Rate

BAB 2

Drama Completed 304

“Kapan kamu akan membiarkan orang-orang yang peduli sama kamu buat ngebantu kamu jadi lebih baik?”
“Aku baik-baik aja kok. Kacau, itu memang hidup aku. Kita dibesarkan dengan latar belakang yang berbeda, Farid. Bagaimanapun usaha kamu merubah aku, saat aku kembali masuk ke rumah, aku akan menjadi diri aku lagi, yang kacau.” Tiba-tiba dia meraih tanganku.
“Kamu boleh kalau kamu mau. Sebentar lagi kita jadi mahasiswa dan dunia luar sana jauh lebih kacau. Kalau kita kehilangan kontrol, kita boleh tersesat. Aku nggak akan lepas tangan kamu, jadi kita boleh terus sama-sama, dan nggak akan ada dari kita yang tersesat. Oke?” Mata Farid begitu sayu, menatapku penuh harapan, dan keyakinan.
Aku mengangguk.
“Oke.”

Apa aku dan Farid berpacaran? Tidak, belum. Apa kami saling cinta? Aku rasa begitu. Sejak malam itu, hubungan kami menjadi lebih solid. Entah bagaimana perkataannya berhasil merubah pola pikirku sedikit demi sedikit. Jika aku menjalani kehidupan ini untuk Ibu dan Ibu tidak peduli, aku tidak seharusnya berhenti dan menjadi kacau, aku akan menjalani hidup ini dengan baik untuk diriku sendiri.

“Hari ini aku buat tugas, dan memakai seragam yang benar.” Ketiga sahabatku itu tertawa gembira.
“Tapi masih telat datang?” Kiki bertanya. Aku mengangguk dan kami tertawa lagi.
“Perlahan tapi pasti.” Kata Farid sambil tersenyum padaku.
“Ya, seperti hubungan kalian, kan?” Celetuk Deta.

Mukaku pastinya memerah. Biasanya mereka tidak pernah membahas hubungan aku dan Farid saat ada orangnya di depan kami.
“Oh. Ya. Betul. Yang terpenting itu prosesnya. Bagaimana nanti ujungnya, itu yang pantas untuk kami berdua.” Tanggap Farid dengan begitu bijak. Entah bagaimana lelaki pintar ini boleh suka denganku.
“Mel,” Kiki membuatku terpaksa menengadah dari piring nasi gorengku dan menatap ke arahnya. “Itu Ibu kamu, bukan?” aku menoleh ke arah yang ditunjuk Kiki dan ternyata benar, itu Ibu, sedang berjalan mendekati ruang BP.

“Tapi kenapa?” Aku tidak berulah lagi hari ini menurutku, kecuali terlambat datang, dan ada banyak murid lain yang juga terlambat sama seringnya denganku namun orangtua mereka tidak pernah hadir ke sekolah.
“Kamu mau nyusul ke sana?” aku ragu sejenak. Nasi gorengku masih ada setengah lagi dan laparku belum sepenuhnya hilang.
“Nanti dilanjutkan lagi makannya. Pergi sana.” Farid membungkus keraguanku dan aku langsung berlari ke arah Ibu.
“Ibu.” Teriakku sebelum ia sempat membuka pintu ruang BP.

Ibu memandangku tanpa ekspresi. Oh Tuhan, selama ini aku selalu bertanya-tanya apa Ibu membenciku, apa aku menjadi penghalang ia untuk menjalin cinta dengan lelaki baru? “Kenapa Ibu ke sini?” tanyaku tanpa basa-basi. Basa-basi sudah lama terhapus dari kamus kami.
“Memenuhi surat panggilan tempo hari.” Jawabnya datar.
“Tapi itu panggilan untuk dua hari yang lalu. Hari ini Elor sama sekali nggak buat masalah.”
“Ibu baru boleh hari ini, Mel. Biar Ibu ketemu Pak Bukhari dulu.” Aku menghela napas berat.
Tidak ada yang boleh ku perbuat. Kalau Ibu datang dua hari yang lalu ketika memang itu niatku, membuatnya memerhatikan sebentar saja kehidupanku, mungkin aku akan senang. Tapi tidak sekarang. Ibu akan menganggap aku anak yang sangat bermasalah di saat aku sudah mulai berubah.

Ini sudah kelewatan. Rasanya sudah lebih dari satu jam Ibu ada di ruangan Pak Bukhari . Aku memakai alasan sakit untuk pergi ke UKS yang berada tepat di depan ruang BP agar boleh berbicara dengan Ibu ketika ia sudah ke luar nanti. Sebentar lagi akan ada pergantian pelajaran dan jika aku belum kembali ke kelas aku akan disuruh pulang, dan yang pastinya pihak sekolah akan menghubungi Ibu yang akan langsung tahu aku berpura-pura dan aku dalam masalah lagi.
Belum sempat hal ku khawatirkan itu terjadi, aku melihat Ibu ke luar. Aku langsung bangun dan berlari ke arahnya.
“Ibu.” Namun aku terhenti beberapa meter darinya. Memandang muka Ibu yang muram dan matanya yang sembab. Apa sebegitu parahnya tingkahku di sekolah ini hingga Ibu merasa terlalu kecewa dan menangis?

Dengan cepat Ibu mengusap matanya, memasang wajah biasa-biasa saja, dan berjalan mendekatiku.
“Nanti sepulang sekolah, kamu langsung pulang. Jangan ke mana-mana.” Begitu saja katanya. Belum sempat aku bertanya Ibu sudah berlalu, berjalan dengan cepat dan bahunya naik turun. Ibu menangis lagi.
“Melor,” Suara Pak Bukhari mengagetkanku. Entah sejak kapan beliau berdiri di pintu ruangannya.
“Ya, Pak. Maaf, saya bukan bermaksud bolos. Saya cuma mau ketemu Ibu saya.”
“Boleh ke ruangan saya sebentar?” aku hanya boleh mengangguk. Masalah apa sebenarnya yang sedang ku hadapi.

“Saya dalam masalah lagi, Pak?” tanyaku langsung ketika duduk di hadapan Bapak berperawakan menenangkan ini.
“Biar kali ini saya bertanya lebih dulu dengan kamu. Apa kamu merasa dalam masalah?” Kalau jawaban jujurnya, tentu saja tidak. Aku membuat tugas kok hari ini.
“Rasanya tidak, Pak.” Jawabku.
“Begitu. Saya mau tanya urusan pribadi, boleh?” Deg. Apa lagi ini maksudnya?
“Maksud Bapak?”

“Bagaimana hubungan kamu dengan Ibu kamu?” sebenarnya Pak Bukhari sudah tahu hubunganku dengan Ibu tidaklah seerat saat Ayah masih bersama kami, dulu. Kerana setiap beliau bertanya alasanku terlambat, jawabanku selalu sama, telingaku tidak mempan dengan alarm, dan tidak ada orang yang boleh membangunkanku kerana Ibu sudah meninggalkan rumah dari jam 6 pagi.
“Masih seperti itu saja, Pak.” Apalagi yang boleh ku jawab? Bahwa kini setiap malam kami piknik di bawah sinar rembulan?
“Kamu masih berpikir kalau Ibu kamu tidak peduli? Tidak sayang sama kamu?”

Aku tahu seharusnya tugasku hanya menjawab pertanyaan saja, tapi aku tidak tahan untuk tidak bertanya.
“Apa Ibu saya menangis tadi, Pak? Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Kita akan sampai di bagian itu, Melor. Jawab saja pertanyaan Bapak dulu.” Oke. Aku akan mengalah.
“Bahkan hari ini saya berpikir Ibu begitu membenci saya, Pak.” Pak Bukhari seketika menutup matanya sejenak, mungkin memikirkan kata-kata yang tepat untuk disampaikan padaku.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience