7. Second Signs

Horror & Thriller Completed 8081

Sudah satu bulan lamanya mahluk itu tidak mengganguku dan Emma. Mahluk itu masih berada didalam basemen terkurung dan tidak bisa keluar dari sana semenjak Emma menaruh bubuk yang sudah di doakan dan dipercik dengan air suci di sela pintu basemen. Emma yakin dengan dibalurkannya bubuk itu akan menahan mahluk itu didalam basemen. Semenjak itu basemen tidak pernah sama sekali dibuka pintunya dan tidak ada aktivitas dilakukan di basemen untuk menjaga mahluk itu tetap berada disana.

"Tok..tok..tok" bunyi pintu diketuk.

Suara pintu dibuka."Hey Emma, dimana Steven?" ucap suara wanita dari kejauhan yang terdengar seperti suara ibuku."Ibu, itukah kau?. Aku sedang diruangan kerjaku" teriakku.

Suara langkah kaki itu semakin mendekatiku, semenjak kejadian itu aku menceritakan semuanya kepada ibu berlandaskan saksi Emma sendiri. Awalnya ibu tidak percaya sama sekali akan omonganku, ibu beranggapan sepertiku pada awalnya bahwa ini semua hanya omongan belaka dan tidak masuk akal. Akan tetapi melihat bekas cakaran di pundakku dan bekas cekikan dileherku cukup menyakinkan ibu bahwa semua cerita itu benar terjadi.

"Hey Steven, bagaimana kabarmu sayang?" peluk ibuku sambil mencium kedua pipiku."Aku baik bu, aku bukan anak kecil ibu lagi, yang setiap harinya ibu tanyakan kabar." Ibuku tertawa lepas mendengar perkataanku tadi, dia mencium keningku setelahnya."Ibu sangat mengkhawatirkan mu semenjak kejadian yang kau dan Emma alami sebulan lalu" ucap ibu tersenyum kecil.

"Dimana kau beruang kecilku" teriak seseorang dari kejauhan.

"Paman?, bu paman ikut bersamamu?" Ibuku hanya mengangguk.

"Hey itu dia, kemari kau beruang kecilku" ucapnya sambil memelukku.

"Aku merindukanmu paman Sam."

Orang yang ikut bersama ibuku bukanlah paman kandungku, dia adalah teman baik ayahku dulu. Semenjak dia mendengar kematian ayahku saat berkendara menuju rumah sakit, dia sangat terpukul saat itu. Sehingga dia sudah menganggapku bagaikan anaknya, dan aku menganggapnya sebagai pamanku. Dia sangat dekat pada keluargaku, bahkan setiap ulangtahun ku tiba dia selalu membelikanku tiket dan mengajakku nonton tim baseball kesukaanku saat aku masih kecil.

"Steven, ada hal penting yang ingin ibu dan pamanmu bicarakan denganmu" ucap ibu yang terdengar serius akan ucapannya. Aku bertanya-tanya dalam benakku apa yang ingin ibu bicarakan padaku hingga dia berkata seperti itu."Mari kita bicarakan di ruang keluarga" ucap paman Sam.

Mendengar ucapan ibu tadi, membuat Emma pergi beranjak ke dapur karena pembicaraan ini terlihat baginya mengarah ke pembicaraan kekeluargaan.

"Emma?" ucap ibu memanggil.

"Iya bu?, ada apa?" balasnya.

"Kemarilah, ada hal penting yang ingin kubisikkan padamu."

Ibu mendekati Emma dan membisikkan sesuatu ditelinga Emma. Setelah ibu selesai membisikkan sesuatu ke telinga Emma, terlihat jelas dari raut wajah Emma yang terlihat bahagia akan perkataan ibu kepadanya. Setelah ibu selesai membisikkan sesuatu kepada Emma, ibu kembali duduk disamping paman Sam dan Emma pergi kedapur untuk mengambilkan minuman.

"Ada apa bu?, hal serius apa yang ingin ibu katakan?" ucapku kebingungan. "Kau membutuhkan seseorang didalam hidupmu kembali, itu jalan terbaik yang ibu dan pamanmu yakinkan" tegasnya.

Sontak aku langsung berdiri seketika mendengar perkataan ibu tadi. Aku seakan tidak begitu percaya akan apa yang ibuku katakan tadi. Dimana pada saat pernikahanku dengan Sarah, ibuku begitu sayang kepada Sarah melebihi sayangnya padaku.

"Apa ibu serius dengan ucapan ibu tadi?, apakah ibu dan paman sudah kehilangan akal?" tanyaku kesal. "Ibu tidak bisa melihatmu seperti ini terus-menerus".

"Aku sangat mencintainya bu, dan aku tidak akan pernah menggantikan peranan dia sebagai istriku dalam hidupku" tegasku lagi. "Menggantikan?, bukan itu yang ibu dan pamanmu maksudkan" jelasnya.

"Cukup bu, aku tidak tahu kenapa ibu bisa-bisanya mengatakan itu" ucapku dengan tatapan marah pada ibuku. "Steven, tenangkan dirimu dulu. Biarkan kami menjelaskannya, beri kami kesempatan untuk berbicara" potong paman Sam berusaha menenangkan suasana.

Paman Sam berdiri dan berjalan menuju meja yang terdapat beberapa bingkai foto Luis dan mengambil satu dari beberapa bingkai tersebut. Dia mengarahkan bingkai foto itu jelas didepan wajahku, seakan paman ingin aku melihat jelas wajah Luis yang tersenyum bahagia saat dia mendapatkan hadiah natal pertamanya sambil memelukku erat.

"Lihat senyuman itu, aku sangat merindukan senyuman itu saat aku mampir kesini untuknya dan bermain dengannya" ucap paman sambil mengusap air matanya.

"Aku berusaha sekuat mungkin untuk bisa melupakan semua ini paman, tapi aku selalu gagal". "Kau tidak harus melupakannya, kau hanya perlu untuk mengikhlaskan kepergiannya".

Aku tertegun dengan perkataan paman Sam tadi. Apa yang dia katakan tadi sepenuhnya benar, aku bukan tidak bisa melupakannya tapi aku hanya tidak bisa mengikhlaskan kepergian Luis.

"Ibu hanya ingin melihat kebahagiaan ketika kau tersenyum, ibu hanya ingin kau bahagia Steven" ucap ibu menghampiriku dan memelukku dari belakang. "Apa yang sebenarnya paman dan ibu inginkan?" balasku.

Mengambil bingkai dari tangan paman Sam. "Lihat, senyumannya cucu ku begitu tercetak jelas seperti senyuman mu". "Bagaimana tidak bu, dia adalah anakku dan aku adalah ayahnya".

Ibu tersenyum kecil. "Dan ibu percaya dia akan tersenyum lagi diatas sana ketika ayahnya membawa pulang pengganti dirinya untuk mengembalikan senyuman yang pernah ada dan hilang dari ayahnya".

Aku melepaskan diri dari pelukan ibu, aku menatapnya seakan tidak percaya dia barusan mengatakan itu. Aku menggelengkan kepalaku dengan wajah yang kebingungan kepadanya, seakan menjadi sebuah tanda menanggapi pernyataan ibu tadi.

"Maafkan ibu Steve, ibu yakin ini salah satu cara untuk membuat kau kembali bahagia". "Ibumu sangat menyayangi mereka berdua, ibumu hanya ingin kau bahagia Steven" jelas paman Sam.

"Tidak paman, ini ide gila dan aku tidak akan mengganti peranan Luis sebagai anakku, dan aku tidak akan membawa siapapun pulang kerumah ini" tegasku dengan nada meninggi.

Mendengar kericuhan, Emma menghampiri ibu dan memegang erat tangan kanannya. Dia menatap mata ibuku, seakan menjelaskan sesuatu. Ibuku kembali memegang tangannya Emma lalu memeluk dan menangis di pelukan Emma.

"Aku tidak bermaksud untuk mencampuri urusan ini, tapi aku yakin Steven masih membutuhkan waktu untuk memikirkan hal ini", ucap Emma sambil mengusap punggung ibu.

"Steven, jika kau tidak menginginkan ini, kau tidak perlu melakukannya".

"Cukup paman, aku tidak mau mendengarkan apa yang ingin paman katakan lagi".

Aku meninggalkan mereka bertiga di ruang keluarga. Aku membanting keras pintu kamarku lalu mengunci rapat pintu. Kepalaku terasa berat pada saat itu, aku berusaha membuat diriku untuk tenang. Aku mengambil bingkai foto Luis yang berada di atas meja lampu tidur, dan aku duduk di sudut kamar sambil memandangi foto itu. Aku menarik keras rambutku berusaha menghilangkan rasa sakit kepalaku sambil merintih kesakitan.

"Ayah sayang padamu Luis, ayah tidak akan pernah menggantikan mu".

Seketika mataku terasa berat, aku menyandarkan kepalaku ke dinding dimana tangan kiri ku tetap memegang erat rambutku dan satunya lagi memegang bingkai foto. Mataku semakin terasa berat dan perlahan menutup, seperti ada suara yang melayang di pikiranku menyuruhku untuk tertidur.

Suara tertawa. "Kau harus membangunkan ayahmu sekarang juga, sebelum dia terlambat untuk bekerja", bisikan pelan seorang perempuan.

"Ayahh, bangun yah".

Aku membuka mataku perlahan, dan aku melihat Luis dengan senyumannya yang terpampang jelas dihadapanku.

"Hey jagoan, ada apa?".

"Ini giliranku untuk membangunkan ayah pagi ini" ucap Luis.

"Dimana ibumu?" tanyaku.

"Ibu sedang membuat sarapan, ibu bilang kau harus berangkat kerja yah".

"Bilang sama ibumu, kalian harus menunggu ayah untuk sarapan" ucapku sambil menyentuh hidung Luis. "Baik yah, aku dan ibu akan menunggumu di meja makan".

"Hey Luis, jangan lupa tutup pintunya" pintaku.

"Baik yah". Suara pintu tertutup.

Saat aku selesai memakaikan pakaian kerjaku, aku tidak menemukan dasi di lemari pakaian ku. Aku sudah mencari di seluruh lemari pakaian, dan aku tidak menemukannya.

"Sayang, apa kau melihat dasiku?" teriakku keras dari dalam kamar.

Suara pintu terbuka."Hey Luis dimana ibumu?" tanyaku dimana Luis sedang duduk di meja makan dan menatapku aneh.

Aku menghampiri Luis dan mencoba untuk menanyakan dimana dasi kerjaku kepada Sarah. Saat aku menghampiri Luis, dia hanya menunduk dengan garpu dan sendok di genggamannya tanpa ada piring diatas meja.

"Hey Luis, dimana sarapanmu?. Kenapa ibumu belum membuatkannya?" tanyaku kembali.

Luis tidak menjawab pertanyaan ku sama sekali, dia hanya menghentakkan pelan meja dengan ujung garpu digenggamannya. Aku merasakan ada yang salah dengan semua ini, aku menyentuh pundak Luis dan berkali-kali menanyakan dimana ibunya, namun Luis tetap tidak memberikan jawaban.

"Luis, dengarkan ayah!. Dimana ibumu sekarang?, jawab pertanyaan ayah jika ayah bertanya Luis!!" ucapku kesal dengan nada tinggi.

Luis semakin cepat menghentakkan garpu itu ke meja, tanpa memperdulikan ucapanku lagi. Melihat Luis seperti ini membuatku kehilangan kesabaran, aku tidak tahu apa yang membuat dia seperti ini sehingga dia bertingkah aneh.

"Luis!. Dengarkan ayah" teriakku keras sambil memukul keras meja dengan tanganku.

"Aaaaaaaaahhh" teriakku kesakitan.

Luis menusukkan garpu yang digenggamannya ke tanganku sampai menembus telapak tanganku. Aku mendorongnya keras sampai Luis terjatuh dan kepalanya membentur lemari sehingga membuatnya tidak sadarkan diri. Aku berusaha mencabut garpu itu dari tanganku secara paksa.

Suara garpu terlempar. "Luis, maafkan ayah. Luis bangun sayang, ayah tidak bermaksud" kataku sambil berusaha menyadarkan Luis.

"Saraaah".

"Saraaaah, dimana kau?".

Aku meninggalkan Luis terbaring di lantai dan mencari keberadaan Sarah. Tanganku yang tidak terbalut perban, mengalirkan darah terus menerus hingga menetes di setiap lantai rumah. Aku mencoba mencari Sarah ke seluruh tempat di rumah namun aku tidak menemukannya. Hanya ada satu tempat yang belum aku lihat, dan aku berhenti tepat didepannya. Pintu basemen terbuka setengah, namun aku tidak mendengar aktifitas dibawah sana.

Suara pintu terbuka pelan."Sarah, kau dibawah sana?. Ayolah sayang, kita harus membawa Luis kerumah sakit".

Aku melihat kebawah dimana lampu basemen hidup dan mati. Aku mencoba turun kebawah, suara decitan tangga tua basemen membuatku berhati-hati melangkah turun. Jantungku berdegup kencang, seluruh tubuhku terasa dingin. Saat setengah jalan menuruni tangga, pintu basemen tertutup pelan. Aku memutar pandanganku keatas, dan aku mendapati Luis sedang berdiri tepat didepan pintu basemen dimana tangan kirinya memegang gagang pintu.

"Luis, kamu tidak apa-apa?. Ayah sangat takut jika terjadi sesuatu padamu tadi".

Luis tetap hanya menatapku dengan tatapan kosong. Dia menarik dan mendorong pintu tua sehingga membuat suara decitan.

"Luis, tolong jawab ayah. Dimana ibumu, apa yang sedang terjadi? tanyaku lagi. "Aku bukan Luis, dan aku bukan anakmu!. Anakmu berada ditanganku, dan aku tidak akan melepaskannya" ucapnya dengan suara berat dan terdengar menyeramkan.

"Siapa kau?, kenapa kau berada ditubuh anakku" teriakku keras."Itu bukan urusanmu!. Sekarang kau akan terkurung disini selamanya".

"Luis, tidaaak. Jangan lakukan itu" teriakku keras dan berlari untuk menahan pintu basemen.

Salah satu tangga basemen rusak saat aku berlari dan menginjak tangga tersebut. Aku terjatuh kebawah dan kakiku menghantam keras lantai basemen. Aku mencoba untuk berdiri namun kakiku masih terasa sakit sekali. Aku mencoba melihat jelas seisi ruangan, dimana lampu basemen hidup dan mati sehingga membuat penglihatan ku tidak bisa jelas melihat isi seluruh basemen. Saat aku mencoba untuk berdiri dengan bantuan tanganku yang masih sakit sebagai penopangku untuk berdiri, aku melihat kaki tepat di depanku.

"Oh Tuhan, tidak mungkin, tidak mungkin ini terjadi" ucapku sambil berusaha melihat jelas wajah nya.

"Saraaaaaaahh" teriakku.

Aku terbangun dan mendapati bahwa itu hanyalah mimpi. Aku berusaha mengatur nafas, dan aku terdiam ketika mendapati kalau aku tertidur di posisi sudut kamar yang berbeda ketika aku terbangun. Dan ada rambut di tangan kiriku, yang kuduga bahwa aku menarik rambutku sampai tercabut saat aku tertidur tadi.

Aku berusaha untuk berdiri namun kepalaku masih terasa pusing. Aku tetap memaksa untuk berjalan menuju kaca, langkahku terhenti ketika aku melihat pantulan wajahku di kaca dari kejauhan. Satu kata pun tidak terucap dari mulutku ketika aku melihat sendiri dengan mata kepalaku kalau tidak ada kejanggalan pada rambutku. Aku tidak menemukan adanya bekas rambut yang ditarik paksa di kepalaku, dimana rambutku masih terlihat sama dari sebelumnya. Sontak aku langsung melihat helaian rambut di genggaman tangan kiriku, tanpa berfikir panjang aku langsung membuang rambut itu dari genggaman ku ke lantai.

"Emmaaa" teriakku ketakutan sambil membuka pintu kamar."Ibu, paman, kalian masih disini?".

Suasana diluar kamar begitu dingin, hembusan angin dari luar masuk kedalam rumah dimana pintu rumah terbuka lebar. Pintu segera kututup sebelum suasana didalam rumah semakin dingin. Mataku melirik keseluruh isi rumah dan mataku tertuju pada satu sisi dimana piano yang sering dimainkan Sarah saat dia sedang membuat lagu terbuka dari penutup nya. Semenjak kematian Sarah, piano itu hanya kututup dengan kain putih panjang karena tidak ada yang bisa memainkan piano kecuali Sarah dan ibu. Aku berjalan menuju piano itu dan mencoba memainkannya.

Suara tepukan pundak."Steve?, kau sudah merasa baikan?".

"Ya Tuhan, Emma kau mengejutkan ku saja". Emma tertawa."Menurutku kau tidak pantas berperilaku seperti itu pada ibumu" tegur Emma.

"Aku juga merasa begitu, tapi apa yang dikatakan ibu tadi juga salah" ucapku sambil menatap serius Emma."Hubunganmu dengan ibumu belakangan ini semakin renggang, dan ibumu mengatakan itu supaya kau mendapatkan kebahagiaan mu kembali".

"Kebahagiaan ku sudah termakan oleh kematian Em, dan aku rasa aku tidak akan pernah punya kesempatan untuk mendapatkan arti kebahagiaan itu kembali". Emma tersenyum."Kau memang keras kepala, sama seperti yang ibumu katakan padaku sebelum bekerja disini".

"Memang ibuku selalu berkata seperti itu pada orang lain tentangku" ucapku."Coba untuk kali ini kau mencoba apa yang dia inginkan Steve, tidak ada salahnya untuk dicoba" ucap Emma berusaha menyanyikanku.

Aku memikirkan kembali akan perkataan yang Emma katakan padaku. Aku berfikir tidak ada salahnya jika aku mencoba untuk mengadopsi anak, dimana ibu juga masih merindukan sosok seorang cucu. Hal ini juga akan bisa membuat hubunganku dengan ibu semakin membaik, dan aku bisa memulai hidupku kembali dari awal.

"Steve?" ucap Emma berusaha menyadarkanku."Aku akan mencobanya Emma, semua ini pasti ada alasannya" ucapku tersadar.

Emma tersenyum dan memegang pundak ku."Ibumu akan senang mendengar ini, aku akan menelponnya untuk memberitahukan hal ini padanya" ucapnya jelas.

Emma segera menghubungi ibu dengan raut wajah yang senang. Aku tidak tahu mengapa Emma begitu senang mendengar keputusan yang kuambil ini. Aku hanya berfikir akan satu hal, mungkin Emma juga merasa sedih melihat kondisiku sekarang ini. Aku hanya bisa tersenyum ketika melihat suara tangis bahagia ibu dari telepon ketika mendengar kabar ini dari Emma. Mungkin satu hal yang menyakinkan ku untuk mengambil keputusan ini karena ibu seorang.

~~

Hallo...  Halloo Hai pembaca Dad Who Is He??? ??. Wahhhhh, sudah publish cerita terbaru. Dua hari lagi akan publish part VIII berikutnya yaa. Mimin akan publish part terbarunya setiap dua kali sehari, yeaaaay????

Maafin mimin yee hehe, mimin selama ini sedang membuat cerita terbaru yang akan segera publish.. bisa ditunggu ya.. stay tune terus yee.

Note : Thank you so much buat kalian yang senang membaca novel "Dad Who Is He ??" ini dan sudah menambahkan cerita ini ke reading list kalian di .

#salamhangat

support Mimin selalu?? tumpahkan di kolom komentar ya. *Comment Down Bellow*??.  So, jika banyak yang suka ceritanya, mimin janji akan teruskan kelanjutan ceritanya??.

Dukungan kalian sangat berarti buat Mimin^^/

Stay tune guyss
Love y All

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience