
Seperti yang sudah di janjikan, kami kembali bertemu di tempat seminggu lalu aku dan Widuri datangi.

Kali ini aku melihat Widuri lebih anggun dan cantik, serta modis.

"Apa kabarnya, Bu?" Sapaku dengan menyalami serta mempersilahkan duduk.

"Alhamdulillah, baik." Balasnya.

Hening, kami terdiam, aku tak tahu harus memulai dan berkata apa?

Kami langsung memesan makanan sambil menikamati suasan tempat itu.

"Ibu Widuri, seperti pembahasan kita minggu lalu. Apa Ibu masih bersedia untuk menjadi perawat Papa? Maaf, kalau aku tidak mengabari selama seminggu ini."

"Tidak apa, Destra. Iya, aku masih bersedia, aku pikir kamu tidak menghubungiku karena sudah ada orang yang merawat Papamu."

"Maaf, Bu. Mm... begini, sepertinya aku membatalkan kerja sama kita. Aku tidak akan memakai jasa Ibu Widuri untuk merawat Papa, kuharap Ibu tidak kecewa."

Aku menarik napas berat. Terlihat Widuri tersenyum, senyum yang kulihat sangat indah.

"Destra, kamu tidak perlu meminta maaf dan aku tidak kecewa. Semua keputusan ada sama kamu. lagi pula, masih banyak di luar sana yang lebih pantas menjadi perawat Papamu. Muda juga lincah, tentunya mereka lebih gesit ketimbang aku." Jawabanya, tidak terlihat raut kecewa di wajah cantiknya itu.

"Mm..., begini. Aku tidak akan memakai jasa Ibu untuk menjadi perawat Papa. Tapi aku akan menjadikan Ibu Widuri untuk menjadi istriku." terangku.

"Apa?!!" Terlihat Widuri sangat terkejut dengan ucapanku.

"Iya, Bu. Aku ingin Ibu menjadi istriku, bukan menjadi perawat Papa." jawabku sebagai balasan keterkejutannya.

"Destra. Kamu jangan becanda, pernikahan bukan untuk candaan." sahutnya dengan mimik yang langsung berubah.

"Ini serius, Bu. Aku tidak pernah becanda. Aku suka sama Ibu, bahkan aku mencintaimu dan bisa di bilang jatuh cinta saat pertama kali bertemu." Tegasku.

"Maaf, Destra. Tujuanku untuk bekerja, bukan untuk menjadi istrimu." Balasnya.

"Percayalah, Bu. Aku benar-benar ingin menikah dengan Ibu." Jelasku.

Terlihat wajah Widuri semakin heran dan bingung. Mungkin dia tidak percaya apa yang barusan aku sampaikan. Sepertinya akan sulit untuk bisa meyakinkannya, tetapi aku tidak boleh berkecil hati apa lagi menyerah sampai hatinya luluh.

"Berapa usiamu, Destra?"

"Dua puluh tujuh tahun."

"Dua puluh tujuh tahun, kamu terlalu muda untuk menjadi suamiku, Destra. Kenapa tidak mencari yang lain saja yang seumuran denganmu?" balasnya.

"Aku hanya mau menikah dengamu, Ibu Widuri."

"Tapi Destra ...."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience