Pukul setengah delapan, bel berbunyi nyaring hingga terdengar sampai ke tempat aku duduk menunggu bus. Beberapa anak segera berlarian masuk ke sekolah, sementara pak satpam bersiap-siap menutup gerbang. Sejenak, pria berseragam itu menatapku sebelum akhirnya menghampiriku dan bertanya.
"Kamu kenapa nggak masuk?" tanya pak satpam dengan suara menggelegar. Mungkin kesal melihatku yang masih santai meski gerbang sudah tertutup sepenuhnya.
"Maaf, Pak. Saya anak Veteran." Aku menunjuk name tag-ku.
"Oh," ujarnya singkat kemudian pergi meninggalkanku.
Aku melirik jam tangan. Sepertinya bus yang aku tunggu sebentar lagi sampai.
Benar saja, lima menit kemudian sebuah bus berwarna hijau berhenti. Aku segera naik dan memilih duduk di bangku paling belakang.
Pagi itu, hanya ada dua penumpang di dalam bus. Aku bisa leluasa melepaskan seragam dan mengganti rok selututku dengan celana yang sebelumnya sudah kugulung hingga ke paha.
"Mau bolos, ya Dek?"
Tiba-tiba, bapak-bapak yang duduk di depanku menegur. Aku hanya tersenyum tipis lalu melemparkan pandanganku ke luar jendela.
"Anak sekarang, bukannya sekolah baek-baek malah bolos. Mau jadi apa, Neng?" Si bapak masih mencoba mengajakku bicara.
"Lagi malas aja, Pak. Ini kan hari pertama, masih belum belajar," sahutku pada akhirnya.
Si bapak memandangku agak lama, kemudian geleng-geleng kepala dan akhirnya turun di halte berikutnya.
Lah? Aku benar, kan? Hari pertama sekolah, biasanya memang nggak belajar, kan?
Saat bus kami berhenti di halte SMA Veteran, aku melihat beberapa anak laki-laki berseragam naik dan duduk di depanku. Jumlah mereka ada enam orang, dan sepertinya mereka semua terlambat karena aku mendengar pak Handoko, salah seorang guru BK galak berteriak dari depan gerbang.
"Dasar anak-anak bandel! Awas ya kalian semua!" teriaknya sambil mengangkat penggaris papan tulis.
Aku tertawa dalam hati. Penggaris seperti itu, sih sudah tak mempan lagi padaku. Untungnya, pak Handoko tidak melihatku. Beliau adalah orang yang paling hapal dengan wajahku karena aku sering masuk ruang BK.
Kemudian, bus kami bergerak kembali. Dari belakang, aku memperhatikan anak-anak itu. Mereka mengobrol dengan santai sambil menyulut rokok, mengabaikan tatapan tak suka dari ibu-ibu yang duduk di dekat pintu masuk.
"Dek, jangan merokok, dong. Kasian ibunya bawa anak tuh," tegurku pada salah seorang dari mereka yang mengembuskan asap rokok ke arah si ibu.
"Apaan, sih lo? Serah gue dong," jawabnya tak terima.
"Eh, kalo orang yang lebih tua negur, jawab yang sopan woi. Lo diajarin tata krama nggak, sih?" Aku mulai emosi.
"Bacot banget lo, tai." Dia menatapku dengan tajam. "Anak mana lo, hah? Anak Gajah Mada, ya? Nggak usah ngurusin hidup orang, deh. Urus aja tuh sekolah lo yang jelek." Kemudian mereka semua tertawa terbahak-bahak.
Aku tersenyum sinis. "Lo nggak kenal gue, ya? Ah, dasar sialan!" makiku. "Anak kelas mana kalian? Sepuluh Ce? Kelas norak yang jadi sarang nyamuk itu?" sindirku.
"Sialan, Roy. Dia tahu kelas kita," bisik anak yang duduk di belakangnya.
Roy menatapku merah padam. Dia membuang rokoknya ke lantai lalu menginjaknya dengan murka.
"Anak mana lo, hah?" tanyanya seraya berdiri.
Ibu-ibu yang duduk di pintu masuk memeluk anak perempuannya dengan erat. Sorot matanya ketakutan, begitu pula supir bis yang melirik kami sesekali dari kaca spion. Sepertinya, anak-anak ini memang sering membuat onar di dalam bus miliknya.
"Coba tebak!"
"Anj*ng! Mau main-main ya lo sama gue?"
Roy bergerak maju hendak menamparku. Namun, aku lebih cepat bangkit dan menghindar hingga bocah itu terhuyung lalu jatuh di tempat dudukku.
"Cih. Mabuk lo?" tanyaku sinis.
Roy berang. Dia bangkit dan meninjuku lagi. Aku mundur beberapa langkah, menangkis kepalannya lalu menghempaskan tangan itu ke samping, membuat Roy lagi-lagi tersungkur ke kursi di belakangnya.
Aku tertawa mengejek. "Kalo lo belum bisa ngalahin si Jenar kelas sepuluh E, nggak usah sok-sok'an mau mukul gue, deh."
Jenar adalah salah satu musuhku dari SMP. Usia kami sama, tapi dia pernah dua tahun tinggal kelas. Dialah satu-satunya orang yang suka mengajakku berkelahi, meski tak pernah sekalipun menang.
Roy tampaknya terkejut, begitu pula teman-temannya. Mereka berbisik satu sama lain.
"Lo ... Andin kelas dua belas Ef?" tanya teman Roy yang berdiri tak jauh dariku.
Aku tersenyum. "Sekarang udah kenal, kan? Jadi nggak usah sok nantangin gue. Cepat lo minta maaf sama ibu dan adek itu."
Roy diam. Masih terlihat emosi di matanya. Lalu tanpa diduga dia tersenyum sinis.
"Cih. Preman kek lo ternyata baik hati juga. Munafik banget jadi orang."
"Setidaknya, gue bukan berandalan kecil kek lo yang bisanya cuma malakin anak-anak cewek," balasku dengan santai. "Lagi pula, ini bukan di sekolah, Bro. Singa yang ganas tak akan mengaum di wilayah orang lain. Harusnya lo ingat pepatah 'di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Paham nggak lo?"
Roy menatapku penuh amarah. Wajahnya benar-benar sudah merah padam.
"Kurang ajar lo, Ba**. Awas lo, Anj*ng! Gue akan bikin perhitungan sama lo."
Roy memukul jendela bus dengan kuat, lalu berteriak dengan keras. "Pinggir, Pir. Gue turun di sini."
Kemudian mereka semua turun. Aku menarik salah seorang di antara mereka. "Mana duit lo? Bayar sini!"
Dengan gemetar, dia mengeluarkan dompetnya lalu berlari keluar bus. Sepertinya anak itu mengenalku dengan baik di sekolah.
Aku menyerahkan uang lima puluh ribu ke pak supir, kemudian melemparkan dompet itu keluar. "Ambil tuh dompet lo!" teriakku dari depan pintu.
Roy kembali menatapku penuh amarah. Tangannya terkepal. Sepertinya aku akan membuat masalah lagi di minggu pertamaku.
"Neng, ini kembaliannya." Pak Supir menyerahkan dua lembar uang sepuluh ribu kepadaku.
"Nggak usah, Pak. Ambil aja kembaliannya. Mereka pasti nggak pernah bayar kalo naik, kan Pak?"
"Iya, Neng. Mereka suka banget bikin masalah sama penumpang saya," ujar pak supir dengan resah.
"Biarlah, Pak. Besok saya laporin mereka ke BK."
"Betewe, kamu bolos juga, Dek?" Ibu yang duduk di dekat pintu menegurku.
"Eh, iya, Bu. Aku lagi nggak pengen sekolah."
Si ibu menghela napas pelan. "Kalo kamu bolos kek gini, apa bedanya kamu sama anak-anak tadi?"
DEGH!
Mendengar ucapan ibu itu, wajahku seketika berubah pias.
Benar, Andin! Apa bedanya lo dengan mereka? Bukankah kalian sama saja? Sama-sama preman dan tukang bolos?
Tiba-tiba, otakku berteriak dengan keras.
SEJAK KAPAN LO JADI PEDULI KEK GINI SAMA ORANG LAIN? BUKANKAH SEJAK LAMA PERASAAN KASIAN LO UDAH HILANG? BUKANKAH LO SAMA SAJA DENGAN MEREKA? APA BEDANYA LO DENGAN ANAK-ANAK ITU?
To Be Continued
Enjoy ada beberapa kata kasar, maafkan! semoga suka.
Share this novel