BAB 19
Akhirnya aku dan Vian sampai juga di flat. Begitu
pintu terbuka, tampak Ryan yang sedang memberesi sisasisa kekacauan. Aku bisa melihat sofa tampak terbalik, sampah berserakan di mana-mana.
“Temanmu itu gila, Dek,” ucapan Ryan menyambut kedatangan kami.
Vian menghela napasnya. Aku berniat melangkah ke kamar untuk meletakkan tas selempangku. Tapi begitu membuka kamar, apa yang kulihat di luar ekspektasiku.
Semua bajuku, baju yang dibelikan mama, sudah berserakan di lantai dan sudah menjadi hancur dan terkoyak di mana-mana.
“Yan!” teriakku ke arah Vian, membuat suamiku itu
berlari menemui dan melihat apa yang terjadi.
“Gila,” umpatnya menahan emosi, lalu tiba-tiba mengecup keningku dan mengambil jaketnya.
“Yan, kau mau ke mana?” tanyaku bingung begitu melihat dia melangkah ke arah pintu.
“Sayang, kau di sini dulu dengan mas, ya, aku mau ke tempat Sonia, dia sudah kelewatan,” ucap Vian lalu segera berlalu dari hadapanku tanpa meminta persetujuanku.
Ryan hanya mendesah dan meneruskan membersihkan ruangan ini. Aku memilih beranjak ke kamar dan menata kamar. Menyingkirkan semua baju yang berserakan, dan juga membenahi semuanya. Dua jam lebih aku baru selesai, dan tersadar Vian belum kembali. Aku jadi khawatir. Kulangkahkan kaki ke luar dari kamar dan kini mendapati Ryan yang telah duduk di sofa nampak kelelahan.
Aku jadi merasa iba.
“Kau lapar? Aku masakan sesuatu, ya?” tanyaku ke arahnya dan kulihat dia hanya mengangguk.
Aku melangkah ke arah dapur dan mulai mencari-
cari bahan makanan yang ada. Dan kuputuskan memasak kentang tumbuk karena kulihat banyak kentang di dalam kulkas.
Tak perlu waktu lama masakanku sudah siap. Lalu kutata di meja makan.
‘”Ryan, makan dulu,” panggilku dan kulihat dia beranjak dari sofa. Heran dengan sikapnya pagi ini, dia banyak diam daripada berbicara.
Bagaimanapun juga aku masih canggung dengannya jadi aku juga hanya diam dan menikmati makanan kami masing-masing. Kutatap jam didinding dan Vian belum ada tanda-tanda pulang.
“Line!” Suara Ryan mengagetkanku membuatku mendongakkan kepalaku dan kini menatap Ryan yang ada di seberang meja.
Ryan hanya diam dan menatapku intens dan lama.
Membuatku jengah.
”Kenapa?” tanyaku mencoba bersikap biasa.
“Aku mencintaimu dari dulu sampai kapanpun, aku tetap mencintaimu, aku tak peduli kau sudah menjadi istri adik kandungku, aku tak peduli kalau kau pun bahkan telah mencintai adikku perlahan, tapi aku mencintaimu, Line, sangat mencintaimu.”
Deg deg deg
Kenapa jantung ini masih berdegup kencang begini, saat ucapan itu mengalir dari mulutnya. Kuhela napasku, mencoba mengambil udara yang terasa sesak saat ini.
“Ryan, please hentikan ini! kau menyiksaku bahkan menyiksa dirimu sendiri. Aku sudah bisa belajar melupakanmu, ini salah, Ryan, kau pikirkan perasaan Sisca di rumah, juga adikmu yang mencintaiku dan juga aku yang merasa begitu kau permainkan selama ini,” ucapku ingin menyadarkannya kalau jalanku ini memang tak bisa Like a Rose mengarah bersamanya lagi.
Kulihat ada luka di matanya, bahkan air matanya sudah menggenang di sana, tangannya tampak mengepal menahan emosi. Dan tiba-tiba dia menangis, terisak di tempatnya. Aku benar-benar terhenyak menyadari perasaannya yang begitu dalam untukku.
Kubiarkan dia menangis meluapkan semuanya. Aku pun tak bisa berbuat banyak, kan? Semuanya serba salah buatku. Lalu tiba-tiba Ryan beranjak dari tempatnya.
“Line, aku pamit pulang, tapi asal kau tahu cintaku ini tetap sama untukmu, aku hanya manusia bodoh dan selalu bodoh,aku harap kau bahagia di sini,” ucapnya lalu melangkah ke arah pintu dan menghilang.
Membuatku membeku dan semuanya terasa menyesakkan di dada. Melihat Ryan yang begitu kacau hatiku juga ikut terkoyak. Pria yang selama ini kucintai akhirnya menyatakan cintanya meski waktu dan tempatnya salah.
Kuseka air mata yang membasahi wajahku, entah sudah berapa jam berlalu sejak Ryan tadi pamit pulang, dan Vian juga belum pulang. Aku akhirnya berdiri menyandar di pagar balkon kamar flat ini, menatap langit biru di atas sana cerah tapi hatiku berkabut. Aku menangis untuk kesekian kalinya.
Sebuah dekapan hangat tiba-tiba menyelimuti tubuhku.
“Sayang kenapa di sini?” Suara Vian mengagetkanku dan membuatku membalikkan badanku dan tersenyum saat melihat wajahnya itu.
“Eh kenapa menangis?” Vian menatapku kaget dan mengusap air mata di wajahku.
Aku hanya menggeleng dan memainkan kancing kemejanya.
“Kenapa lama sekali?” tanyaku membuatnya
tersenyum.
“Sudah merindukanku, ya, Nyonya?” godanya.
Aku hanya tersenyum tipis.
“Bagaimana Sonia?” tanyaku akhirnya mencoba mengalihkan perhatiannya akan tangisanku ini.
Vian menempelkan hidungnya di hidungku dan menggosoknya membuatku geli.
“Yan, aku serius, bagaimana Sonia?” tanyaku lagi dan menjauhkan wajahku.
Vian menghela napasnya.
“Dia tak mau melepaskanku katanya, Mbak, ah biarlah aku tak peduli, yang penting Sayangku sudah mau merindukanku, ehmm nanti malam kita coba lagi ya, Sayang?”
Aku mengernyit, ”Coba apa?” tapi kulihat senyum jahilnya muncul.
“Aiiihhhhh mesuuuuuummmm,” teriakku membuat Vian tergelak.
Bunyi dering ponsellah yang membuat tawanya berhenti dan kini dia dengan cepat mengambil ponselnya di saku celananya.
Kudengar dia menjawab teleponnya dengan bahasa Inggris. Lalu tiba-tiba kulihat wajahnya panik dan menatapku .
“Yan, ada apa?” Perasaanku tak enak melihat raut wajahnya dan dengan cepat memasukkan ponselnya lagi.
“Mas Ryan,” ucapnya bingung.
“Ryan? Ada apa?” Aku jadi ikut panik mengingat Ryan tadi pergi dengan wajah masam dan sedih.
”Mas Ryan kecelakaan, Mbak.”
Share this novel