BAB 17
Kami makan dalam diam. Setelah itu Vian tanpa bersuara menarikku untuk melanjutkan perjalanan. Vian mengajakku mengelilingi kota Edinburgh yang tidak terlalu besar dengan menggunakan Bus Sight seeing tour yang menggunakan system Hoop on Hoop off, yaitu kita bebas naik dan turun di setiap stasiun pemberhentian tanpa harus bayar lagi karena tiket yang kita beli berlaku selama 24 jam semenjak kita membeli tiket. Sebagai contohnya jika kita beli jam sebelas siang, tiket seharga 11 pound itu akan expired besok siang di jam yang sama. Saat masuk bus tinggal kita tunjukkan tiket tersebut kepada sang pengemudi, mengingat di dalam semua bus di Britania Raya tak ada kondektur, dan tiket akan dicek saat kita naik.
Waktu satu jam kami gunakan untuk mengelilingi indahnya Edinburgh dengan rute pertama berawal dari Edinburgh Waverley Station melintasi George Street, St Andrew Square, St Gilles Church.
Vian menjelaskan kepadaku dengan sangat detail, sampai aku mengerti dan sepertinya dia sudah sangat terbiasa dengan kota ini. Kami selanjutnya melalui 2 buah tempat yang jadi icon kota Edinburgh, yaitu Royal Mile dan Edinburgh Castle. Kastil yang dulunya adalah benteng dan istana raja-raja Skotlandia. Uniknya Royal Mile ada di material jalan Royal Mille itu sendiri yang berada di antara Edinburgh Castle dan Gereja St Gilles. Jalanan di royal Mille bukan terbuat dari aspal biasa tapi dari batuan gunung Edinburgh, yang membuatku merasa tidak tinggal di abad 21 saat melalui Royal Mile, tapi serasa di abad pertengahan. Kami juga melalui Child Museum, bekas rumah Alexander Flemming penemu Penicilin, Edinburgh University, Laboratoriumnya Alexander Graham
Bell, si penemu telepon, bekas rumah James Watt. Venuevenue yang aku lalui itu membuatku berkesimpulan bahwa Edinburgh khususnya dan Scotland umumnya adalah produsen ilmuwan-ilmuwan besar Inggris. Kalau dulu ada James Watt dan Bell mungkin di masa kini terwakili oleh JK Rowling sang penulis Harry Potter. Edinburgh juga merupakan venue utama shooting pembuatan Harry Potter khususnya Edinburgh Castle, Gereja St Gilles dan beberapa venue lain yang menemani Chirstcurch College di Oxford yang merupakan venue dari sekolah Hoghwarts.
Jam 5 kami memutuskan untuk kembali ke Old Town sekitar Edinburgh Waverley Station, dan kami mendapati Bus Sight seeing tour sudah mulai tidak beroperasi. Yup di jam itu operasi bus hoop on hoop off tersebut berakhir. Tadinya kami ingin mengunjungi icon Edinburgh, yaitu
Edinburgh Castle tapi apa daya karena busnya tak ada dan medan jalan Edinburgh itu naik turun, maka malam itu kami habiskan mengelilingi City Centre Edinburgh seperti princess mal, princess street, hard Rock café edinburgh, George Street, dan kembali ke hotel di malam hari setelah mampir di Mc donalds dan sebuah restoran pizza yang dimiliki oleh seorang muslim. Yup di Scotland lebih susah cari makanan halal ketimbang di London. Alhasil menu ayam di Mc Donalds dan restoran Pizza yang dijaga oleh dua orang muslim itu yang bisa dijadikan tempat makan yang aman.
Vian menatapku dengan tersenyum, tak seperti saat tadi kami keluar dari Elephant Housse Café, kali ini setelah melakukan perjalanan panjang yang cukup melelahkan, dan menghabiskan makanan kami, Vian sudah kembali ke sikap semulanya.
“Suka?” tanyanya ke arahku yang kini tengah meneguk cokelat panas di depanku.
Aku mengangguk antusias.
“Sangaaaaattt ... kau benar-benar membuatku puasssss!!” ucapku membuat Vian terkekeh lalu mengacak
“Tapi kita tak bisa pulang ke Glasgow malam ini, Sayang.Kita menginap di hotel saja, ya?”ucapnya.
Aku hanya mengangguk karena badanku juga sudah sangat lelah.
*****
“Sayang, sini ...,” ucap Vian saat aku baru saja membersihkan diri di kamar mandi hotel yang baru saja kami sewa.
Vian menepuk sisi kasurnya yang didudukinya. Aku menurut dengan merebahkan tubuhku di sisinya. Tak ada kecanggungan lagi buatku untuk berada di dekatnya, Vian membuatku sangat nyaman selama sehari ini. Vian mengusap-usap kepalaku dengan lembut dan aku menikmatinya.
“Yan, kenapa mencintaiku?” tanyaku membuat Vian menghentikan usapan pada kepalaku.
“Ehm, tak tahu, perasaanku mengalir begitu saja, cinta pada pandangan pertama mungkin,” ucapnya ringan membuatku kini menatapnya dari posisi tidurku.
Vian tersenyum lembut ke arahku.
“Serius, Yan?”
“Aku 1000 rius, Mbakku Sayang.”
“Tapi kan aku sudah tua, Yan, masmu aja tak mau denganku.” Owh Aline, bibirmu ini benar-benar perlu disekolahkan, kenapa lagi-lagi bawa Ryan.
Vian terdiam dan melepaskan usapannya. Aduh bodoh Aline, bodoh.
“Yan, maaf.“ Aku mencoba bangkit dari posisi tidurku dan kini duduk menghadap ke arahnya.
“Andai kau tahu Mbak, Mas Ryan hampir gila saat mencari keberadaanmu dulu, andai mbak Mawar tahu setiap malam aku selalu dicekoki dengan cerita-cerita tentang mbak Mawar, sampai aku mencibirnya seberapa cantik gadis yang menjadi impiannya itu, dan ternyata mbak, kau memang membuatku gila juga,” ucapnya yang sukses membuatku melongo.
“Memang aku secantik itu?” cibirku lagi tapi malah membuat Vian menarikku untuk duduk di pangkuannya.
“Vian, jangan gila,” tolakku saat tubuhku sudah duduk di pangkuannya.
Badannya terasa panas, begitu pun jantungku yang juga berdegup kencang. Dia memeluk pinggangku dan tiba-tiba menarik kepalaku lalu melantunkan doa di telingaku.
Doa itu membuatku terdiam membeku.
“Yan,” ucapku gugup saat dia kini menatapku intens.
“Mbak kita sempurnakan pernikahan kita ini,” ucapnya dengan suara paraunya membuatku seketika membeku.
Share this novel