BAB 32
Tak tahu awalnya bagaimana, atau memang ini bocah sudah mempersiapkan segala sesuatunya dari awal. Kami memang menikah secara mendadak, tapi pernikahanku ini sudah sah di mata agama atau pun Negara. Dan kalian tahu, Vian sekarang sudah meletakkan buku nikah kami di depan Sisil yang membuat Sisil langsung membelalak terkejut. Vian memaksaku untuk merebahkan kepalaku di pangkuannya. Padahal aku ingin segera ke kamar, tapi dia memaksaku untuk menemaninya memberi kesaksian kepada Sisil. Pusing makin mendera kepalaku kini.
Sisil membolak-balikan buku nikah kami lalu menatapku dan Vian bergantian. Suasana café sudah ramai, tapi untung saja tempat kami duduk bisa dibatasi oleh kaca pembatas yang memang disamarkan.
“Jadi benar kalian, m-menikah?” Sisil mencicit ke arah Vian.
Vian masih mengusap-usap rambutku dengan lembut atau sesekali memijat pelipisku.
“Iya, Sil, aku baru saja menikah dan cintaku ini sedang mengandung buah cinta kami,” jawabnya tegas dan lugas.
Kalau dulu Sonia langsung menangis histeris mendengar pengakuan Vian, kali ini Sisil tampak sangat tenang.
“Hmmm kalau begitu selamat, ya?” Dia mengulurkan tangannya kepadaku dan Vian.
Owh ..., sungguh di luar dugaan kalau Sisil bisa bersikap bijak begitu. Aku pikir dia akan menangis menjerit-jerit, tapi senyumnya ke arah Vian menandakan ketulusan. Sikapnya itukah yang dulu membuat Vian jatuh cinta kepadanya?
“Maaf ya, Mbak, dari awal bilang kalau mbaknya ini istrinya Vian, jadi kan aku ga seperti ini, jadi malu nih,” ucapnya.
Vian tersenyum, aku sendiri juga ikut tersenyum tipis, masih belum menerima sikap Sisil yang dengan cepatnya bisa berubah.
“Ya sudah, sekarang sudah tahu kan, maaf ya, Sil, dulu mungkin hanya ungkapan cinta saat masih muda ..., maaf,“ ucap Vian dan kali ini bisa kulihat raut wajah Sisil mulai berubah menjadi muram.
Sisil mengalihkan pandangannya ke arah lain, tapi aku bisa melihat dia mengusap air mata yang sempat terjatuh membasahi wajahnya yang imut itu. Sisil memang cantik, sangat bahkan menurutku, wajahnya bak pahatan sempurna, tubuhnya juga bagus, pantas saja Radit bilang dia tergila-gila dengan Sisil.
Aku berusaha bangkit, mencoba memberi ruang kepada Sisil dan Vian. Aku bisa merasakan posisi Sisil, menunggu orang yang dicintai dan menerima kenyataan pahit. Kenapa jadi seperti kisah cintaku dan Ryan? Duuuhh, kenapa jadi teringat Ryan kembali?
“Eh Sayang, mau ke mana?” Kali ini Vian menarik tanganku yang sudah beranjak dari sofa.
“Aku ke kamar dulu, ya, lagipula sudah waktu duhur. mau sholat ..., kamu temani Sisil dulu,” ucapku lalu menoleh ke arah Sisil.
“Sil, Mbak tinggal dulu, ya,” ucapku ke arahnya.
Sisil hanya mengangguk dan tersenyum. Vian ingin mengikutiku, tapi sempat kudengar Sisil menahannya dan ingin bicara empat mata. Biarlah mungkin mereka memang butuh waktu.
*****
Sebuah dekapan hangat membuatku berjenggit. Tadi
setelah sholat, aku langsung bergelung lagi di atas kasur, dan akhirnya tertidur.
Embusan napas hangat di tengkukku. Kubalikkan tubuh dan melihat Vian memejamkan matanya. Mungkin dia lelah, mengingat semalam dia tak tidur karena harus mengendarai mobil.
“Sudah sholat belum?” bisikku ke arahnya.
Vian mengangguk dan tangannya melingkar di pinggangku, kakinya dikaitkan ke kakiku, mengunci tubuhku. Matanya masih terpejam.
“Ya sudah tidur, gih, pasti lelah. Sisil sudah pulang?”
Vian mengangguk lagi. Tapi kini Vian membuka matanya menatapku lekat.
“Yang, maaf,” ucapnya kemudian membuatku bingung.
“Maaf untuk apa?.”
Vian menghela napasnya, lalu merengkuhku untuk mendekat, ”Membuat Sayangku selalu merasa kalah dengan wanita yang lain, aku mohon, kau ini permaisuri hatiku, jadi jangan pernah merasa kalah dengan siapa pun. Mungkin di sampingku tak mudah. Kejadian dengan Sonia, atau seperti tadi malam, atau tadi dengan Sisil, membuat Sayang merasa tak pantas di sampingku, kan?”
Ucapannya memang benar-benar tepat. Aku memang merasa tak pantas untuknya.
Kuusap pipinya yang lembut itu, hangat terasa, sisi liar wanitaku atau mungkin hormon kehamilanku membuat sentuhan itu mengirimkan gelenyar panas ke seluruh tubuhku. Aku menginginkannya. Absurd kan pasti?
“Aku sudah tahu, kok, konsekuensinya kalau mencintaimu dan menerimamu menjadi suamiku,” jawabanku membuatnya tersenyum.
Vian mengusap-usap punggungku dan makin membuat tubuhku bereaksi. Aduh apa ini kenapa aku ingin sekali disentuhnya saat ini.
“Sayang memang sangat baik, aku jadi makin takut kalau kau berpaling dariku,” ucapnya yang seketika membuatku tergelak.
“Siapa yang akan membuatku berpaling sih, punya suami berondong super tampan manis dan pintar seperti ini, kok, apalagi siapa yang bakalan suka denganku?” godaku ke arahnya.
Vian tersenyum lalu mengusap bibirku dengan jemarinya.
“Jangan bilang begitu, Sayang itu cantik, bahkan punya pesona sendiri. Masku saja bisa tergila-gila denganmu, padahal mbak Sisca, kau tahu sendiri, seperti apa dia dulu, sebelum aku bertemu denganmu, aku penasaran tiap kali masku cerita, masa sudah punya pacar cantik kayak mbak Sisca, dia belum bisa menerima? Tapi memang kan ya, Sayangku ini menarikku dan jatuh ke dalam pesonamu.”
“Gombal.” Aku beringsut dan membalikkan badan, tapi Vian malah mengecupi tengkuk dan leherku.
Eh mau apa dia coba?
“Yang, boleh jenguk Vian junior?” bisiknya di telinga membuatku merinding.
Tuh kan hanya disentuh telingaku saja aku sudah panas dingin seperti ini.
“Ma-maksudmu?” Nah loh aku mulai gugup.
Vian menelusupkan jemarinya di balik kemeja yang kupakai dan telapak tangannya terasa hangat menerpa kulitku.
“Ingin bercinta dengan Sayang,” bisiknya dengan suara parau, membuatku menggelinjang karena rasa geli yang menggelitik perutku.
Vian mengusap-usap perutku.
“Tapi bolehkah dijenguk?” cicitku ke arahnya membuat dia tersenyum.
“Boleh, tapi harus pelan-pelan kata dokter,” jawabnya membuatku akhirnya mengangguk patuh, karena tubuhku juga menginginkan sentuhannya.
Hormon kehamilan ini membuatku bergairah.
Vian perlahan melepas semua kancing kemejaku, dan juga menurunkan rok dress longgar yang kupakai. Dalam sekejap tubuhku hanya memakai bra dan panties saja. Vian beranjak dari sisiku dan mulai membuka kaosnya, dan mempertontonkan lekuk tubuhnya yang sekali lagi membuatku terpesona.
Vian berbaring lagi dan mulai menciumi wajah dan bibirku. Tangannya mulai bergerak nakal di antara perut dan dadaku, mulai mengirimkan gelenyar panas, membuat setiap inci tubuhku mendamba sentuhannya.
“Sudah siap?” bisik Vian tepat di telingaku.
Aku hanya mengangguk dan tak bisa menjawabnya.
Kecupan hangat mendarat di leher dan turun kebagian dada. Disingkapnya bra yang masih menutupi kedua payudaraku. Matanya menggelap saat tak ada lagi penghalang yang menutupi area sensitif milikku. Aku mulai merasa malu saat Vian mulai bermain-main dengan puncaknya yang sudah menegang.
“Ahhhhhhh.” Satu erangan lolos saat dia mulai mengecup, menggoda dan mengulumnya.
Gulungan rasa yang sangat nikmat mulai merayapi seluruh tubuhku. Tiap sentuhan tangannya ataupun bibirnya membuatku makin tak bisa menahan rasa ini. Vian kembali melumat bibirku dengan intens, mengirimkan gelenyar-gelenyar panas yang lain. Vian mencumbuku lagi dan lagi, setiap jengkal tubuhku tak luput dari kecupan dan sapuan tangannya yang mulai membuatku makin menginginkannya. Saat Vian mulai menghilangkan penghalang yang masih menutupi area paling sensitif milikku, tubuhku sudah siap untuk menerima semuanya. Dulu mungkin aku akan ketakutan saat Vian melepas celananya dan siap menghunjamku dengan miliknya, tapi kali ini aku sudah siap 100%.
“Siap, Yang?” tanyanya sekali lagi ke arahku.
Vian sudah berada di tengah kedua kakiku. Aku hanya mengangguk malu, dan saat Vian akan melakukannya tiba-tiba suara ketukan di pintu kamar mengagetkanku dan Vian.
“Yan, ini om Dewa. Please, penting.”
Teriakan om Dewa sukses membuatku dan Vian kelabakan. Aku langsung bangun dan memakai semua pakaianku lagi dengan cepat begitu pun Vian. Setelah melihat semuanya kembali seperti semula, maksudnya kami sudah berpakaian lengkap dan membenarkan kekacauan yang kami buat, Vian melangkah ke arah pintu dan di sana om Dewa memandangku dan Vian bergantian.
“Maaf mengganggu tidur kalian, tapi, tantemu, Yan, saat ini ada di rumah sakit sedang melahirkan, Om bingung. Rumah pasti kosong dan kalian kan tahu Rasya di rumah sendiri, jadi bisakah Om minta tolong sama kamu untuk menginap di rumah sementara Om di rumah sakit. Pakai mobil Om, karena Om minta Radit untuk mengantar ke rumah sakit sekarang.”
Vian langsung mengangguk mendengarnya.
“Pasti Om, aku dan Aline akan menginap, salam buat tante Rani, ya semoga cepat lahir buah hatinya.”
Om Dewa menepuk bahu Vian lalu tersenyum dan menatap ke arahku.
“Titip rumah ya, Line,” ucapnya sebelum akhirnya beranjak pergi dari hadapan kami.
Vian menoleh ke arahku dengan tatapan kecewa lalu tiba-tiba mendekapku erat.
“Sekarang tak jadi nanti malam kita lanjut lagi, ya, Yang,” bisiknya membuatku mengangguk mengiyakan. Nah loh Aline!!”
*****
“Wuah rumah om Dewa bagus, ya?” Aku memandang rumah berbentuk minimalis tapi sangat indah ini, penataannya yang simpel membuat kesannya jadi terasa nyaman untuk dihuni.
Vian meletakkan tas ransel yang berisi beberapa pakaian kami. Om Dewa tadi sempat memberikan kunci cadangan rumahnya sehingga kita bisa masuk. Jarak café dengan rumah Om Dewa memang agak jauh, 30 menit baru bisa sampai ke sini.
“Rasya umur berapa, Yan?” tanyaku ke arahnya yang kini sibuk membuka sebuah kamar.
Vian menarikku untuk masuk ke dalam kamar, dan meletakkan semua barang bawaan kami. Vian membuka jendela di kamar ini sehingga mengirimkan udara yang segar masuk ke dalam kamar.
“Ehmm, 20 tahun,” jawab Vian sambil merebahkan dirinya di atas kasur.
Aku membelalak terkejut.
“Maksudmu, Rasya sudah 20 tahun dan baru punya adik?”
Vian tersenyum dan kini terduduk di atas kasur lalu menarikku untuk duduk di pangkuannya.
“Om Dewa itu menikah lagi, karena istri om Dewa, tante Tanti, sudah meninggal saat melahirkan Rasya, jadi bisa dibilang om Dewa membesarkan Rasya seorang diri. Dia terlalu mencintai almarhum tante, jadi yah baru 2 tahun ini dia menikah lagi,” jawabnya membuatku ber-owh owh saja.
“Ehm aku gerah nih, Yang, mau mandi, atau kita
lanjutkan lagi yang tadi?” seringainya ke arahku.
Kujitak kepalanya.
“Ini masih siang dan di rumah orang, nanti kalau Rasya pulang?”
Dia tergelak lalu mengecup bibirku sekilas, kemudian melepasnya menatapku lagi dan mengecup bibirku lagi membuatku mengerang tak sadar.
“Tuh kan, Sayang saja juga menginginkannya, hayo ngaku?” godanya membuatku kali ini tersipu. Tapi aku langsung beranjak karena tiba-tiba aku ingin muntah lagi. Ah hamil muda memang begini ya rasanya, hormon yang naik turun membuat semuanya terasa membingungkan.
*****
Suara gemericik air dari dalam kamar mandi, membuatku tersenyum, Vian akhirnya mandi. Aku berniat memasakkan sesuatu untuk dimakan malam ini sambil menunggu kepulangan Rasya sebentar lagi.
Suara langkah kaki menuju tempatku berdiri di dapur ini membuatku berpaling. Aku sudah selesai memasak zupa soup instan yang tadi dibawa Vian dari café.
Aku seketika tertegun melihat siapa kini yang berdiri tegak menjulang di depanku. Seorang pria tinggi tegap, dengan wajahnya yang manis, ehm bukan-bukan, tapi sangat tampan kini sedang menatapku dalam diamnya. Aku tersenyum kikuk, karena mengingat aku hanya memakai gaun selutut warna biru muda yang memamerkan kaki jenjangku.
“Hai, pasti Rasya, ya?” sapaku ke arahnya dan mengulurkan tanganku.
Dia masih menatapku lekat dan terdiam di tempatnya. Duh, ini bocah kenapa coba, tanganku masih menggantung di udara saat suara pintu kamar mandi terbuka dan Vian keluar dari dalam sana dengan hanya mengenakan handuk yang melilit bagian bawahnya dan mempertontonkan dada telanjangnya itu. Aku menelan ludahku melihat tubuh seksi suamiku itu, duh Vian jangan menggoda imanku begini, ya?
“Rasya sudah pulang?” Suara Vian membuat pria di depanku ini berpaling ke arah Vian.
“Kak Vian? Ah, lama tak berjumpa,” ucapnya dan langsung memeluk Vian.
Tuh kan ini anak aneh tadi kusalami tak mau eh sekarang malah memeluk-meluk suamiku itu.
“Ya sudah, ayo makan dulu semuanya sudah siap,” ucapku menginterupsi keduanya.
Vian melangkah mendekatiku dan meraih pinggangku.
“Sya, perkenalkan ini istriku tercinta,” ucap vian membuat Rasya tampak terkejut.
Lalu menatapku lagi dengan pandangan yang, uh, tak bisa kuartikan. Aku bertemu bocah aneh lagi selain Vian sepertinya.
Setelah berjabat tangan, Rasya tak mengatakan apapun dan kini berpamit untuk mandi terlebih dahulu, sedangkan Vian juga melesat ke kamar untuk berganti pakaian dan menunaikan sholat magrib. Aku sudah terlebih dahulu sholat dan kini menyiapkan zupa soup di meja makan, dan tak lupa susu hangat untuk suamiku itu.
“Jadi, mbak cantik ini benar istrinya kak Vian?” Suara Rasya membuatku terlonjak dari kegiatanku menuangkan air putih ke dalam gelas.
Dia sudah tampak segar dengan kaos warna putih dan celana santai warna cokelat selutut.
“Iya, kami baru saja menikah,” jawabku saat dia menarik kursi dan duduk di depanku.
“Kamu mau minum apa? Teh ? Kopi? Atau susu?“ tanyaku ke arahnya tapi bocah itu bergeming sambil menopang dagunya dan menatapku lekat.
Ditatap seperti itu membuatku jengah sendiri.
“Rasya,” panggilku lagi.
“Mbaknya cantik ...” Dia hanya bergumam seperti itu dan menatapku lekat lagi.
Duh emaaakkk apalagi ini? Jangan lagi deh .... Hatiku kebat-kebit dengan tatapannya itu. Jangan lagi ada berondong yang tertarik denganku, jangan ... cukup Vianku saja.
Share this novel