Bab 33

Romance Completed 25593

BAB 33

Canggung, satu kata itu sekarang yang sedang menyelimutiku. Coba saja, sekarang di hadapanku, ada berondong lagi bahkan lebih berondong dari suamiku ini yang dari tadi terus melirik. Membuatku jengah tentu saja. Untung saja Vianku itu tak menangkap gelagat Rasya yang sejak tadi duduk di depan meja makan matanya selalu mengekoriku setiap aku bergerak.

“Yang, hust aaaaaaa.” Vian menyenggol sikuku membuatku tergeragap.

Satu sendok susu hangat milik Vian kini berada di depan mulutku.

“Cicipi susu cokelatnya, enak,” ucap Vian.

Aku hanya menggeleng menatapnya saja membuatku mual.

“Mual, Yan, tak mau,” rajukku sambil terus menggeleng.

Vian menghela napasnya dan kini mengusap rambutku.

“Besok periksa saja, ya? Atau mau beli susu ibu hamil,

kan kandungan asam folatnya bisa mengurangi rasa mual, ya?” ocehnya tepat sasaran.

“Bagaimana kau tahu?” tanyaku ke arah Vian yang kini menyesap susu cokelatnya itu.

“Taulah, kan suamimu ini cerdas.” Sombongnya membuatku mencibir. Dan dia pun tergelak lalu tiba-tiba mengecup pipiku gemas.

Suara deheman di depan membuatku dan Vian tersadar kalau masih ada anak di bawah umur. Anggaplah begitu meski usia 20 tahun itu sudah tak bimbingan orang

“Hehehehe, maaf, Sya, kakakmu kan baru new couple jadi maklum, ya,” Vian mengacungkan dua jarinya tanda peace.

Rasya kembali menatapku lekat. Nah loh apalagi ini anak?

“Rasya juga ingin punya istri, Mbak Aline,” ucapnya tiba-tiba membuatku yang sedang mengunyah zupa soup tersedak, dan Vian seketika menyemburkan susu cokelatnya.

“Maksudmu?” pekik Vian kali ini.

Aku berusaha membersihkan susu yang tumpah ke kaosnya itu.

“Rasya jatuh cinta dengan mbak Aline.” Pandangannya masih menatapku lekat membuatku langsung menyembunyikan wajahku di balik bahu Vian. Entahlah ini anak tak mengenal basa basi apa ya?

Vian menghela napasnya lalu merengkuhku ke dalam pelukannya.

“Kau bercanda kan, Sya? Maksudmu kau kagum juga dengan mbakmu ini? Cantik kan, ya? Istriku ini memang cantik,” ucap Vian mencoba mengalihkan pembicaraan.

Rasya masih serius menatapku lekat.

“Kalau misalnya disuruh memilih, Mbak Aline milih aku apa mas Vian,” ucapnya yang membuat suamiku ini menegang.

Aku menepuk-nepuk bahunya untuk menenangkannya. Jiah, ini bocah kecil labil memang benarbenar tanpa basa-basi.Haduh bikin pusing.

“Sya, kau ini bercanda kan, ya? Mana ada, aku kan sudah 29 tahun kau masih 20 tahun, bisa-bisa aku sudah keriput kau masih muda mau jalan-jalan sama neneknenek?” godaku ke arah Rasya.

“Kak Vian juga masih muda kenapa mbak Aline mau?” tanyanya yang sukses membuatku diam tak berkutik.

Vian kembali menghela napasnya tapi kemudian tersenyum geli kali ini. Aku menoleh ke arah Vian dengan bingung.

“Sya, kau kesambet setan mana, sih? Sore begini ngomongnya ngawur, sudah kalau selesai makan, Kakak mau sholat dan istirahat, kalau kau masih tidur nanti jangan lupa kunci pintu, ya.” Vian beranjak dari kursi memberesi meja makan dan menarikku untuk masuk ke dalam kamar.

Rasya juga beranjak dan segera melenggang pergi tanpa rasa bersalah sedikit pun. Haduh anak zaman sekarang kok makin aneh saja, ya, kebanyakan nutrisi itu jadi begitu.

*****

“Aneh,” ucapku sambil memainkan selimut yang membebatku. Vian melirikku, dia masih sibuk membaca buku yang entah apa itu. Katanya besok dia sudah menjalani aktivitasnya sebagai dosen freelance di UNS jadi dia perlu mempelajari apa yang akan diajarkannya.

Vian meletakkan bukunya dan kini beringsut mendekatiku.

“Sayang, kenapa sih, dari tadi bilang aneh terus?” Kali ini Vian menarik dan mendekap tubuhku.

“Aneh, anak-anak zaman sekarang,” ucapku membuat Vian terkekeh tapi kemudian mengecup pipiku lagi dengan gemas kebiasaan mulai sekarang.

“Masih mikirin omongan Rasya?”

Aku mengangguk dan kini mendekap Vian. Hangat terasa, harum tubuhnya memang membuatku kecanduan.

“Kapan kita pulang, aku jengah ditatap seperti tadi terus, tak nyaman. Aku ini kan istri orang harusnya wajahku ini cuma untuk suamiku, jadi merasa berdosa, apa aku pakai cadar saja?” Ucapanku sukses membuat tawa Vian berderai, tapi kemudian menatapku lekat.

“Benar, Cinta, wajahmu ini hanya boleh aku yang menikmatinya tak boleh orang lain,” ucapnya.

“Pulang saja, ya, besok?” rengekku dan memainkan kancing piyamanya.

“Tapi tante Rani dan om Dewa belum bisa pulang besok, kita harus menginap di sini.”

Aku menghela napasku, Vian memelukku makin erat.

“Dulu menghadapi aku saja kuat, masa menghadapi Rasya yang masih kecil begitu tak kuat, keluarin dong galaknya, biar Rasya takut.”

“Cizzzz ... capek menghadapi bocah-bocah nekat kayak Rasya itu.“

Vian mengecup bibirku, lalu menatapku dan mengecupnya lagi.

“Pesonamu ini, Sayang, aku memang tak salah langsung menikahimu, untung saja ya, kalau belum pasti kau sudah jadi rebutan cowok-cowok di luar sana.”

“Viaaaannnn iiihhhh, aku serius.” Aku mencubiti perutnya membuat Vian terkekeh lagi.

“Iya, iya ... Cinta besok aku tegur Rasya, bocah itu memang nekat, tak tahu basa-basi, maklumlah dia hidup lama hanya dengan om Dewa jadi sifatnya seperti itulah. Ehhmm tapi tampan ya dia? Awas ya, kalau Cinta berpaling ke Rasya,” ancamnya membuatku melotot ke arahnya.

“Memangnya aku ABG labil yang mudah jatuh cinta kalau bertemu cowok cakep?” Aku beringsut dan menarik selimutku membuat Vian terkejut.

“Eh bercanda, Sayang,” rajuknya lagi, tapi aku malas menanggapinya, dan tetap menutup seluruh tubuhku dengan selimut.

*****

Suara dering alarm di atas nakas membuatku terbangun.Aku meregangkan tubuh, tapi ketika menengok ke arah samping tempat tidur tak kudapati Vian di sana.

Jam menunjukkan pukul 5 pagi, aku segera beranjak dari kasur dan melangkah keluar kamar lalu menuju kamar mandi ingin mengambil air wudhu. Saat itulah kudengar pintu depan terbuka dan muncullah dua sosok pria tampan di depanku.Memakai sarung, baju koko dan juga peci.

“Sayang baru bangun, ya?” Vian melangkah mendekat ke arahku. Rasya menatapku seperti kemarin, lekat seolah-olah ingin menelanku.

“Dari masjid, ya?”

Vian mengangguk mengiyakan, sedangkan Rasya kini melepas pecinya dan melangkah mendekatiku.

“Mbak, kok makin cantik, ya, kalau bangun tidur?“ rayunya membuatku langsung bersembunyi di balik punggung Vian.

“Sya, yang sopan sama mbakmu, sudah sana mandi siap-siap katanya mau nebeng sampai kampus,“ usir Vian membuat Rasya menghela napasnya tapi kemudian mengangguk dan meninggalkan kami.

“Dia itu gila, ya?” ucapku ke arah Vian yang langsung di angguki olehnya.

“Gila, karena istri cantikku ini.“ Vian mencium pipiku lagi membuatku kali ini keki setengah mati.

Pagi-pagi begini sudah dibuat keki sama dua berondong, beruntungnya nasibku, huft.

.*****

Vian mengajakku ke UNS, alasannya dia tak tega meninggalkanku sendiri. Dan aku juga baru tahu kalau Rasya juga kuliah di kampus ini. Dan parahnya lagi Vian menitipkanku kepada Rasya. Otaknya sudah bergeser rupanya.

“Yan, aku bisa kok sendiri, aku kan sudah dewasa bukan anak umur 5 tahun yang harus dijaga,” protesku saat Vian akan meninggalkanku dengan Rasya.

“Sayang kan lagi sakit, tak boleh sendiri harus dijaga. Lagipula aku hanya sebentar, 2 jam tak lebih. Sudah, ya.” Vian mengecup keningku lalu melambai ke arah Rasya yang berdiri tak jauh dariku.

“Sya, titip mbakmu, ya,” teriaknya sebelum pergi meninggalkanku dan Rasya.

Rasya tersenyum manis ke arahku. Haduh sabar, Line, sabar.

“Yuk Mbak cantik, aku ajak jalan-jalan.” Rasya segera menarik tanganku, membuatku terkejut seketika.

“Eh jangan kurang ajar, ya, bukan muhrim.” Aku mengibaskan tangannya tapi dia menarikku lagi.

“Kali ini saja Mbak cantik, lagipula kan kita saudara,

ya,” rajuknya membuatku akhirnya menurut ditarik olehnya.

“Rasyaaaaaa.” “Cakeeeeppp.”

“Kyaaaaa Rasyaaaa.”

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, di setiap jalan yang kami lewati pasti gerombolan cewek-cewek berteriak histeris. Lumayan populer ternyata dia. Yang ada dia malah makin mendekapku membuatku bingung.

“Sya, lepasin ga?” bisikku ke arahnya.

Dia menoleh dan menunduk ke arahku.

“Please, Mbak, help me ... aku sudah malas dikejar -kejar cewek-cewek ini,” ucapnya lirih.

“Rasya ... Sayang.” Tiba-tiba seorang cewek manis mencegat langkah kami.

“Eh, siapa dia?” Cewek itu menunjuk dan menatapku curiga.

Duh apalagi ini, drama queen lagi pasti.

“Dia calon istriku,” ucap Rasya membuatku menatapnya terkejut dan juga gadis itu.

Gadis itu tampaknya masih shock, dan tak mengatakan apapun sampai Rasya menarikku untuk pergi.

“Ishhh, lepaskan, Sya, aku aduin ke Vian, loh.” Aku mulai jengah dan medorong tubuhnya itu.

Dia mengangkat kedua tangannya.

“Iya Mbak cantik, kalau marah makin cantik,” ucapnya membuatku memutar mata.

Kami berhenti di sebuah lapangan dan kulihat di depan sana sedang sibuk beberapa mahasiswa bermain softball.

Tiba-tiba aku sangat tertarik dan berjalan mendekat ke arah lapangan.

“Mbak, ingin main?” Rasya menepuk bahuku.

Aku kembali menoleh ke arahnya dan kini kembali menatap permainan softball yang kini dimainkan oleh mahasiswi-mahasiswi di lapangan.

Kuusap perutku, entah kenapa aku jadi ingin main, padahal aku benar-benar tak suka olahraga ini. Apa karena ngidam, ya? Vian junior, kau ini aneh-aneh saja, ya?

“Memang boleh ya, Sya?”

Rasya mengangguk, ”Aku pelatih mereka, Mbak, tenang saja,” ucapnya membuatku melongo.

“Kau pelatih softball?”

Dia kembali mengangguk, ”Tapi Mbak jadi pitcher saja ya, kan lagi hamil, nanti aku kena marah kak Vian lagi,“ ucapnya membuatku mengangguk antusias.

Rasya berlari ke arah gerombolan mahasiswi itu, lalu menunjuk-nunjukku dan kemudian tersenyum lalu mengambil sesuatu dan berjalan ke arahku lagi.

“Nih, ganti dengan seragam ini.” Rasya menyerahkan seragam softball ke arahku dan menunjuk toilet yang tak jauh dari lapangan.

Aku mematut diri setelah selesai memakai seragam dan tiba-tiba sebuah topi mendarat di rambutku.

“Biar wajah cantiknya ga kepanasan.” Rasya sudah memakaikan topi di atas kepalaku.

Lalu menarikku ke arah lapangan. Mereka semua menyambutku. Rasya mengajariku untuk menjadi pitcher.

Ah aku jadi seperti atlit profesional saja.

*****

“Senang?” Rasya menatapku yang bermandikan peluh setelah menjadi pitcher amatiran .

Aku mengangguk dan mengacungkan kedua jempolku. Tapi tiba-tiba tubuhku didekap erat dari belakang.

“Sayang, kau ini kenapa melakukannya?” Suara Vian tampak menggeram menahan emosi.

Aku berbalik dan kini menunjuk perutku.

“Dekbaynya ngidam pengen jadi pitcher.”

Vian menghela napasnya dan menciumi wajahku membuatku benar-benar malu karena masih berada di pinggir lapangan di mana masih banyak mahasiswi di sini. Suara sorak- sorai membuatku membenamkan wajah di dada Vian.

“Vian, ih malu,” bisikku membuat Vian tergelak.

“Biar, biar Sayang kapok, membuatku khawatir, tak boleh lagi melakukan itu,” sungutnya lalu mengusap peluh di keningku dan membuka topi yang sudah basah oleh keringat.

“Sya, jangan kau ajak mbakmu ini bermain macam-macam lagi,” ucapnya galak ke arah Rasya yang hanya menjulurkan lidahnya dan tersenyum lebar.

*****

“Yan.”

“Ehmmm.”

“Marah, ya?”

“Ehmmm.”

Sejak tadi pulang dari kampus Vian memang hanya tetap diam, sedangkan Rasya tak ikut kami pulang karena masih ada kelas. Aku tahu dia marah karena aku bermain softball tadi tapi kan juga bukan keinginanku.

Vian membolak balikkan buku di depannya dan masih tak mengacuhkanku.

Aku tersenyum dengan nekat duduk di pangkuannya. Membuat Vian akhirnya mengarahkan pandangannya ke arahku.

“Apa, istriku sayang?” ucapnya saat aku mulai mengecupi pipinya.

“Dekbaynya kangen sama daddy-nya,” rayuku, dan kali ini membuat senyuman menghiasi wajahnya.

“Aiihhh kau ini dasaaarr, ya, pintar merayu, ya?” Vian mencubit pipiku gemas.

“Maaf, ya,” rajukku lagi.

Vian mengusap perutku. “Dekbay kangen ya sama Daddy? Hmmmm ...”

Dia malah menunduk dan nampak berbicara dengan perutku. Tuh kan aku dicuekin lagi.

“Vian!!!”

“Mommy-mu cemburu, Dek,” ucapnya membuatku makin memberengut. Vian mengecup pipiku.

“ Makanya jangan bandel, besok tak boleh ke mana-mana masih sakit juga.”

“Iya.”

“Kenapa cuma iya saja? Ayo berjanji kalau masih bandel, Sayang bersedia dikurung di dalam kamar denganku,” ucapnya membuatku mengerutkan kening.

“Maksudnya?”

“Menjenguk dekbay seharian di dalam kamar.” Seketika wajahku memerah mendengarnya.

“Viaaannn, iiihh mesuuummm.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience