BAB 2

Drama Completed 1787

* Namaku Zurriyatun Toyyibah. Orang-orang gubuk*1) biasa memanggilku Atun. Kulitku sawo matang. Hidungku bulat, tak mancung. Rambutku ikal, hitam kemerahan. Aku memang tak secantik Sahudah , sahabat karibku. Walau begitu, aku cukup menarik dan menjadi perhatian banyak pemuda.. Tiap malam, paling sedikit tiga laki-laki midang*2) ke rumahku. Awalnya, aku takut. Tapi, inaq*3) menyuruhku untuk menemui mereka karena ini adat Sasak. Dulu, walau banyak laki-laki yang midang ke rumahku, hatiku hanya untuk seorang, Astan . Tapi, setelah kejadian itu, aku benci padanya, hati ini tak lagi untuknya. Iya, setelah kejadian memilukan itu. Kejadian yang menimpa Sahudah , Karibku. Berikut ini kisahnya…

* Gombel, 22 Ramadhan, 1429 H

Kabut tipis menyelimuti pohon nangka yang memagari jalan kecil desa Gombel. Memandang jauh ujung jalan di utara, puncak Rinjani biru disembur ujung lidah keemasan mentari, nan mulai menjulur. Berbalik memandang ujung jalan di selatan, tampak sebuah beringin lebat menjulang tepat di pojok tenggara persimpangan jalan. Puluhan langkah ke selatan, beringin yang nyaris mencakar kabel listrik itu tampak begitu jelas. Tepat di bawahnya, seorang gadis berwajah Arab berdiri tegak menggigit-gigit jemari langsingnya.

“Mbe ja dokar-dokar eno? Mana dokar-dokar itu?!” gumamnya, sambil melirik jam tangan murahannya.

Sesekali, ia berjinjit-jinjit tengok kanan-kiri, menanti derapan langkah kuda yang belum juga terdengar. “Adooo…h, mana ja’ – aduuuh, mana sih! Hari ini test midsemester, kalau telat gimana?” ungkapnya semakin gusar.

Jarum pendek arlojinya tepat menunjuk angka tujuh. “Akh..kusir-kusir eno mana ja’ – akh, kusir-kusir itu mana sih?!” gerutu Sahudah menghentakkan tapak kakinya yang beralas sepatu hitam usang. “Tumben-tumbenan kayak gini! Aneh bener!” gerutunya dalam hati. Ia makin gesit menghentakkan tapak kakinya. “Ee..! Tidak tahu ada apa hari ini?..,”

Titittt Tit…tit! pekikan soer sebuah sepeda motor butut memotong ocehan Sahudah . Lelaki yang naik motor itu menawari tumpangan untuk Sahudah .
“Apa tidak ngerepotin, Om?” sambut Sahudah berseri-seri.
“Tidaklah. Sekalian, aku mau motokofi dekat sekolah kamu!” kata lelaki berkumis tipis itu sambil membuka tutup helm kepalanya. “Ayolah!” desak l ramah, mengisyaratkan Sahudah untuk segera duduk di sadel empuk motor barunya. Makdudnya, ’baru dicuci’.
Sahudah pun tersenyum lebar. Ia berlari kecil sedikit mengangkat rok abu-abunya menuju motor tua. Setelah Sahudah duduk mantap, terlihat asap kumal menyempul dari bokong motor, mengekor laju Sahudah dan lelaki berjaket jeans itu. Mereka kini mulai jauh, jauh, makin jauh dari persimpangan Desa Gombel.
Sekadar basa basi, Sahudah berusaha memecah kesunyian di tengah motor yang melaju tak lurus, memilah jalan yang tak berlubang. “Mau motokofi ape, Om?” tanyanya dengan suara keras yang terseret angin dingin nan menusuk tulang.
“Emmh! Ni..Emm..Em buat lebaran minggu depan. Ya, buat lebaran minggu depan,” jawab lelaki itu gugup.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience