"Cek semua barang-barang kalian! Jangan sampai ada yang ketinggalan! Gue nggak mau ya, sampai di TKP kalian ribet sendiri."
"Siap!"
Aku mengambil topi hitamku dari atas meja. Hari ini akan menjadi hari yang paling bersejarah di SMA Panorama. Karena aku dan tim pasukan khusus akan melaksanakan sebuah misi besar.
Sebelumnya, perkenalkan dulu. Namaku Adira Delmora. Cewek penyuka biskuit, ice cream vanilla, dan warna biru langit. Saat ini, aku berada di masa penghujung sekolah. Jabatanku di sekolah sebagai Wakil Ketua OSIS. Jabatan yang cukup membanggakan buatku.
Beberapa hari yang lalu, aku mendapat kabar dari Pak Sofyan, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Kata beliau, salah seorang anak SMA Panorama tertangkap polisi lantaran mencopet di pertigaan lampu merah. Pak Sofyan meminta bantuan anak-anak OSIS untuk menangkap siapa saja yang terlibat dalam kasus ini.
Cukup berat sih. Di sekolah lain mungkin OSIS hanya bertugas menertibkan murid-murid atau mengurus event tahunan sekolah. Tapi di sekolahku beda, OSIS disini sudah seperti aparat keamanan. Segala hal yang menyangkut nama baik sekolah harus kami lakukan tanpa ada bantahan.
Ya.. seperti yang sedang aku lakukan. Kami sedang berada di ruang OSIS dan berkumpul membentuk sebuah lingkaran. Tirta yang bertugas mencari informasi tentang kasus pencopetan itu kini tengah membuka laptopnya.
"Gimana, Tir? Dapet informasinya?" tanyaku pada cowok berkacamata yang sedang fokus pada laptopnya.
"Dapet dong. Katanya ya, mereka itu komplotan yang udah sering nyopet di sana. Bukan cuma itu, Dir. Mereka juga sering ikut tawuran sama sekolah lain."
"Nama-nama yang ikut komplotan itu?"
Tirta memijat keningnya. "Belum dapet. Gue cuma taunya Si Gery, anak kelas 11 IPS 2."
"Gue yakin banget itu anak-anak yang suka nongkrong di warung Bude Iyem. Udah pasti mereka." ucap Alysa.
"Lo tau darimana? Jangan asal nuduh." ucapku yang tidak serius menanggapi ucapan Alysa.
"Gimana gue nggak nuduh. Kerjaannya tiap hari ngerusuh di sekolah. Malakin adek kelas, bolos jam pelajaran, berantem lah. Udah pasti mereka yang nyopet."
"Gue juga sering liat Nata bawa senjata tajem di belakang sekolah." kali ini, Nesya yang bersuara.
"Nah tuh. Bukti apalagi yang bisa nyangkal kalo pelakunya emang Nata. Berandal banget tuh cowok. Maunya apa sih. Cari sensasi aja." gerutu Alysa.
Aku menggeleng pelan. "Udah-udah. Daripada makin ngaco. Kita langsung ke sana aja."
Semua teman-temanku saat itu serentak mengambil tas. Tanpa menunggu waktu lama lagi, kami langsung bergegas menuju TKP. Aku benar-benar berharap kalau tugas kami saat ini dapat berjalan dengan lancar. Terlebih saat ini kami tidak didampingi oleh ketua OSIS.
Lima motor melaju beriringan keluar dari sekolah disambut terik matahari yang sangat menyengat kulit. Aku bertekad kalau misi yang sedang kujalani ini harus berhasil. Aku harus menangkap para berandal itu agar aku dicap sebagai pemimpin yang baik.
Tidak lama untuk bisa sampai ke pertigaan lampu merah. Hanya sekitar sepuluh menit kalau itupun tidak macet. Aku bergegas turun dari motor dan mengumpulkan teman-teman untuk berunding.
"Gue, Tirta, sama Surya jaga di belakang. Nesya, Alysa, Deva, kalian di samping. Oke!" titahku pada mereka.
"Tali tambang udah dibawa belum? Coba cek!" Tirta sibuk mengobrak-abrik tasnya.
"Udeh! Lo pikun amat sih. Tadi kan lo kasih gue, Tir."
"Ck,ck,ck. Gimana mau punya pacar coba. Apa-apa lupa. Lama-lama lo lupa nama emak lo sendiri."
Aku tertawa pelan. Tirta si kutu buku memang susah mengingat sesuatu. Kadang, pulpen yang ditaruh di kantong baju saja bisa tidak kelihatan. Giliran rumus hitung cepat fisika dia hafal. Mungkin aku pikir otaknya sudah kebanyakan rumus-rumus makanya jadi pikun.
"Eh iya.." Tirta berhenti berjalan.
"Kenapa lagi Nicholas Saputra? Apalagi yang ketinggalan?" Alysa sepertinya sudah jengkel dengan sikap cowok itu.
"Ampun dah. Ngajak dia bisa makan waktu seminggu nih misi selesai. Lagi lo sih, Dir. Ngapain ngajak Tirta ikut misi beginian. Ribet tau nggak."
"Tirta kan pinter. Nalarnya jalan. Jadi dia bisa lah bantu-bantu kita." ucapku yang memberi mereka alasan mengapa aku mengajak Tirta.
"Nalar? Lo pikir lagi SBMPTN." sela Nesya.
"Udah ah jangan mojokin Tirta. Kesian tau."
Tirta hanya menunduk. Yang lain tertawa melihat ekspresinya yang begitu miris.
"Lanjut nggak?"
"Lanjut laaahh....."
Aku cukup terharu dengan semangat teman-temanku untuk menyelesaikan misi ini. Kebersamaan kami yang begitu erat membuatku tidak patah semangat.
Kami memang bukan berasal dari sekolah elite dan favorit di kota ini. Bahkan, sekolahku bisa dikatakan sebagai sekolah buangan atau sarangnya para preman. Tiap ada yang menyebut nama sekolahku, orang lain pasti bergidik ngeri.
Disini, aku punya sedikit mimpi. Aku ingin pandangan orang lain tentang sekolahku sedikit demi sedikit bisa berubah. Meskipun para siswanya tergolong anak-anak yang tidak peduli pada pendidikan mereka, aku yakin, mereka bisa berubah menjadi orang yang lebih baik jika ada yang menuntun.
Meski begitu, yang aku bangga dari sekolahku adalah tidak adanya kasta. Kaya, miskin, cantik, biasa, semua menyatu. Perbedaan hanya terletak antara orang yang mau belajar dan tidak mau belajar. Biasanya tiap kelas terbagi menjadi dua kubu. Kubu anak-anak rajin dan kubu anak-anak pecinta cogan yang kerjaannya setiap waktu memburu para cowok ganteng yang ada di sekolah.
Oke, kembali pada situasi sekarang. Aku, Tirta, dan Surya sudah mengambil posisi tepat di belakang seorang laki-laki bertubuh tinggi yang memakai jaket levis robek-robek. Aku mengernyit. Sepertinya, aku mengenal orang itu. Dari punggungnya...
"Lo yakin itu orangnya?" tanya Surya dengan nada suara yang lantang.
"Sst! Jangan kenceng-kenceng!" ucap Tirta.
Surya menoyor kepala Tirta. "Bego! Orangnya ada dua meter di depan lo. Kalo dia dukun baru bisa denger. Otak dipake! Jangan disimpen buat OSK doang."
"Sialan."
"Siapa?"
"Elu."
"Ye.. mony--"
Aku menghentak kakiku ke tanah saat umpatan kasar hendak keluar dari mulut Surya. "Udah ah, sekarang waktunya kerja."
"Iya, iya."
Aku mengeratkan jaket hitamku dan menurunkan topiku menjadi sebatas alis. Tujuanku melakukan ini agar tidak ada yang mengenaliku sebagai anak SMA Panorama. Aku, Surya, dan Tirta sedang mengamati gerak-gerik dari lelaki yang kini sedang berlari karena sudah berhasil mengambil dompet seorang ibu-ibu.
"Sekarang!" titahku pada Surya dan Tirta.
Kedua ajudanku itu mengangguk. Lantas membentangkan tali tambang secara horizontal. Tali itu aku gunakan sebagai perangkap saat mereka bergerak ke arah kami. Sementara itu, aku mengambil walkie-talkie untuk berkomunikasi dengan anggota OSIS lainnya.
"Kalian siap-siap!"
Mataku terus menatap laki-laki itu dengan intens. Mereka terus berlari dan terkadang menengok ke belakang. Sedikit lagi... sedikit lagi mereka sampai...
Dan...
Brugh!
"Kena lo!" teriak Surya dan langsung menubruk tubuh lelaki itu dan memegangi kedua tangannya agar dia tidak kabur.
Semua anggota OSIS mengumpul dan mengepung dua orang pencopet itu. Mereka memakai penutup kepala sehingga tidak seorang pun mengenal dia. Aku menyipitkan kedua mataku. Sejurus kemudian, aku melepas penutup kepala mereka dan yang lain berteriak histeris.
"NATAAA!!"
"Kenapa lo ngelakuin ini semua? Lo tau nggak ini semua salah?" teriakku tepat di telinga cowok bernama Nata itu.
Dia mengangguk. "Gue tau."
"Trus kenapa lo ngelakuin ini semua? Asal lo tau, nama baik sekolah tercemar gara-gara anak-anak berandal kaya lo."
"Udah, mending bawa aja mereka ke Pak Sofyan. Buang-buang tenaga doang, Dir." usul Tirta.
Aku setuju dengan usulan Tirta. Daripada tenagaku habis karena memarahi orang yang didalamnya terdapat banyak iblis itu. Akan lebih baik jika langsung membawa mereka kepada Pak Sofyan. Yang terpenting misi khusus kami telah selesai.
Arghh.. lega rasanya. Satu misi terselesaikan dengan baik. Aku cukup bangga pada diriku sendiri karena aku bisa memimpin tugas ini tanpa hadirnya sang ketua OSIS.
Kami langsung membawa dua orang cowok itu ke dalam mobil. Yang satu Nata, anak kelas sebelas IPS 2, dan yang satunya lagi Melvin, kelas 12 IPA 3. Kalau Nata, memang sudah satu sekolah tau kalau dia biangnya masalah di sekolah. Tapi kalau Melvin, aku baru-baru ini melihat dia masuk komplotan sesat itu.
•••
Pukul 3 sore tepatnya kami sampai di sekolah. Area sekolah sudah mulai sepi lantaran tidak adanya kegiatan ekstrakulikuler hari ini. Aku dan teman-teman berjalan beriringan melewati lorong kelas 12.
Saat melewati lorong itu rasanya miris melihat ada banyak coretan di dinding yang putih bersih. Sampah berserakan di lantai serta banyaknya pemandangan orang yang sedang pacaran di depan kelas. Aku memutar kedua bola mataku dengan malas. Sudah bosan rasanya melihat pemandangan itu di area sekolah. Kadang aku berpikir, apakah mereka ke sekolah tujuannya hanya untuk pacaran sedangkan orang tua di rumah sudah mengharapkan masa depan yang cerah dari mereka.
Seperti kejadian yang baru aku alami. Melihat seorang murid SMA sudah berani mencopet. Bagaimana nanti saat dia dewasa. Bisa-bisa sampai berani menyakiti orang lain. Aku menghela napas. Berada di lingkungan seperti ini membuatku harus ekstra hati-hati dalam memilih pergaulan.
"Mau langsung masuk aja?" tanya Alysa padaku.
"Iya. Langsung bawa masuk aja."
Para anggota OSIS sudah beriringan masuk ke dalam. Di dalam ruangan, terlihat Pak Sofyan yang sedang mengobrol dengan salah satu murid. Saat dia berbalik badan, aku terperanjat kaget.
"Athar!" ucapku dengan pelan.
Cowok itu mengisyaratkanku untuk tidak berbicara karena Pak Sofyan sedang marah besar. Terlihat dari raut wajahnya yang sudah berubah sejak aku membawa pencopet itu masuk ke dalam.
"Mana orangnya?" Pak Sofyan bertanya dengan nada yang begitu tinggi.
"Nata sama Melvin, Pak." jawabku.
Aku bisa melihat kilatan amarah dari mata Pak Sofyan terhadap Nata. Lelaki itu sepertinya sudah sangat kesal dengan ulah Nata. Sudah habis juga kesabarannya sampai akhirnya Pak Sofyan memukul meja.
Kami semua kaget. Aku memilih untuk menundukkan wajahku.
"Mau jadi apa kalian, hah? Masih SMA udah jadi penjahat. Memangnya kamu nggak punya orang tua, iya? Kamu nggak bisa makan sampai nyopet kaya gitu?"
Terjadi keheningan yang cukup lama karena Nata maupun Melvin tidak berani menjawab pertanyaan dari Pak Sofyan.
"Kamu tau nggak, gara-gara ulahmu, sekolah ini kena imbasnya. Sekolah kita dicap sebagai sekolah yang mendidik para preman dan pencuri. Saya sakit hati saat orang-orang berusaha menjelek-jelekkan kami. Padahal.." Pak Sofyan mulai menangis.
Aku ikut menangis saat air mata turun ke pipinya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perjuangan Pak Sofyan menghidupkan nama baik sekolahku ini.
"... padahal saya tau kalian orang-orang hebat dan sukses di masa mendatang."
"Kalau udah begini mau gimana lagi. Saya nggak bisa berbuat apa-apa selain ngikutin peraturan yang ada. Karna ulah kalian ini, saya mau kalian nggak usah pergi ke sekolah lagi." tegas Pak Sofyan.
Nata sepertinya terkejut. Kepala yang semula tertunduk kini dia angkat ketika mendengar ucapan Pak Sofyan.
"Tapi, Pak..."
"NGGAK ADA TAPI-TAPIAN. MANUSIA SEPERTI KAMU HARUS DIMUSNAHKAN DI SEKOLAH INI!"
Melvin langsung berlutut di kaki Pak Sofyan. Kejadian di depanku ini terlihat seperti sebuah film. Begitu dramatis. Aku sendiri sudah tidak bisa lagi menahan air mataku untuk berhenti mengalir.
"Pak, saya mohon jangan keluarin saya dari sekolah ini! Saya mohon, Pak." pinta Melvin seraya memegangi lutut Pak Sofyan.
"Gunanya apa kalau kamu masih sekolah? Toh kamu sukanya nyuri uang orang. Untuk apa sekolah? Buang-buang waktu." ucap Pak Sofyan.
"Jangan keluarin saya, Pak. Saya nggak tau apa-apa. Saya cuma disuruh sama orang." rengek Melvin yang tidak didengar oleh Pak Sofyan.
"Iya, bener, Pak. Saya dan Melvin itu perantara. Kita disuruh sama ketua geng kita."
"Trus kamu mau disuruh ngelakuin kejahatan?" tanya Pak Sofyan yang membuat Nata bungkam.
"Athar!" panggil Pak Sofyan kepada cowok berpostur tinggi itu.
Athar menghampiri Pak Sofyan. "Iya, Pak."
"Minta surat DO ke kepala sekolah! Dan tanya ke anak-anak jagoan ini siapa ketua mereka!" Athar mengangguk dan beranjak pergi ke ruang kepala sekolah.
•••
Matahari sudah mulai berubah warna namun aku belum pulang juga. Entah kenapa rasanya enggan untuk pulang ke rumah. Bukan apa-apa, aku hanya malas melihat wajah kusut kakakku yang kerjaannya tiap hari mengomel dan ngajak berantem.
Aku masih duduk di kursi panjang yang menghadap ke lapangan basket. Menunggu datangnya Athar dari ruang kepala sekolah.
Oh ya, aku belum memberi tahu siapa cowok itu dan kenapa aku bisa dekat dengannya. El Athario Ivander itu ketua OSIS SMA Panorama. Kedekatan kami bermula pada saat pemilihan anggota OSIS tepatnya dua tahun yang lalu. Cukup lama kan? Makanya, aku sudah sangat dekat seperti seorang saudara.
Cowok itu muncul dari balik dinding putih, aku merasa senang. Senyumku mengembang tanpa aba-aba. Aku juga tidak tau kenapa. Mungkin efek kegantengan Athar yang membuatku jadi salfok.
Dengan badan tegapnya dan rambut hitam serta mata yang agak sipit itu, Athar berjongkok di depanku. Tuhan.. pipiku sudah merah merona. Semoga dia tidak melihatku seperti ini.
Jujur, aku deg-degan ketika berduaan dengan Athar. Cowok itu seakan punya aura dan kharisma sehingga aku merasa kecil dan tidak sebanding dengannya.
"Lo kemana tadi?" tanyaku pada Athar untuk mengurangi rasa canggung diantara kami.
Cowok itu tersenyum, seketika lesung pipinya terbentuk. "Apa?"
"LO KEMANAA TADI??" kuulang pertanyaanku dengan nada yang meledek. "Budeg dasar!"
"Oh.. tadi gue abis ngomongin masalah lomba ekskul." jawab Athar dengan singkat.
"Astaga! Gue hampir lupa. Kenapa lo nggak kasih tau gue? Padahal kan seharusnya gue yang ngurus masalah lomba."
"Udah tenang aja! Lo tinggal fokusin ke gengnya Nata aja! Biar lomba ekskul gue yang urus." ucap Athar.
"Yaudah deh. Urus yang bener ya!" titahku pada cowok itu.
Athar terkekeh. "Iya, lo juga. Harus bisa nangkep ketua geng Nata sekaligus otak dari kasus pencopetan di pertigaan lampu merah."
"Hm.. kalo itu mah nggak usah diragukan lagi. Serahin aja semua sama gue. Lo tinggal terima jadi."
Athar tertawa. Senang bisa melihatnya tertawa karenaku. Cowok itu lalu mengusap kepalaku perlahan. Seperti ada sengatan listrik, tubuhku mematung.
"Yuk pulang! Keburu malem, entar kakak lo ngamuk lagi." Athar berusaha membawa tas tenteng abu-abu milikku.
Aku bangkit berdiri. "Siapa dia pake ngamuk-ngamuk segala. Palingan juga seneng kalo gue nggak balik ke rumah lagi."
"Lo kaya anjing sama kucing."
"Dia yang anjing."
"Trus lo kucingnya gitu?"
"Iya. Kucing garong."
"Meoww."
"Hahaha.."
Perjalanan seakan tidak terasa karena aku pulang bersama Athar. Rasa lelah yang sempat aku rasakan seketika hilang karena candaan cowok itu. Kami pulang dengan menaiki bis dengan masing-masing tujuan. Hingga akhirnya kakiku menapaki halaman depan rumah setelah menghabiskan setengah jam perjalanan.
Raut wajahku mulai berubah ketika memasuki rumahku sendiri. Saat pintu dibuka, aku melihat Ayah dan Ibuku sedang duduk di ruang tamu. Aku menghela napas lega saat pandangan mataku tidak menangkap sosok macan buas.
"Sore, ayah, ibu." Aku menghampiri ayah dan ibu seraya mencium kedua pipinya.
"Dari mana aja? Anak Ayah sibuk banget kayanya? Masih gabung di OSIS?" ucap ayahku.
"Masih lah. Kan belum lepas jabatan."
"Jangan terlalu sibuk, nak! Kamu udah kelas tiga. Nanti nggak fokus ujiannya." nasihat ibuku.
"Aku nggak akan lupa belajar kok. Aku janji deh, nilaiku nggak akan turun di semester ini."
Ibu dan ayah tersenyum. Baru saja momen bahagia ini tercipta, si macan liar datang dari arah dapur. Dia memandangku dengan sinis. Dia pikir aku takut dipandang begitu. Tak mau kalah, aku pun menatap cowok itu dengan sinis.
"Apa liat-liat?" dia bertanya dengan nada kebencian padaku.
"Siapa yang liat-liat lo. Ye.. ge-er jadi orang."
Ayah menggeleng kepalanya. Aku minta maaf ayah, bukan maksudku lancang pada orang yang lebih tua. Tapi karena aku sudah bosan terus dihina dan diremehkan oleh kakakku.
"Belagu. Jangan lupa lo numpang disini."
"Davin! Jaga omongan kamu!" Ayah membentak Kakakku yang omongannya seperti batu yang tidak bisa disaring.
"Emang bener kan, Pa. Dia cuman numpang hidup. Seharusnya dia tinggal di kolong jembatan. Dia nggak layak hidup mewah--"
"DAVIN! CUKUP!" Ayah terlihat sangat marah dengan kata-kata Kak Davin.
Ibuku meneteskan air mata. Terluka akan ucapan kasar kakakku itu. Aku dan ibu memang berasal dari keluarga pemulung. Jika Ayah tidak datang untuk membantu kami waktu itu, mungkin sampai sekarang kami tidak akan mendapatkan tempat tinggal.
Aku bersyukur dan berterima kasih pada Ayah karena sudah menyayangiku dan ibu sepenuh hati.
"Dia saudara kamu! Dan ini ibumu Davin! Bisa kamu bersikap lebih sopan?"
"Bersikap lebih sopan buat orang yang udah ngambil kebahagiaan aku? Sorry, Pa. Nggak bisa."
Aku memandang kakakku dengan tatapan tajam. Sikapnya yang angkuh membuatku jadi tidak suka padanya. Begitu perdebatan itu terjadi, Kak Davin langsung beranjak pergi.
Aku sedih. Sangat sedih bahkan. Dulu, saat Ayah menikahi ibu, mimpi-mimpiku seakan bermunculan lagi: Ingin punya keluarga lengkap, bisa sekolah, bisa hidup layaknya anak-anak lain pada umumnya, dan ingin mendapat kasih sayang dari keluarga.
Namun, mimpiku itu terpatahkan dengan kenyataan. Memang, tiga dari impianku itu sudah tercapai, namun kurang lengkap rasanya kalau aku dan ibu tidak dianggap oleh kakakku sendiri. Walau dia hanya kakak tiriku, tapi tetap saja, secara hukum dia adalah Kakakku.
Entah sampai kapan dia akan terus bersikap dingin padaku. Yang aku bisa hanya terus berdoa pada Tuhan agar aku dan ibu diberi ketabahan dalam menghadapi setiap cobaan.
Share this novel