Hai maaf ya jika lama update.....selamat membaca
Hanya Renita dan Anjani saja yang boleh masuk keruangan perawatan. Diandra pasrah dengan keputusan dokter ya mau bagaimana lagi. Sebenarnya ia ingin melihat Rendra. Hatinya juga cemas tatkala mendengar berita kecelakaan sang bos.
Renita melempar senyuman saat keluar dari kamar perawatan. Diandra memandangi dengan heran. "Mas Rendra baik-baik saja Mbak", kelegaan melingkupi hati Diandra.
Diandra melempar senyum dan mengangguk senang. "Lukanya nggak sampai membutuhkan jahitan cuma diperban saja", Renita bernapas lega. Begitu juga Diandra, ia juga merasa ada perasaan yang membuncah saat melihat wajah gembira Renata.
"Ehm...maaf saya pulang dulu, Re", pamit Diandra.
"Mmm...Mbak Dian nggak masuk lihat keadaan Mas Rendra?", Diandra tersenyum tipis.
"Insya Allah besok ya, saya mau bersih-bersih dulu", Diandra mencium pipi kanan Renita dan melempar senyuman. Kakinya pun melangkah keluar dari rumah sakit.
Diandra mengusap betisnya yang sedikit kaku akibat terlalu lama berdiri. Ia juga mengoles salep anti nyeri.
Diandra mengembuskan napas, ia berpikir apa yang akan lakukan setelah ini. Ia belum memutuskan untuk menemui Rendra sekarang atau besok. Diandra menggelengkan kepala kuat-kuat.
"What?Resign?", Sandra sampai tersedak.
"Ya, itu lebih baik daripada aku harus terlihat canggung dengan Pak Rendra", jawab Diandra santai.
Sandra menghela napas, ia membalik tubuh Diandra kehadapannya.
"Dengar, ini karir yang sudah kamu bangun sudah lebih baik dari empat tahun lalu. Lalu sekarang kamu hempaskan gitu aja. Pikirin lagi deh, Di", saran Sandra.
"Tapi, San....", Diandra menghela napas dan menelungkupkan kepalanya di atas meja.
"Sudahlah jika..kamu keluar apa nggak terlihat aneh?", lanjut Sandra.
"Ya....mungkin tapi aku....".
"Oke...begini saja bagaimana kalau pindah divisi", potong Sandra.
"Lalu alasan yang aku buat apa nanti saat aku berhadapan dengan Kepala HRD?", tanya Diandra cemas.
"Nah, bingung kan?. Makanya jangan asal minta resign aja", nasehat Sandra.
Diandra melirik arlojinya dan berjingkat kaget. "Ayo San temani aku ke rumah sakit".
"Siapa yang sakit?", tanya Sandra panik. Hampir saja es jeruk didepannya tumpah. Beruntung Sandra cekatan masih bisa menangkap dan tidak jadi tumpah.
"Pak Rendra".
"Hah!. Memang sakit apa sampai ke hospital segala", tanya Sandra heran.
"Udah ikut aja, ayo cepat!", Diandra segera membayar makanan dan melangkah keluar menuju parkiran dengan menggandeng Sandra.
Macet sudah biasa terjadi di kota besar, kali ini mereka berdua beruntung menaiki motor matic Diandra. Ia bisa meliuk-liuk menyusuri jalan yang tidak terkena macet.
Sesampainya di hospital, Diandra tak langsung masuk ia hanya menatap lekat sang sahabat.
"Kenapa?", tanya Sandra.
"Aku takut", jawab Diandra gugup. Sandra menggenggam jemari Diandra dan mengangguk seraya memberikan semangat. Diandra hanya tersenyum lemah.
"Tenang nggak usah bingung". Sandra menanyakan ruang inap pada Diandra. Mereka pun sampai didepan pintu.
Sesampai didepan di ruangan Rendra. Sandra terkejut karena yang sakit bukan Rendra melainkan orang lain.
"Loh katanya Pak Rendra sakit kenapa wajahnya ganti?", bisik Sandra sambil menyenggol lengan Diandra keras.
"Maaf, permisi kami mau memeriksa pasien", seorang suster berjalan. melewati mereka berdua dengan membawa stetoskop dan alat pengukur tekanan darah.
"Maaf untuk pasien sebelumnya apakah sudah pulang?", tanya Diandra cemas. Untung saja pemeriksaan tidak lama jadi saat suster selesai Diandra segera bertanya.
"Oh Pak Rendra?, sudah baru saja pulang", jawab suster itu sopan. Sandra menepuk dahinya.
"Tahu gitu kita langsung kerumahnya aja ya", ujar Sandra sewot. Diandra hanya menghela napas. Tetap saja hatinya masih jumpalitan jika ia bertemu sang pimpinan.
**
Share this novel