BAB 2
”Mbak Aliiiiiiineeeeeee,” teriakan Evan mengagetkanku.
“Apa sih, Van?“ ucapku saat melangkah ke arah meja makan. Kulihat bunda sudah menyendokkan nasi goreng ke dalam piring. Evan menyeringai lucu ke arahku dengan menyesap susu cokelatnya.
“Dih, udah mau jadi calon dokter juga minumnya masih saja susu cokelat anak.”
“Ada mbak Nadia tuh di depan,” ucapnya sambil menyuapkan nasi goreng.
Kulihat jam yang melingkar di tangan. Semalam aku memang janjian dengan Nadia sahabatku sejak SMA— sampai sekarang. Sahabat yang masih setia denganku. Nadia juga yang memberikan pekerjaan di hotel milik keluarganya. Sedangkan dia sendiri kini telah menjadi polisi wanita mengikuti jejak papanya .
“Bun, Aline berangkat dulu, ya,” pamitku pada bunda yang sudah duduk manis di depan meja makan.
“Eh ... sarapan dulu, Line.” Bunda menoleh ke arahku.
“Ehmm sudah telat ni, Bun, Aline juga belum cari kado.“ Kusesap susu yang terhidang di meja.
“Ya udah tapi jangan lupa, makan nanti, Lin, tipesmu bisa kambuh loh.”
“Siap deh, Bun.” Aku mengacungkan kedua jempolku ke arah Bunda.
“Tenang Bun, ada dokter Vian kok, yang bakal merawat mbak Aline dengan setia kalau mbak Aline sakit,” celetuk Evan sambil menyeringai ke arahku.
.“Tak ada hubungannya Vian denganku,“ sanggahku kesal ke arah Evan.
Segera saja aku melangkah keluar. Jantungku kembali berdetak mendengar nama Vian lagi.
*****
“Beuuh ... ini jadi reuni kelas kita nih,” celetuk Nadia sesaat kami baru saja melangkahkan kaki ke ballroom hotel tempat diadakannya resepsi pernikahan Ryan. Kembali hatiku terasa sesak. Apakah aku bisa kuat melihat Ryan bersanding di depan pelaminan bersama perempuan lain? Rasanya ingin kuberbalik memutar tubuhku dan berlari demi menjauh dari kenyataan ini.
“Udah Line, udah, cuma Ryan ini dia masih punya efek sama kamu? Dari dulu kan dia itu cuma mainin kamu, Line. Sadar deh. Jangan lagi mengharapkan pria kayak gitu,” celetuk Nadia sambil membubuhkan namanya dan namaku di buku tamu.”
Nadia memang sahabatku yang paling mengerti perasaanku dulu. Orang yang juga menentang habis-habis saat kubilang masih mencintai Ryan. Katanya, itu mah cuma cinta monyet.
Kuhela napasku. Saat melangkah masuk, bisa kulihat kesan glamour dan mewah. Tak bisa dimungkiri Ryan telah menjadi pengacara sukses. Sedangkan Fransisca, dia ini termasuk anak tajir di sekolah dan kudengar sekarang dia telah menjadi direktur utama dari perusahaan milik keluarganya. Mengingat itu nyaliku kembali menciut, mereka memang layak bersanding.
“Kita beri ucapan dulu kepada mempelai baru makan, ya,” bisik Nadia, menyadarkanku dari lamunan.
Aku, hanya mengangguk lemah. Entah kenapa lututku terasa lemas saat melangkah menuju pelaminan. Dapat kulihat sosok yang selama ini menjadi impianku berdiri tegap dan tampak tampan di depan sana. Kulihat Fransisca juga sangat cantik di sampingnya. Bodohnya aku, kenapa juga masih ingin ke sini. Detik-detik mendekat ke arah pelaminan sangat menyiksaku. Aku tak berani menatap ke arah depan. Kucoba mengedarkan pandanganku secara acak. Dan melambai ke setiap teman yang melihatku dari kejauhan. Undangan di sini memang sebagian besar merupakan teman-teman sekolah kami dulu.
Nadia tampak berjalan dengan cepat di depanku, katanya semakin cepat selesai, semakin cepat juga dia makan. Duh dia, itu selalu saja makan dan makan. Heran sama pikirannya itu.
Grep.
Tiba-tiba sebuah rangkulan di bahu membuatku tersentak saat aku baru saja menaiki pelaminan.
Kutolehkan ke arah sampingku, dan Oh My God, kenapa ada bocah ini??? Tapi kulihat dia memakai seragam keluarga pengantin. Apakah dia??
“Mbak Mawar, aku temani kau mengucapkan selamat, ya?” bisiknya membuatku membeku.
Kulihat Nadia, sudah mendahuluiku melangkah ke arah depan dan menyalami Ryan.
“Mama, Papa ... ini loh calonnya Vian.”
Deg. Ucapan Vian sukses membuatku kembali membeku. Dua orang di depanku yang kuyakini kedua orang tua Ryan tampak terkejut. Tapi kemudian mereka mengulas senyumnya.
“Harusnya kemarin kamu ajak ke rumah, Yan, kan bisa ikut menjadi pagar ayu di sini,” ucap wanita separuh baya di depanku.
Ini benar-benar membuatku bingung.
“Nanti, Mah. nanti Vian kenalin lagi, sekarang mau kasih ucapan selamat dulu sama mas Ryan dan mbak Sisca kebetulan Rosaline ini juga teman mereka,” celetuknya seringan kapas. Tapi membuat otakku tak bisa mencerna.
Mas Ryan?
Ma?
Pa?
Entah bagaimana akhirnya Vian berhasil menyeretku
ke depan Ryan dan Sisca. Nadia yang sudah selesai memberi selamat pun menatapku dengan heran.
“Rosaline???” teriak Ryan dan Sisca bersamaan saat melihatku di depan mereka dan tangan Vian masih merangkul erat.
“Hai,“ ucapku gugup.
Kulihat Ryan menyipitkan matanya.
Deg.
Kembali menatapku dengan mata elangnya.
“Mas, Mbak, ini calon istri Vian ....,” ucap Vian bangga ke arah mereka yang membuatku sukses memerah .
“Yan,” tolehku ke arahnya.
“Serius ini Aline sama Vian?” pekik Sisca tak percaya. Dia menatapku sedikit ganjil dan sinis. Sedangkan Ryan entah ekspresi apa itu. Setelah 10 tahun tak bertemu aku masih bisa melihat matanya, yang menatapku sendu.
“Selamat, ya.“ Tanganku bergetar saat menggenggam tangannya.
“Kau perlu menjelaskan kepadaku, Line” bisiknya di telingaku.
Vian langsung menarikku.
“Mas jangan macam-macam, ya!!” celetuk Vian membuat Ryan menatapnya tajam.
Aku langsung beralih ke arah Sisca.
“Selamat ya, Sis.”
Kulihat Sisca tersenyum sinis kepadaku. Tapi kemudian merangkulku dan membisikkan sesuatu.
“Line, jangan coba-coba ganggu Ryan lagi,“ bisiknya, lalu melepaskan pelukan.
Share this novel