Janji dengan Kakek

Family Series 4281

Aku masih pura-pura memejamkan mata saat sayup-sayup kudengar suara pintu depan terbuka.

Yes! Mereka sudah masuk, girangku dalam hati.

"Andin! Kenzi! Kalian di mana? Orang tua datang kok nggak disambut?"

Dari suaranya, aku tahu kakek mulai jengkel.

"Pak, apa mereka berdua masih tidur, ya?" Kudengar suara perempuan bicara. Pasti bu Alya, bundanya Kenzi.

"Mungkin saja. Si Andin, kan pemalas. Jam segini pasti belum bangun."

Sialan! Sempat-sempatnya kakek membicarakan keburukanku.

"Di mana kamarnya, Pak? Ayo cepat kita temui mereka." Suara ayah Kenzi terdengar sangat khawatir.

Aku tertawa dalam hati. Rasakan! Kalian tidak tahu, kan jika Kenzi sudah mencium bibirku pagi ini?

Aku mendengar langkah kaki mereka menaiki tangga, terkesan buru-buru dan ingin cepat bertemu kami. Suami istri itu pasti khawatir sekali dengan anak semata wayangnya. Mereka pasti berpikir aku sudah menerkam bahkan menelan anaknya bulat-bulat. Nyatanya, bocah gembul ini duluan yang sudah menyentuhku.

"Pak, yang mana kamarnya?"

"Mungkin yang ini."

Langkah kaki mereka berhenti di depan kamar.

Pelan-pelan, kakek membuka pintu.
"Astaga!" Bu Alya menjerit tertahan.

"Kenapa, Bun?"

Melalui sudut mata, kulihat bu Alya menunjuk ke arah kami berdua.

"Mereka ...."

Kakek dan pak Bagas, ayahnya Kenzi saling pandang.

"Saya tunggu di luar aja. Silakan bangunin mereka, Pak." Pak Bagas memilih keluar dari kamar sambil memijit pelipisnya.

"Mereka ... nggak ngapa-ngapain, kan Pak Brata?" tanya Bu Alya.

"Se ... Sebaiknya kita bangunkan mereka sekarang," usul kakek.

Aku masih memeluk Kenzi dengan erat. Pura-pura menggeliat, aku menarik bocah itu semakin mendekat.

"Ya Tuhan ...," desis bunda Kenzi.

"Hei, Andin! Bangun! Ayo bangun!"

Kakek menarik kakiku dengan sangat kuat. Aku pura-pura membuka mata dan terkejut melihat mereka.

"Loh, Kakek! Ih, ngapain masuk kamar aku?"

"Kamu itu yang ngapain, hah?" Kakek membelalakkan matanya.

"Kakek nggak liat aku baru bangun tidur?" tanyaku pura-pura polos.

"Kamu kenapa tidur sama anak saya?" Bu Alya menatapku dengan pandangan jengkel.

"Lah? Emangnya kenapa, Bu? Kan dia suami saya."

"Ini lagi." Bu Alya menarik selimut yang membungkus kami berdua. "Astaga!" Matanya melotot melihatku hanya mengenakan bra dan celana pendek.

"Ibu! Jangan ditarik! Aku nggak pake baju!"

"Astaga, Andin!" hardik kakek. "Cepat pakai bajumu dan temui kami di meja makan."

Setelah mengatakan itu, kakek dan bu Alya keluar.

Sepeninggal mereka, aku tak bisa menahan tawaku. Kakek sepertinya marah sekali. Lah? Salahku di mana?

Sebelum keluar, aku menatap Kenzi yang masih tidur. Bagaimana reaksi pak Bagas dan bu Alya, ya jika mereka tahu Kenzi sudah mencuri ciuman pertamaku?

***

Aku sudah duduk di meja makan selama sepuluh menit, tapi tak ada satu pun di antara tiga orang dewasa di depanku ini angkat bicara.

"Mau bicara apa, Kek? Aku ngantuk, nih."

Kakek diam, mata tajamnya mengamatiku dengan teliti.
"Syukurlah," gumamnya pelan.

"Syukur kenapa?"

"Kamu dan Kenzi belum melakukan hal-hal yang aneh." Kakek berkata sembari menatap kami satu persatu.

"Apa maksud kakek?" tanyaku.

Ibu Alya menatapku penuh arti, lalu mulai bicara. "Kamu tahu, pernikahan ini untuk apa?"

Aku mengangguk. "Untuk menghilangkan kutukan dalam hidupku, kan?"

"Itu artinya, kamu tidak boleh menyentuh Kenzi. Dia masih kecil. Jangan pengaruhi dia dengan hal-hal yang tidak baik."

Mendadak aku merasa jengkel dengan wanita dewasa satu ini.

"Andin, pernikahan kalian hanya untuk menghilangkan kutukanmu. Bukan untuk membina rumah tangga di usia muda. Jadi, perlakukanlah Kenzi seperti adikmu sendiri. Jaga dia, jangan sakiti dia. Apa lagi sampai terjadi hal-hal tidak pantas padanya."

"Tidak pantas?" tanyaku sengit. "Apanya yang tidak pantas?"

"Seperti tadi. Kalian tidur sekamar dan kamu memeluknya dengan erat. Itu. Tidak. Pantas." Bu Alya menekankan setiap kata yang diucapkannya.

"Andin." Kakek menghela napas lelah. "Kamu tidak menginginkan pernikahan ini, bukan?"

Aku menunduk. Memang benar, aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini.

"Jika kamu tidak menginginkannya, maka jangan melewati batasmu. Kita harus berterima kasih dengan bu Alya dan pak Bagas. Mereka mengizinkan kamu menikahi putra mereka yang masih 11 tahun, agar kamu bisa memperbaiki hidup dan masa depanmu. Jadi, tolong jangan rusak masa depan Kenzi. Kamu mengerti, kan maksud kakek?"

Aku mengangguk pelan. Entah mengapa rasanya aku tak suka hidupku dan pernikahanku yang baru sehari diatur seperti ini.

"Nak Andin, bapak hanya ingin yang terbaik untuk Kenzi. Tolong jaga dia, ya! Anggap dia seperti adikmu sendiri." Pak Bagas menatapku dengan lembut.

Bu Alya bangkit dan memelukku. "Ibu mohon, Andin. Perlakukan Kenzi dengan baik. Ibu hanya mengatakan padanya jika mulai sekarang dia harus hidup mandiri bersama 'kakak' barunya. Ibu sama sekali tak membicarakan pernikahan ini, karena Kenzi belum mengerti. Ibu harap, pemahaman yang ibu tanamkan padanya, juga kamu tanamkan dalam hatimu." Bu Alya mengelus punggungku dengan lembut.

"Aku mengerti, Bu."

Mungkin apa yang bu Alya katakan memang benar. Kenzi lebih baik tak mengerti dengan pernikahan ini. Dia masih polos, lugu, dan sebaiknya dia tak terkena pengaruh burukku. Aku tersenyum kecut. Seburuk itukah aku di mata pasangan suami istri ini?

"Baiklah. Kalau begitu, ibu akan bangunkan Kenzi. Kalian pasti belum makan, kan?"

"Kami sudah sarapan roti pakai telur tadi."

"Loh?" Kakek memasang wajah terkejut. "Kalian sudah sarapan?"

"Iya." Aku merengut. "Aku hanya pura-pura tadi. Hanya ingin menggoda kakek saja."

"Dasar anak nakal!" Kakek mencubit lenganku. "Syukurlah! Kakek pikir kamu beneran sekamar dengan Kenzi."

Memang benar, kok, batinku.

Bu Alya dan pak Bagas menghela napas lega. "Kalau begitu, kenapa adek masih tidur?"

"Nggak tahu. Tadi habis mandi dia tidur lagi."

"Ya, sudah. Biar ibu bangunkan." Bu Alya dan pak Bagas melangkah kembali ke kamar untuk membangunkan Kenzi.

"Andin, ingat ya pesan kakek." Kakek menyenggol bahuku.

"Iya, Kek. Iya. Lagian siapa sih yang doyan anak kecil polos kek Kenzi? Ngomong aja masih pake dedek-dedek."

"Makanya, kamu harus perlakukan dia dengan baik. Janji ya sama kakek?"

"Iya, Kek. Iya. Ya Tuhan, nggak percaya banget sih sama cucu sendiri." Aku merengut.

Kakek tertawa lebar. "Oke, kakek pegang janjimu, ya?" Kemudian pria tua itu memelukku dengan erat.

"Duh, cucu kakek sekarang udah dewasa. Kakek doakan mulai sekarang hidupmu akan baik-baik saja." Kakek mengecup puncak kepalaku.

Aku terenyuh. Selama ini, memang hanya kakek yang menyayangi dan mengerti perasaanku. Semenjak mama dan papa pergi, hanya kakek yang selalu ada di sampingku. Hanya kakek yang selalu membelaku, meski dia tahu kalau aku salah. Kakeklah satu-satunya orang yang selalu memperlakukanku dengan baik disaat orang lain memandangku sebelah mata.

"Aamiin. Makasih, Kek."

"Besok, kita datang ke rumah dukun Atong lagi, ya?"

"Dih, ngapain?" Aku menatap kakek tak mengerti.

"Ya untuk ngeliat masa depanmu lagi. Kira-kira, dah mau berubah apa belum? Jangan lupa tanya sampai kapan kamu harus menikah."

Aku tertegun. Benar juga. Pernikahan yang aneh ini, harus sampai kapan?

To Be Continued

Hello, sorry for updating late. please enjoy my story. Aku tunggu komen dan dukungannya, ya. Ciao.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience