Penolakan Widuri

Drama Series 3289

"Tapi Destra ...." Ucapnya terjeda.

"Huusstt, percayalah Bu."

Aku menempelkan jari telunjuk di bibir Widuri, sehingga bicaranya terhenti seketika.

"Maafkan aku, Destra. Itu tidak mungkin. Perbedaan usia kita sangat jauh berbeda. Nanti apa kata orang-orang? Kamu yang lebih pantas menjadi anak atau menantuku. Lagi pula aku pernah berjanji pada diri sendiri untuk tidak menikah lagi." terang Widuri, dia menjauhkan tanganku dari bibirnya.

"Bu. Kita tidak perlu mendengarkan apa kata orang. Perbedaan usia bukanlah penghalang suatu hubungan. Banyak kok, yang menikah berbeda usia. Percayalah Bu, aku benar-benar serius dan tidak ada salahnya untuk melanggar janji Ibu sendiri." Balasku.

Aku terus berbicara untuk meyakinkan Widuri, lalu kuraih dan kucium tangan halus itu.

"Destra, bagaimana mungkin kamu bisa seyakin itu?" tanyanya lagi sambil kembali menjauhkan tanganku.

"Karena aku percaya, kalau Ibu itu orang baik." Jawabku yakin.

"Sudahlah, Destra. Mimpimu jangan terlalu jauh. Masih banyak perempuan yang lebih pantas untuk kau jadikan istri. Bukan aku!" serunya.

"Percayalah Bu, aku tidak pernah main-main, karena sama Ibu lah aku merasa nyaman dan percaya, kalau Ibu bisa menjadi istri sekaligus merawat Papa dengan baik."

Aku terus memohon dihadapannya. Kemudian mengeluarkan sebuah cincin yang sudah kubeli dari hari kemarin. Kuraih jari manisnya itu.

"Apa ini, Destra?" Tanya Widuri heran.

"Cincin berlian ini aku persembahkan untuk Ibu, semoga Bu Widuri menyukainya."

"Maafkan aku Destra, aku tidak bisa menerimanya."

Aku menarik napas panjang dengan penolakan Widuri. Di tepisnya tenganku dengan halus. Entah harus dengan cara apa lagi untuk meyakinkan wanita yang ada di hadapanku ini?

Widuri memang berbeda dengan wanita-wanita lain, saat kuberikan cincin pasti mereka akan langsung menerimanya. Tetapi aku tidak akan pernah menyerah begitu saja dengan penolakannya dan terus berusaha sampai dia mau menjadi istriku.

"Iya, Bu. Tidak apa-apa, semoga lain kali Ibu bisa berubah pikiran." Ucapku seraya berusaha tersenyum.

"Tapi, Ibu masih mau 'kan bekerja untuk merawat Papa." Tanyaku sekali lagi untuk menghilangkan kegalaunku.

"Iya, Destra. Tentu saja. Bagaimana dengan keadaan Papamu sekarang?"

"Papa masih koma."

"Tolong, izinkan aku secepatnya untuk bekerja sebagai perawat Papamu, Destra." Pintanya dengan serius.

Aku membalasnya dengan tatapan dalam, semakin kutatap semakin terlihat aura kecantikannya. Aku tersenyum dan mengangguk kecil.

Setelah mengobrol panjang lebar dan makan bersamanya untuk kedua kali, aku semakin yakin kalau Widuri adalah perempuan yang aku cari selama ini.

Akhirnya kami pun memutuskan pulang karena hari semakin sore. Dia pulang dengan mobilnya melaju ke arah Depok sedangkan aku ke Bekasi.

Di sepanjang perjalanan aku terus berpikir. Bagaimana caranya untuk menaklukkan hati Widuri? Mungkin ada baiknya aku harus membicarakannya terlebih dahulu dengan keluarga untuk berdiskusi.

***
Sesampainya di rumah aku menghempaskan tubuh di sofa. Lalu datang kedua kedua kakakku, Denia dan Denissa menggendong anak-anaknya yang berusia satu tahun dan enam bulan, di belakang ada Devina mengekor-adik bungsuku.

"Dari mana saja kamu, Destra? Apa sudah menemukan orang untuk merawat Papa?" Tanya Kak Denia, kakak pertamaku.

"Iya, Destra. Gimana? Ini sudah seminggu kamu membuat pengumuman itu. Papa juga hampir satu bulan di rumah sakit. Tapi belum juga ada tanda-tanda kalau ada orang yang bersedia jadi perawat Papa." Cecar Kak Denissa, kakak keduaku.

"Destra! Jangan buat kami menunggu terlalu lama. Kasihan Papamu. Kami juga punya kesibukan dan pekerjaan masing-masing, tidak mungkin merawat Papamu dua puluh empat jam." Ujar Tante Kemala-adik dari Papa yang baru datang entah dari mana langsung menyambung pembicaraan kami.

Aku beranjak dari tempat duduk kemudian menarik napas. Membuka kancing lengan kemeja lalu mengambil segelas air putih dan meminumnya untuk membasahi tenggorokanku yang terasa kering, serta menjatuhkan pelan tubuhku di tempat semula. Membiarkan mereka dengan semua pertanyaannya.

"Tante, Kak. Aku ini baru pulang kalian sudah memberondongku dengan pertanyaan. Sudah aku usahakan, kok." Jawabku yang terasa lelah dan pusing.

"Terus, kamu berhasil?" Tanya Kak Denia.

"Belum," jawabku santai.

"Kok, belum. Kamu ini gimana sih, Destra?" Timpal Tante Kemala.

"Iya, Kak Destra. Cepetan, ini udah kelamaan, kasihan Papa di rumah sakit. Kapan Papa mau di bawa pulang?" Tanya Devina yang asyik bermain dengan keponakannya.

"Dek, Kakak sudah menemukan orang yang akan merawat Papa." Jawabku berusaha menghibur. Devina adalah anak Papa yang paling dekat dan sering sekali menangis.

"Terus, dia mau? Sekarang mana orangnya?" Tanya Tante Kemala tidak sabar.

"Tentu saja dia mau, tapi juga menolak." Jawabku.

Aku menjawab pertanyaan Tante Kemala, lalu melentangkan tangan di atas penyangga sofa dengan kaki tertumpang.

"Menolak gimana?" Tanya kedua kakakku bersamaan, mereka saling bertatapan satu sama lain.

"Dia menolak saat aku memintanya untuk menjadi istri." Balasku, berusaha bersikap tenang namun mampu membuat mereka terkejut.

"Apa?! Kamu memintanya jadi istri?" tanya Tante Kemala kaget, bagitu juga dengan kedua kakakku.

"Iya, Tante." Jawabku santai.

"Berapa usianya? Apa dia gadis, janda atau punya suami? Cerca Tante Kemala.

"Tante ini gimana? Masak, aku mau menikah dengan istri orang. Dia janda,Tan. Usianya empat puluh lima tahun, anaknya dua dan sudah punya cucu."

Dengan jujur aku menjawab pertanyaan Tante Kemala.

Apa?!!" Sontak mereka semakin terkejut dengan jawabanku dan hampir melonjak dari duduknya.

"Jadi, kamu mau menikahi janda yang sudah punya anak dan cucu, Destra?" Tanya Kak Denissa yang tidak bisa menutupi rasa keterkejutannya.

"Destra! Kamu jangan becanda," hardik Kak Denia.

"Iya, Kak. Aku tidak pernah becanda ataupun main-main, aku serius!" Seruku membuat mereka terdiam.

Apa?! Kak Destra mau menikah, memang siapa perempuannya yang mau dinikahi sama Kakak? Bukankah selama ini Kakak selalu acuh dan dingin sama perempuan?" Timpal kedua adik lelakiku, Devin dan Deka yang sudah berada di belakangku yang sama kagetnya dengan tante juga kedua kakakku.

Sebenarnya kami tidak ada yang lahir kembar, tetapi Papa memberi nama anak-anaknya dengan awalan yang sama. Ya itu hurup 'D'.

"Lalu, bagaimana dengan perempuan itu, apa dia menerimamu?"

Belum sempat menjawab pertanyaan Devin dan Deka, aku sudah di berondong kembali dengan pertanyaan Tante Kemala.

"Tidak. Tentu saja dia menolakku, Tan." jawabku.

"Hahaha. Pantas saja Kakak di tolak, itu artinya dia tahu diri. Mungkin Kakak tuh pantasnya jadi anak atau menantu, bukan suaminya." Tutur Devin dan Deka terkekeh, mungkin bagi mereka ini sebuah lelucon.

"Huusstt! Kalian ini bisanya cuma tertawa, bukannya bantu cari solusi. Ini tuh serius. Tante, bisa bantu aku 'kan?"

Jawabanku seketika membuat mereka terdiam kalau sudah melihatku bicara serius.

"Kamu mau bantu Tante apa, Destra? Buat melamar dia? Destra ... Destra. Kamu itu masih muda, tampan, gagah, pengusaha kaya yang sukses, anak seorang pengacara terkenal juga. Banyak wanita berlomba untuk mendapatkan kamu. Kenapa harus memilih janda itu? Apa nanti kata orang-orang? Pokonya Tante tidak setuju." Jawab Tante Kemala menolak.

"Tan, kita tidak perlu mendengarkan apa kata orang? Ini juga yang aku katakan kepada Widuri saat dia menolakku. Tolonglah Tante, ini juga demi Papa. Kalau menikah nanti, pastilah aku bawa dia ke sini untuk merawat Papa, biar Papa ada yang mengontrol siang dan malam." Jelaskku memohon.
"Pikirkanlah, Destra, sebelum kamu mengambil keputusan. Bagaimana kalau Papa tahu? Apa tidak sebaiknya menunggu Papa sembuh dulu untuk meminta izinnya?" Sambung Kak Denia.

"Kak, justru aku melakukan ini demi Papa, aku melihat dia lain dari yang lain, dia tidak meminta bayaran sebelum bekerja. Sudah aku tawari gaji sepuluh juta dia menolak, bahkan aku sempat memberinya cincin berlian, itu juga tidak di terimanya." Balasku.

Aku berusaha meyakinkan keluargaku kalau Widuri tidak seburuk yang ada di pikiran mereka.

"Mungkin itu hanya akal-akalan dia saja, Destra. Nanti kalau kalian sudah menikah, pasti harta kita di ambilnya juga." Timpal Kak Denia.
"Percayalah Tante, Kak, dia tidak seperti itu. Ya, Kak, izinkan aku menikahinya. Pokoknya, setuju ataupun tidak aku akan tetap memintanya jadi istriku, ini sudah menjadi keputusanku." Terangku sedikit merajuk membuat mereka semua terdiam.

Kalau sudah begitu,Tante dan kakak-kakaku hanya bisa menghela napas, mereka tahu aku seperti apa kalau kemauanku tidak dituruti? Karena hidup mereka semua tergantung kepadaku, begitu juga dengan suami Kak Denia dan Kak Denissa, mereka hanyalah benalu bagi keluarga kami, pemalas yang hanya mau hidup enak.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience