BAB 22
Bunda, Evan, Aline kangen. Ingin rasanya saat ini berlari ke pelukan bunda. Aline sudah tak tahan dengan semua rasa ini. Semua serba membingungkan buat Aline. Kalau boleh memilih Aline tak mau memilih takdir ini. Ingin seperti dulu saja, satu rumah dengan bunda dan juga Evan. Meskipun sederhana harus bekerja dan juga begadang siang malam membuat adonan kue membantu bunda, Aline mau, menjalani rutinitas kerja yang melelahkan tapi membuat Aline bahagia. Pergi shooping dengan Nadia ke Malioboro Mall atau mencari obralan baju di Ramayana, atau nongkrong di Kopi Joss dengan Christian tiap malam minggu di depan stasiun Tugu. Aku ingin pulang.
Semuanya serba membingungkan buatku saat ini. Ryan amnesia, dan mama, papa, dokter memintaku untuk tak memberitahu kalau aku sudah menjadi istri Vian. Alasannya memory Ryan masih belum boleh untuk bekerja keras atau apalah itu aku tak mengerti istilah kedokterannya. Cedera di kepala dulu aku juga sempat kecelakaan, tapi cuma trauma ringan, tapi efeknya sampai sekarang pun aku juga tak boleh terlalu berat untuk berpikir kalau kecapekan juga akan mengalami vertigo. Jadi aku sedikit mengerti, dengan trauma kepala yang begitu berat sampai kehilangan memori sesaat itu pasti sangat sakit apabila dipaksakan.
Cuma mereka terlalu egois kalau memaksaku untuk berpura-pura di depan Ryan, kalau aku tak ada hubungan apa-apa dengan Vian. Untuk sementara saja pun rasanya hatiku yang dipermainkan. Bukankah saat ini aku sedang berusaha menerima Vian, sedang berusaha menyayanginya, dan juga sudah merasa nyaman berada di dekatnya, dengan perhatiannya. Tapi hari ini aku harus kembali dipaksa untuk mengatur hatiku kembali. Bukankah itu sangat melelahkan, seperti berlari sampai kutub utara tapi harus kembali lagi ke gurun sahara. Aih absurd sudah otakku ini.
Saat tadi di dalam kamar melihat mata Ryan berbinar begitu melihatku, dan mendengar rajukan mama untuk menjaga Ryan sementara waktu yang aku lihat adalah suamiku. Aku ingin Vian berkeras melawan keinginan mama, Aku ingin Vian mengatakan kalau aku istrinya di depan Ryan, tapi ketika aku menatap Vian dan dia hanya tertunduk aku tahu Vian juga tak bisa mengambil sikap. Dan baru kali ini aku ingin memeluk suamiku itu karena aku tahu hatinya pasti hancur.
Dan di sinilah aku sekarang, berada di dalam kamar perawatan Ryan. Sisca tadi berteriak-riak bilang ke Ryan kalau dia istrinya tapi Ryan sama sekali tak percaya dan mengusir Sisca. Mama mengajaknya ke hotel tempat mereka menginap, papa pergi mengurus sesuatu, dan Vian berpamit untuk pergi ke kampusnya, padahal aku tahu Vian masih mengambil cutinya.
“Rosaline.” Suara serak itu mengagetkanku dari lamunan. Ryan terbangun. Kulangkahkan kakiku mendekat ke arahnya.
“Ada apa?” Aku mencoba bertanya, dia tersenyum.
“Aku haus, bisa minta tolong ambilkan air minum?” Dia menunjuk gelas di atas nakas.
Aku mengangguk dan segera membantunya meminum air mineral. Lalu kubantu dia berbaring lagi di ranjang.
“Aku tak tahu kenapa aku di sini, dan kenapa aku bisa seperti ini, tapi aku bahagia akhirnya bisa bertemu denganmu dan berbicara denganmu, Line,” ucapnya sembari menatapku lekat.
Kuhela napasku, benarkah dia tak ingat semuanya?
“Kau mau kan, Line, berada di sini menemaniku, aku tak mau kau pergi lagi sudah cukup 3 tahun aku memendam rasa dan aku sempat gila saat mencari alamat rumahmu sesaat setelah hari kelulusan kita. Please be mine, Rosaline Prameswari.” Deg deg deg.
Suaranya lemah dan sangat lirih tapi bisa membuat jantungku berhenti berdetak, bukan karena aku senang mendengar ucapannya tapi sesuatu yang buruk akan menantiku kalau begini.
“Ryan, sudah kau masih sakit jangan banyak bicara dan tidurlah, ingat kata dokter kamu belum boleh banyak berbicara dan bergerak.” Aku mencoba mengalihkan perhatiannya.
Vian menghela napasnya, tapi kemudian mengangguk. Persis seperti anak kecil yang patuh kepada ibunya. Dia memejamkan matanya tapi tangannya meraih jemariku.
“Jangan tinggalkan aku, lagi,“ ucapnya lemah lalu memejamkan matanya kembali.
Wajahnya tampak pucat dan seperti menahan beban yang begitu dalam, entah apa itu tapi kalau semua itu menyangkut tentangku, aku tak ingin semuanya berubah makin buruk.
“Line.” Tiba-tiba pintu terbuka dan mama masuk ke dalam menghampiriku.
“Ma, Aline boleh pulang? Vian kasihan, Ma, Ryan juga sudah tertidur dan kata dokter memang tak boleh diajak berbicara dulu,” ucapku meminta izin kepada mama.
Mama menatap putra sulungnya itu dengan iba, dan kembali menatapku.
“Andai kau ada kembar ya, Line, pasti semuanya tak menjadi begini,” ucap mama sambil mengusap rambutku.
Aku hanya bisa terdiam tak tahu harus menjawab apa.
“Pulanglah, Vian membutuhkanmu, tapi nanti kalau Ryan menanyakanmu Mama mohon Aline mau, ya? Untuk sementara, Sayang sampai kesehatannya pulih, dan sampai waktu itu pasti kita semua akan memberitahukan kenyataan yang sebenarnya kepada Ryan.”
Aku hanya mengangguk dan mencium telapak tangan mama.
“Bisa pulang sendiri, Line?” Mama menoleh kepadaku saat aku membuka pintu kamar.
Kutepuk keningku sendiri, aku lupa kalau aku berada di Glasgow bukan di Yogya.
Aku tersenyum kikuk kepada mama, tapi mama terkekeh geli.
“Mama telponin Vian, ya, buat jemput kamu,” ucap mama dan aku mengangguk mengiyakan.
*****
Beberapa saat kemudian Vian datang menjemputku, tapi kali ini dia hanya berbicara seperlunya saja. Bahkan sekarang saat aku menanyakan mobil siapa yang dia bawa saat ini.
“Punyaku, Mbak,” ucapnya dan fokus lagi ke jalan.
“Punyamu? Tapi kenapa kemarin-kemarin kau mengajakku naik kereta?”
Vian kembali terdiam dan tak menjawabnya. Aku tahu kalau dia irit bicara seperti ini pasti sedang marah.
Akhirnya kuputuskan untuk diam dan memejamkan
mataku karena sangat lelah.
Share this novel